Liputan6.com, Jakarta - Departemen Obat Thailand memperingatkan pengunjung pesta, yang biasanya turis, untuk tidak mengonsumsi "Happy Water." Itu dijelaskan sebagai campuran berbahaya dari berbagai obat-obatan terlarang yang telah jadi "epidemi" di kancah kehidupan malam negara itu, lapor KhaoSod, dilansir dari The Thaiger, Jumat, 12 Mei 2023.
Happy Water dibuat dengan mencampurkan berbagai obat ke dalam minuman manis, biasanya termasuk ketamin, ekstasi, metamfetamin, diazepam, kafein, dan tramadol, menurut Wakil Direktur Jenderal Departemen Layanan Medis Thailand, Dr Manat Phothaphon.
Baca Juga
Dr Manat mengatakan bahwa ketika tertelan, Happy Water dapat menyebabkan semua jenis efek psikotropika, seperti merangsang, halusinogen, sedatif, dan depresi, tergantung pada zat utama yang dicampur. "(Happy Water) adalah epidemi yang menyebar cepat dan sangat mengkhawatirkan karena mencampurkan obat-obatan," sebutnya
Advertisement
"Atau mengonsumsi obat-obatan dalam jumlah banyak, terutama jika dicampur dengan alkohol, dapat berbahaya bagi tubuh, bahkan menyebabkan kematian," ia memperingatkan.
Direktur Institut Nasional Perawatan Penyalahgunaan Narkoba Thailand (PMNIDAT), Dr Sarayut Boonchaipanichwatana, mengatakan, semakin populer bagi orang yang bersuka ria untuk mencampur beberapa obat sekaligus daripada menempel pada satu zat.
Pengedar narkoba yang memproduksi Happy Water sering mengemas formula koktail ke dalam saset yang siap didistribusikan di sekitar klub malam dan dicampurkan ke dalam minuman. Dr Sarayut memperingatkan turis untuk tidak menerima minuman dari orang asing di tempat hiburan malam Thailand.
Epidemi Happy Water di Thailand
Dr Sarayut mengatakan, "Harus selalu diingat bahwa penggunaan narkoba dalam bentuk apapun berbahaya, dapat memengaruhi tubuh, menyebabkan kekerasan dan kejahatan, serta menyebabkan kematian. Jika Anda memiliki masalah terkait narkoba, silakan hubungi hotline 1165 untuk meminta saran."
Pada Oktober 2022, polisi menggerebek Jinling Pub, tempat hiburan malam ilegal di Bangkok. Polisi menemukan formula ketamine, nimetazepam, dan Happy Water di dalam bar. Ratusan pengunjung pesta di Jinling ditangkap selama penggerebekan.
104 di antaranya dinyatakan positif menggunakan narkoba. Sebanyak 99 yang dinyatakan positif merupakan warga negara China. Beberapa hari kemudian, dua pria Singapura di Bangkok ditangkap karena diduga memproduksi Happy Water dan menjualnya ke klub malam di ibu kota Thailand.
Di dalam apartemen mereka, petugas menemukan formula Happy Water dalam kemasan yang sama dengan Happy Water yang ditemukan di dalam Jinling Pub. Selain epidemi Happy Water, pariwisata Thailand juga dibayangi pemungutan pajak.
Departemen Pendapatan Thailand mengusulkan penerapan "pajak keberangkatan" sebesar 1.000 baht (sekitar Rp434 ribu) berlaku untuk semua penumpang pesawat yang akan berangkat ke luar negeri, baik turis asing maupun warga Thailand. Usulan itu dalam rangka mencegah pengeluaran berlebihan.
Advertisement
Dikritik Pejabat Pariwisata Thailand
Ide tersebut muncul di tengah resistensi dari pejabat pariwisata. Penumpang pesawat akan dikenakan pajak 1.000 baht saat meninggalkan Thailand, sedangkan yang keluar via darat dan laut akan dikenakan biaya 500 baht.
Pihaknya mengusulkan gagasan tersebut di bawah payung undang-undang yang disahkan pada 1983. Mereka berencana segera mengumumkan hasil audiensi publik tentang masalah tersebut. Untuk mengumpulkan opini publik tentang pajak keberangkatan, Departemen Pendapatan Thailand mengunggah survei di lamannya.
"Departemen Pendapatan sedang dalam proses menerima pendapat untuk membahas SK Pajak Perjalanan Keluar (1983). Departemen Pendapatan mengundang lembaga pemerintah dan sektor swasta, termasuk masyarakat umum, untuk berbagi pendapat dan saran atas Keputusan Kerajaan melalui formulir ini antara 3 Mei--17 Mei 2023," katanya.
Usulan tersebut dikritik pejabat pariwisata yang percaya bahwa pajak tersebut akan mengganggu pemulihan industri pariwisata Thailand. Apalagi, mereka sebelumnya menunda penerapan pajak wisata masuk Thailand sebesar 300 baht. Disebut bahwa pajak keberangkatan akan membuat maskapai penerbangan "makin sakit kepala" di tengah keinginan untuk mengembalikan angka turis yang datang ke Thailand ke level sebelum pandemi.
Penundaan Pajak Wisata Thailand
Menurut Presiden Asosiasi Agen Perjalanan Thailand (TTAA) Charoen Wanganamot, ide penerapan pajak keberangkatan itu tidak logis. Ia menerangkan bahwa 70 persen pendapatan pariwisata Negeri Gajah Putih berasal dari turis domestik, hanya 30 persennya diperoleh dari turis mancanegara.
Namun, Wakil Direktur Departemen Pendapatan Winit Wisetsuwannaphum mengeluarkan pernyataan membingungkan. Ia mengatakan, pemerintah tidak berencana mengenakan pajak keberangkatan. Meski peraturan menteri membebaskan pajak pada 1991, konstitusi mewajibkan departemen menilai kesesuaian keputusan berusia 40 tahun dengan mengumpulkan opini publik, kata Winit.
Menambah keheranan, ia juga menyebut bahwa jajak pendapat "bukanlah rencana untuk memungut pajak keberangkatan." Pada 2024, departemen akan mengadakan jajak pendapat tentang pajak warisan dan pajak pendapatan minyak bumi, tambahnya.
Sebelumnya, pemerintah Thailand berencana menerapkan pajak wisata 300 baht (sekitar Rp140ribu) untuk turis asing yang berlaku mulai Juni 2023. Biaya wisata itu awalnya dikenakan pada pelancong asing, awal tahun lalu, tapi gagasan itu ditunda setelah penyebaran varian Omicron COVID-19.
Advertisement