Suaka Margasatwa Muara Angke, Benteng Pertahanan Terakhir Jakarta dari Ancaman Krisis Iklim dan Sampah dari Darat

Dengan luas 25,02 hektare, Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) menjadi ekosistem mangrove terkecil di Indonesia. Meski begitu, tempat ini menjadi habitat penting bagi berbagai jenis tanaman mangrove dan hewan-hewan, termasuk satu spesies ular langka.

oleh Dyra Daniera diperbarui 28 Mei 2023, 04:00 WIB
Diterbitkan 28 Mei 2023, 04:00 WIB
Suaka Margasatwa Muara Angke
Sejumlah awak media melakukan aksi penanaman mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke, 25 Mei 2023. (Dok. Liputan6.com/Dyra Daniera)

Liputan6.com, Jakarta - Mangrove adalah ekosistem pesisir yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Selain menyediakan perlindungan alami terhadap abrasi pantai dan menjaga kualitas air, ekosistem mangrove juga memberikan tempat tinggal yang penting bagi berbagai spesies hewan dan tumbuhan.

Tak banyak yang sadar bahwa kualitas lingkungan Jakarta amat terbantu oleh adanya ekosistem mangrove di utara Jakarta. Meski berada di wilayah perkotaan, bukan berarti warga urban tidak memiliki andil dalam menjaga ekosistem mangrove. Suaka Margasatwa Muara Angke telah berusaha menjaga kelestarian ekosistem mangrove dan menjadi benteng terakhir wilayah pesisir Jakarta. 

Dengan luas 25,02 hektare, Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) menjadi ekosistem mangrove terkecil di Indonesia. "Menurut KLHK pada 2021, luas hutan mangrove di Indonesia itu 3,3 juta hektare. Ini 23 persen dari luas mangrove dunia," ujar Kepala Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA Mufti Ginanjar. 

Mampu menyerap sepertiga karbon dunia, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki peran penting dalam menyelamatkan bumi dari pemanasan global. 

Untuk meningkatkan kesadaran bersama tentang pelestarian mangrove, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jakarta bersama Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), menggelar acara penyadartahuan bertema “Mangrove Jakarta untuk siapa?”, yang diikuti oleh sejumlah awak media, pada 25 Mei 2023 di Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta Utara. 

Dalam kesempatan ini dilakukan diskusi interaktif, penanaman mangrove, pembersihan tumbuhan invasif, dan pembibitan mangrove.


Sampah Menjadi Masalah Besar bagi Ekosistem Mangrove

Suaka Margasatwa Muara Angke
Diskusi mengenai konservasi mangrove bersama Muhammad Ilman dari YKAN (tengah) dan Mufti Ginanjar dari BKSDA Jakarta (kanan). (Dok. Liputan6.com/Dyra Daniera)

Berada di antara ekosistem darat dan laut, mangrove berfungsi penting. Direktur Program Kelautan YKAN Muhammad Ilman mengatakan, "Laut memiliki potensi bencana yang bisa mengganggu kehidupan di darat. Darat juga memiliki potensi bencana yang mengganggu laut. Mangrove yang menjadi pembatasnya, ini yang bikin mangrove unik."

SMMA berfungsi mencegah banjir dan rob. "Fungsi SMMA adalah mengurangi dampak banjir. Radius 0,5 km persegi bisa terselamatkan dari banjir karena masuk ke suaka margasatwa. Artinya, 2000 orang bisa mendapat manfaat langsung," ucap Mufti Ginanjar. 

Bahkan, mangrove juga berfungsi menjadi penahan limbah dari darat sebelum masuk ke laut. Pengurus Suaka Margasatwa Muara Angke mengaku kerap menemukan tumpukan sampah plastik ketika menggali. 

"Sebagian besar limbah berakhir di laut walaupun diproduksi di darat," ucap Ilman. "Dari 13 muara sungai di Jakarta, limbah itu sedikit-sedikit ditahan di ekosistem mangrove sebelum sampai ke laut. Tanpa mangrove, (limbah) akan loss begitu saja," sambungnya.

Sayangnya, masyarakat tidak dapat mengandalkan ekosistem mangrove untuk menahan limbah agar tidak sampai ke laut. Menurut Ilman, produksi sampah di Jakarta sudah melebihi batas. Artinya, untuk mencegah kerusakan pada mangrove, masyarakat harus secara sadar mengurangi produksi sampah. 

"Ibarat ada kamar mandi banjir karena kucuran air keran yang mengalir deras, bukan kita mengambil pel banyak-banyak untuk mengeringkannya, tapi kita harus menutup keran itu," terang Ilman. 


Munculnya Eceng Gondok Sebagai Gulma

Eceng gondok  Suaka Margasatwa Muara Angke
Tumbuhan eceng gondok menyebar secara invasif dan mengganggu ekosistem mangrove. (Dok. Liputan6.com/Dyra Daniera)

Sampah menjadi salah satu alasan utama kerusakan ekosistem mangrove, di samping banyaknya ekosistem mangrove yang dihancurkan dan dialihfungsikan untuk persawahan hingga perumahan. Dengan banyaknya plastik dan polutan yang ada di ekosistem mangrove, muncul tumbuhan-tumbuhan invasif seperti eceng gondok yang mengganggu karena dapat mengurangi kadar oksigen dalam air dan menutupi cahaya matahari dari tumbuhan dan hewan yang hidup di dalam air. 

Eceng gondok juga dapat tumbuh dengan cepat sehingga menjadi gulma yang mencemari ekosistem mangrove. "Dalam sebulan, eceng gondok dapat memenuhi 5 hektare. Polutan-polutan yang ada di ekosistem mangrove ini menjadi pupuk yang membuat tumbuhan semakin invasif," jelas Mufti. 

Karena itu, SMMA secara rutin membersihkan ekosistem mangrove dari eceng gondok. Karena jumlahnya sudah tidak terkendali, SMMA berencana mengangkut eceng gondok itu menggunakan mesin ekskavator. Nantinya, eceng gondok akan dibusukkan dengan cara dijemur karena tumbuhan tersebut tidak bisa hidup di luar air. 

Sejak 2018, BKSDA Jakarta bekerja sama dengan YKAN berkomitmen untuk melindungi dan merestorasi ekosistem mangrove fokus di SM Muara Angke. Proses restorasi di SM Muara Angke meliputi instalasi penghalang sampah di pinggir Sungai Angke, pengendalian tumbuhan invasif, perbaikan hidrologi, hingga penimbunan substrat di area dengan genangan tinggi. 


Habitat bagi Aneka Binatang, Termasuk Ular Langka

Suaka Margasatwa Muara Angke Bakal Jadi Pusat Edukasi Mangrove
Aktivitas monyet di Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Suaka Margasatwa Muara Angke akan dikembangkan sebagai pusat edukasi mangrove. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Proses restorasi ini mulai memperlihatkan adanya perbaikan ekosistem. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan pada Desember 2022-Januari 2023, muncul rekrutmen alami spesies mangrove Sonneratia caseolaris, serta peningkatan spesies burung dan ular.

Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke menjadi rumah bagi delapan spesies mangrove sejati, yaitu Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Nypa fruticans, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Sonneratia caseolaris, Acrosticum aureum, dan Excoecaria agallocha.  Tempat ini juga habitat bagi aneka fauna seperti buaya air asin, kadal, monyet ekor panjang, ular, serta burung.  

"Hasil kajian juga mencatat terdapat 60 jenis burung, 20 jenis burung air dan 40 jenis burung darat, dan 16 spesies reptil. Artinya, terjadi peningkatan pada masa pascarestorasi, dari 57 spesies menjadi 60 spesies burung, dan dari 10 spesismenjadi 16 spesies reptil," sebut Mufti.

Peningkatan dari sisi jumlah ada pada burung itik benjut, kokokan laut, cucak kutilang, caladi tilik, bondol peking, punai gading, cabai jawa. Jumlah spesies burung air meningkat, termasuk pecuk-ular asia dan kuntul besar, yang kemungkinan besar merupakan burung migran.

Selain itu, ditemukan spesies ular pucuk mata merah (Ahaetulla cf. rufusoculara), yang merupakan spesies baru dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Ular ini diketahui hanya ada di Vietnam dan belum pernah tercatat di Indonesia.  

Infografis Menerapkan Gaya Hidup Ramah Lingkungan
Infografis Menerapkan Gaya Hidup Ramah Lingkungan. (Liputan6.com/Triiyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya