Pengamat: Penghapusan Pasal Hak Dewan Inkonstitusional

UUD 1945 tidak memberi ruang terjadinya pemakzulan Presiden kecuali didasarkan pada sejumlah alasan hukum.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 14 Nov 2014, 14:34 WIB
Diterbitkan 14 Nov 2014, 14:34 WIB
Pengamat: Pengahapusan Pasal Hak Dewan Inkonstitusional
UUD 1945 tidak memberi ruang terjadinya pemakzulan Presiden kecuali didasarkan pada sejumlah alasan hukum.

Liputan6.com, Jakarta - Untuk menyatakan Islah antara Koalisi Merah Putih (KMP) dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), KIH  mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). KIH tidak hanya ingin mengubah komposisi alat kelengkapan Dewan, tetapi juga ingin menghapus hak menyatakan pendapat (HMP).

Namun, menurut ‪Peneliti pada divisi Kajian Hukum Tata Negara Sinergi Demokrasi untuk Masyarakat Indonesia (Sigma), M Imam Nasef mengatakan usulan penghapusan HMP menunjukkan DPR tidak membaca konstitusi.

"HMP itu diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, jadi usul penghapusan HMP dalam revisi UU MD3 yang direncanakan jelas bertentangan dengan konstitusi. Penguatan sistem presidensial tidak tepat dilakukan dengan mengamputasi fungsi kontrol DPR. HMP itu salah satu manifestasi fungsi kontrol DPR terhadap Pemerintah dalam rangka pelaksanaan prinsip checks and balances. Sehingga kewenangan konstitusional DPR itu tidak bisa dihapus dengan dalih penguatan sistem presidensial," ujar Imam saat dihubungi, Jumat (13/11/2014).

Selain itu, menurutnya, desain konstitusi Indonesia sebenarnya sudah cukup kuat untuk menopang sistem presidensial. Dimana UUD 1945 tidak memberi ruang terjadinya pemakzulan Presiden kecuali didasarkan pada sejumlah alasan hukum.

"Dalam Pasal 7A UUD 1945 dinyatakan secara tegas bahwa hanya pelanggaran-pelanggaran hukumlah yang dapat dijadikan alasan pemakzulan. Itu juga alasan mengapa Mahkamah Konstitusi (MK) dilibatkan dalam proses pemakzulan, guna memastikan usul pemakzulan benar-benar hanya didasarkan pada alasan-alasan hukum. Jadi, jangan dikira lemahnya dukungan politik terhadap Presiden di Parlemen linier dengan mudahnya memakzulkan Presiden," jelasnya.

Selain itu, menurut Imam,  Proses pemakzulan itu merupakan proses konstitusional yang sangat ketat. B‎ahkan syarat memakzulkan Presiden itu lebih berat daripada syarat mengamendemen UUD 1945.

"Untuk memakzulkan Presiden, konstitusi mensyaratkan kehadiran minimal 3/4 dari jumlah anggota MPR, sedangkan untuk mengamendemen UUD 1945, konstitusi hanya mensyaratkan kehadiran minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR. Jadi sangat tidak mudah untuk memakzulkan Presiden dengan desain konstitusi yang kita miliki hari ini. Dengan demikian, tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebih soal potensi terjadinya pemakzulan Presiden, karena dalam sistem presidensial jabatan Presiden itu sejatinya bersifat tetap untuk jangka waktu tertentu (fixed term)," pungkas Imam.

Sebelumnya, politikus PDIP yang juga juru lobi KIH, Pramono Anung mengatakan salah satu poin kesepakatan antara ketua umum partai di KIH, adalah menghapus hak DPR untuk menyatakan pendapat. Alasannya, hal itu dianggap berbahaya bagi sistem presidensial.

Hak DPR yang tertuang dalam UU MD3 itu adalah interpelasi, angket, hak imunitas, dan menyatakan pendapat. Hak menyatakan pendapat sendiri berkaitan dengan dugaan bahwa presiden dan wakil presiden melanggar hukum, berkhianat terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lain sehingga tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin negara.

Hak ini kemudian sering disebut sebagai impeachment atau pemakzulan ke presiden. Dasar hukumnya terdapat dalam pasal 215 UU MD3 yang isinya adalah apabila MK memutuskan bahwa pendapat anggota dewan terbukti, maka mereka bisa menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden ke MPR. (Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya