Cuaca Panas dan Tumpukan Sampah Bikin Tenda Pengungsi di Rafah Gaza bak Oven Raksasa

Sudah dua anak Palestina meninggal dunia karena gelombang panas melanda Gaza di tengah serangan bertubi-tubi Israel.

oleh Asnida Riani diperbarui 02 Mei 2024, 07:00 WIB
Diterbitkan 02 Mei 2024, 07:00 WIB
Ornamen Ramadan Hiasi Lokasi Penampungan Pengungsi Palestina di Rafah
Seorang wanita mencuci pakaian di sebuah kamp yang menampung para pengungsi Palestina yang dikelola oleh Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) di Rafah, Selatan Jalur Gaza pada 13 Maret 2024. (MOHAMMED ABED/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Ketika sampah menumpuk dan cuaca panas melanda Gaza di tengah serangan militer Israel, lalat dan nyamuk berkembang biak di Rafah, kehidupan menjadi lebih suram bagi para pengungsi yang tinggal di tenda-tenda. Pekan lalu, suhu sudah mencapai 30 derajat celsius, mengubah tenda pengungsi yang terbuat dari terpal dan lembaran plastik jadi "oven raksasa."

Di sebidang tanah di pinggiran kota paling selatan di perbatasan Mesir, sekitar 20 tenda telah didirikan, semuanya dinaungi kain besar yang terbentang di atasnya, rangkum TRT World, dikutip Rabu, 1 Mei 2024. Namun, kain tipis berwarna gelap ini tidak sebanding dengan terik matahari yang menyebabkan suhu meningkat dengan cepat pada akhir April.

Cuaca kering juga membuat air minum dan makanan kian sulit didapatkan pengungsi di Rafah. "Air yang kami minum hangat," kata Ranine Aouni al-Arian, seorang perempuan Palestina yang mengungsi dari kota terdekat Khan Yunis yang hancur, pada AFP. "Anak-anak tidak tahan lagi dengan panas dan gigitan nyamuk, serta lalat."

Ia menggendong bayi yang wajahnya dipenuhi gigitan serangga dan mengatakan bahwa ia berjuang menemukan "pengobatan atau solusi." Di sekelilingnya, kawanan lalat dan serangga lain tidak henti-hentinya berdengung. "Ini pertama kalinya kami melihat begitu banyak (lalat), karena polusi dan sampah dibuang di mana-mana," kata pengungsi lainnya, Aala Saleh.

Ia mengatakan, hampir mustahil untuk tidur di dalam tenda, "karena kami terbangun dari gigitan nyamuk, dan perhatian utama kami adalah membunuh serangga-serangga ini." Di tengah gelombang panas dan kondisi lingkungan yang tidak sehat, ia mengaku khawatir akan penyebaran penyakit.


Lonjakan Penyakit Menular

Perang Israel Palestina di Jalur Gaza
Warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman Israel di Jalur Gaza terlihat di tenda-tenda di Kota Khan Younis, Rabu (13/12/2023). Serangan Israel mulai menargetkan kota utama di selatan Gaza, yaitu Khan Younis dan Rafah. (AP Photo/Mohammed Dahman)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan adanya lonjakan penyakit menular, seperti Hepatitis A, yang disebabkan kondisi tidak sehat di kamp-kamp pengungsian, pada Januari 2024. "Sampah terus menumpuk dan air mengalir langka di Gaza," kata UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina, dalam sebuah unggahan di X, minggu lalu. "Saat cuaca semakin panas, risiko penyebaran penyakit meningkat."

Rafah menampung sekitar 1,5 juta pengungsi, menurut PBB. Jumlah itu merupakan lebih dari separuh penduduk Gaza yang telah dikepung dan dibombardir Israel selama hampir tujuh bulan. Sampah menumpuk di jalan-jalan ketika kontainer sampah berukuran besar meluap setelah layanan dasar tidak berfungsi di tengah perang terburuk yang pernah terjadi di Gaza.

Tentara Israel tanpa henti menggempur wilayah Palestina menyusul serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Serangan militer Israel telah menewaskan sedikitnya 34.488 orang di Gaza, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut kementerian kesehatan di wilayah kantong tersebut.

Perang juga telah menghancurkan "kendaraan pengumpul sampah, fasilitas, dan pusat pengolahan limbah medis." Kondisi ini menyebabkan pemerintah kota berjuang mengatasi krisis yang semakin meningkat, menurut sebuah laporan PBB pada akhir Maret 2024.

 


2 Anak Meninggal karena Gelombang Panas

Potret Anak-anak dan Perempuan di Gaza
Seorang gadis muda Palestina menjual permen kepada anak-anak di sebuah kamp di Rafah, Jalur Gaza selatan pada 7 Maret 2024. Perang dan pembatasan oleh Israel membuat warga Gaza dihantui sejumlah krisis akibat kelangkaan makanan, air, obat-obatan serta potensi penyebaran penyakit imbas lemahnya layanan medis. (MOHAMMED ABED / AFP)

"Kami hidup di neraka," kata Hanane Sabre, seorang pengungsi Palestina berusia 41 tahun yang anak-anaknya tidak tahan lagi berdiam di tenda yang beruap. "Saya kelelahan karena panas, ditambah nyamuk dan lalat di mana-mana yang mengganggu kami siang dan malam."

Tugas sehari-hari, seperti memasak dan bebersih dilakukan di dalam tenda yang dilanda cuaca panas yang menyengat, kata Mervat Alian, seorang perempuan pengungsi dari Gaza. "Seolah-olah kita hidup di dalam kuburan, kehidupan sudah tidak ada lagi," sebut dia.

Setidaknya dua anak Palestina meninggal dunia akibat gelombang panas di Gaza, kata badan pengungsi PBB UNRWA pada Minggu, 28 April 2024. Komisaris Jenderal UNRWA Philippe Lazzarini mengatakan dalam sebuah pernyataan, "Apalagi yang harus ditanggung: kematian, kelaparan, penyakit, pengungsian, dan sekarang tinggal di bangunan mirip rumah kaca di bawah panas terik."

UNRWA menyebut, "Para pengungsi mempunyai akses terhadap kurang dari satu liter air per orang per hari untuk minum, mencuci, dan mandi, dibandingkan dengan jumlah minimum 15 liter menurut Standar Sphere."

 


Peringatan Epidemi

Ornamen Ramadan Hiasi Lokasi Penampungan Pengungsi Palestina di Rafah
Melalui ornamen tersebut, pengungsi berharap mendapat kegembiraan dan semangat dalam menjalankan ibadah di bulan suci Ramadan. (MOHAMMED ABED/AFP)

Badan Pertahanan Sipil di Gaza telah memperingatkan penyebaran epidemi dan penyakit di kamp-kamp pengungsian di bagian selatan wilayah tersebut ketika gelombang panas meningkat. Pihaknya menyebut, situasi ini "memperingatkan akan meluasnya penyebaran epidemi dan penyakit di antara mereka, terutama di kalangan anak-anak dan wanita hamil."

Pernyataan tersebut meminta WHO untuk segera bertindak guna menyelamatkan nyawa ratusan ribu pengungsi Palestina dan mencari tempat alternatif selain tenda di tengah gelombang panas yang parah dalam beberapa hari mendatang. Dalam sebuah pernyataan baru-baru ini, kantor media pemerintah Gaza memperingatkan dampak kesehatan dan lingkungan yang 'belum pernah terjadi sebelumnya' terhadap setidaknya 700 ribu orang yang tinggal di Gaza utara.

Itu merujuk pada tumpukan sampah, ratusan kuburan massal, dan ratusan ribu ton puing-puing di berbagai area. Ahmed Abu Abdu, Direktur Departemen Kesehatan dan Lingkungan Kota Gaza, mengatakan pada TRT World bahwa penumpukan sampah telah menyebabkan penyebaran penyakit menular, melaporkan kasus Hepatitis A dan "indikator kuat" infeksi malaria di Kota Gaza.

Infografis Keprihatinan Serangan Militer Israel di Gaza Selatan
Infografis Keprihatinan Serangan Militer Israel di Gaza Selatan (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya