Liputan6.com, Jakarta - Raden Ajeng Kartini atau RA Kartini semasa hidupnya tiada henti menyuarakan soal kesetaraan dan memajukan pendidikan bagi perempuan. Hari lahir Kartini, yakni pada 21 April, ditetapkan sebagai Hari Kartini untuk terus menjaga ingatan akan semangat sang pejuang emansipasi perempuan ini.
Dikutip dari Buku "Sisi Lain Kartini" dari laman Kemdikbud, Jumat (21/4/2023), RA Kartini lahir pada 21 April 1879 di Mayong, sebuah kota kecil yang masuk dalam wilayah Karisidenan Jepara. Ia adalah anak keempat dari pasangan Raden Mas (R.M.) Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah yang dikaruniai delapan orang anak
Pada 1875 R.M. Sosroningrat menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan atau Moerjam, puteri Bupati Jepara masa itu. Kedudukan Raden Ajeng Woerjan sebagai keluarga bangsawan menjadikannya sebagai isteri utama R.M. Sosroningrat yang disebut garwa padmi atau raden ayu. Tugasnya mendampingi suami pada saat upacara-upacara resmi.
Advertisement
Sementara, Kartini lahir dalam lingkungan keluarga priyayi dan bangsawan, karena itu ia berhak menambahkan gelar Raden Ajeng (R.A.) di depan namanya. Kartini dilahirkan dengan kondisi badan yang sehat, rambut hitam dan tebal, sementara bentuk matanya bundar.
Seperti halnya dengan bayi keluarga Jawa pada umumnya, R.A Kartini selain diberi air susu ibu mendapat makanan tambahan nasi tim atau pisang yang dihaluskan. Piring yang digunakan untuk tempat makan Kartini terbuat dari tempurung kelapa yang digosok halus dan diberi ornamen-ornamen dari perak (Soeroto,1982: 31).
Pertumbuhan fisik dan motorik Kartini berjalan lebih cepat dibanding anak-anak lainnya. Usia 8 bulan Kartini sudah mampu untuk berjalan sendiri, karena itu R.M. Sosroningrat melakukan upacara Tedak Sinten. Pertumbuhan fisik Kartini diikuti juga dengan berkembangnya tingkat kecerdasan dalam berpikir, yang ditunjukan dengan sifat selalu ingin tahu.
Â
Masa Kanak-Kanak
Pada 1880, R.M. Sosroningrat dikaruniai seorang putri dari Ibu Raden Ajeng Woerjan yang dinamai Raden Ajeng Roekmini. Kartini menyambut gembira kehadiran adiknya, karena menambah teman bermainnya.
Selama ini Kartini lebih banyak menghabiskan waktu bermainnya bersama orang-orang yang berusia lebih tua. Pada 1881 R.M. Sosroningrat kembali dikaruniai seorang puteri dari Ibu Mas Ajeng Ngasirah. Anak yang baru lahir tersebut dinamai Raden Ajeng Kardinah.
Pada 1885 Kartini dimasukkan ke sekolah dasar Eropa atau Europesche Lagere School (ELS), padahal tradisi kaum bangsawan pada masa itu melarang keras puteri-puterinya ke luar rumah, apalagi datang ke sekolah setiap hari belajar bersama anak laki-laki. ELS merupakan sekolah khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak Bangsa Eropa dan Belanda Indo.
Anak pribumi yang diizinkan mengikuti pendidikan di ELS hanya anak yang orangtuanya menjadi pejabat tinggi pemerintah. Bahasa pengantar di ELS adalah bahasa Belanda, sehingga Kartini bisa meningkatkan kemampuan bahasanya.
Siswa ELS banyak yang menyukai Kartini, karena sifatnya luwes, periang, dan pandai. Masa istirahat menjadi waktu yang sangat ditunggu oleh Kartini, karena bisa bermain bebas dengan temannya. Suasana tersebut sulit didapatkan saat berada dalam lingkungan kabupaten yang penuh dengan aturan-aturan hidup bangsawan.
Awal 1892 Kartini dinyatakan lulus dari ELS dengan nilai yang cukup baik. Kartini sangat berharap ayahnya yang berpikiran maju akan mengizinkannya untuk melanjutkan pendidikan di HBS Semarang.
Kartini berlutut dihadapan Bupati R.M. Sosroningrat meminta izin untuk melanjutkan pendidikan. Namun, ayahnya teguh berkata tidak. Jawaban pendek itu sangat menyakitkan, Kartini lari ke kamar dan masuk ke dalam kolong tempat tidur untuk menumpahkan segala kesedihan dan kekecewaan.
Advertisement
Kartini Masuk Masa Pingitan
Kartini menyadari bahwa masa kebebasannya menikmati dunia anak-anak akan segera berakhir, karena sesuai dengan tradisi kalangan bangsawan Kartini harus memasuki masa pingitan. Usaha untuk membebaskan Kartini dari adat pingitan pernah dilakukan oleh teman dan kenalannya dari Eropa. Berbagai upaya dilakukan untuk merubah pendirian R.M. Sosoroningrat tapi semuanya sia-sia.
Kartini yang belum genap berusia 13 tahun harus tinggal dalam dunia yang terbatas. Rumah besar berhalaman luas dengan tembok-tembok tinggi dan tebal disekelilingnya menjadi kurungan yang memutuskan hubungan Kartini dengan dunia luar.
Kartini dipaksa belajar menjadi puteri bangsawan sejati yang selalu diam seperti boneka. Kartini dibiasakan untuk berbicara dengan suara halus dan lirih, berjalan setapak demi setapak dan menundukan kepala jika anggota keluarga yang lebih tua lewat, serta masih banyak lagi aturan-aturan adat yang harus dipatuhi oleh Kartini.
Kartini berusaha mengatasi kesunyian hidupnya dengan belajar sendiri, tetapi belajar tanpa guru dinilai tidak membawa manfaat. Usaha lain yang dilakukan oleh Kartini untuk mengurangi penderitaan adalah membagi cerita dengan Raden Ajeng Soelastri yang juga sedang menjalani masa pingitan.
Kartini dengan semangat tinggi menceritakan keinginannya memajukan perempuan kalangan bangsawan. Kartini berharap akan mendapatkan simpati, karena kakaknya juga lulus dari ELS. Harapan Kartini bertepuk sebelah tangan, dengan dingin kakaknya menjawab, "Silahkan, Saya orang Jawa." (Sutrisno, 2014: 68).
Pernikahan Kartini dan RadenAdipati Djojo Adiningrat berlangsung 8 November 1903. Pada 13 September 1903 Kartini melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat.
Setelah melahirkan kondisi Kartini nampak sehat dan berseri-seri, karena itu dokter yang membantu persalinan kembali ke kotanya. Tanpa sebab yang jelas kondisi tubuh Kartini melemah, dokter tidak bisa mengembalikan kesehatan tubuhnya. Pada 17 September 1903 akhirnya Kartini wafat dalam usia yang masih sangat muda 25 tahun.
Namanya Abadi di 4 Jalan di Belanda
Dikutip dari Regional Liputan6.com, nama Kartini abadi di empat jalan di Belanda berikut ini.
1. Utrecht
Salah satu kota di Belanda yang menjadikan nama Kartini sebagai nama jalan yakni Utrecht, dengan penulisan R.A. Kartinistraat. Kartini Boulevard ini merupakan salah satu jalan utama berbentuk 'U'.
Mayoritas penduduk yang tinggal di wilayah ini merupakan kalangan menengah. Jalan ini memiliki ukuran yang lebih besar jika dibandingkan dengan jalan dengan nama pahlawan atau tokoh lain, seperti Che Guevara, salah satu tokoh utama Revolusi Kuba.
2. Venlo
Kota selanjutnya yakni Venlo, yang terletak di bagian selatan atau tepatnya di kawasan Hagerhof. Jika di Utrecht Jalan R A Kartinistraat berbentuk 'U', di Venlo jalan ini berbentuk 'O', dengan penulisan Kartinistraat.
Selain Kartini, di sana juga terdapat nama jalan yang menggunakan nama tokoh-tokoh perempuan, seperti Anne Frank, seorang gadis Yahudi korban Holokaus yang dikenal dengan tulisan-tulisannya pada zaman Nazi. Ada juga Mathilde Wibaut, feminis dan aktivis dalam gerakan perempuan sosial-demokrat.
3. Amsterdam
Ibu kota Belanda, Amsterdam, juga memiliki jalan dengan nama Kartini, tepatnya di wilayah Zuidoost atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bijlmer. Berbeda dengan daerah lain, di sini nama Kartini ditulis lengkap, yakni Raden Adjeng Kartinistraat.
Selain itu, di sekitar jalan tersebut juga berjejer nama tokoh-tokoh wanita yang memiliki andil dalam sejarah lainnya, mulai dari Rosa Luxemburg, Nilda Pinto, hingga Isabella Richaards.
4. Haarlem
Jalan Kartini di Haarlem ternyata memiliki letak yang cukup menarik. Kartinistraat terletak berdekatan dengan tokoh pahlawan Indonesia lainnya, yakni Mohammed Hattastraat, Sutan Sjahrirstraat, serta bersinggungan langsung dengan Chris Soumokilstraat, presiden kedua Republik Maluku Selatan (RMS).
Â
Advertisement