SBY Diminta Hentikan Seleksi Dewan Pendidikan Nasional

Menurut pakar pendidikan H.A.R Tilaar, proses seleksi anggota DPN kurang transparan karena tanpa mencantumkan nama orang yang menyeleksi.

oleh Ahmad Romadoni diperbarui 17 Sep 2014, 18:40 WIB
Diterbitkan 17 Sep 2014, 18:40 WIB
Nilai Ujian Nasional Tertinggi SMA
(Liputan6.com/Ahmad Romadoni)

Liputan6.com, Jakarta - Kehadiran Dewan Pendidikan Nasional (DPN) seyogianya menjadi pengawas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Tapi hal itu dirasa sulit dilakukan kalau anggotanya justru dipilih menteri. Oleh karena itu, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diminta menghentikan proses seleksi DPN yang saat ini masih tahap pendaftaran.

Anggota Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Doni Koesoema mengatakan, awal masalah seleksi DPN adalah penetapan PP Nomor17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Seharusnya sejak awal, PP ini dibatalkan karena tidak sejalan dengan Pasal 56 ayat 2 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.

"Saya mendesak pemerintahan SBY harus menghentikan proses seleksi DPN secepat mungkin dan menyerahkan seleksi kepada pemerintahan yang baru. Kami juga menuntut pemerntahan baru nanti merevisi PP Nomor 17, karena DPN berada dalam Kemendikbud," ujar Doni saat konferensi pers di YLBHI, Jakarta, Rabu (17/9/2014).

Doni mengatakan, poin utama pada PP Nomor 17 itu sangat penting bagi independensi DPN nantinya. Karena itu, pemerintah baru nanti tidak punya pilihan lain selain mengubah. Jika tidak, FSGI akan mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) bersama LBH Jakarta.

"Seandainya pemerintah tidak mau mengubah PP 17 Tahun 2010, kami bekerja sama dengan LBH Jakarta akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi," tegas Doni.

Menurut Doni, kondisi pendidikan di Indonesia saat ini sudah masuk masa kritis. Karena itu, pemerintahan SBY seharusnya tidak membuat kebijakan yang menimbulkan banyak ketidakmanfaatan bagi rakyat.

"Ini akal-akalan untuk melanjutkan hegemoni pemerintahan sekarang dan menyandera pemerintahan baru. Bangsa ini sudah kritis. Kebijakan malah main-main, jadi tidak sehat dan tidak bermartabat," kata Doni.

Pasal 56 ayat 2 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas berbunyi, dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.

Politis

Sementara pakar pendidikan H.A.R Tilaar menilai, pembentukan DPN sejatinya baik bagi peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Tapi, niat baik ini dinodai dengan pemilihan anggota yang berada di tangan Kemendikbud.

Menurut Tilaar, proses seleksi anggota DPN dinilai kurang transparan tanpa mencantumkan nama orang yang menyeleksi. Belum lagi waktu pelantikan anggota dilakukan sehari sebelum pelantikan presiden baru. Hal ini dinilai politis.

"Anggota Dewan Pendidikan Nasional ini akan dilantik sehari sebelum Jokowi dilantik. Ini sangat politis sekali," kata Tilaar.

Tilaar menjelaskan, peluang memilih anggota dari lingkungan pendukung Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh sangat terbuka lebar. Hal inilah yang harus diwaspadai. Sebab, pendidikan tidak hanya milik menteri, tapi milik seluruh rakyat Indonesia.

"Pentingnya DPN sangat strategis, karena pendidikan bukan hanya milik Nabi Nuh (M Nuh), tapi milik rakyat. Pendidikan hak seluruh rakyat. Masyarakat Indonesia perlu mengawasi manajemen dan pengawasan nasional," tegas Tilaar bernada gurau.

Pria yang mengambil gelar master di Indiana University, Bloomington itu mengingatkan, jangan sampai proses pemilihan DPN ini malah menambah daftar panjang masalah yang ada di Kemendikbud, seperti masalah ujian nasional (UN) dan semrawutnya Kurikulum 2013.

"Kekacauan ini terjadi di satu departemen, hebat nggak?" tanya Tilaar. (Mvi)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya