DPR Pertanyakan Usulan Melegalkan Hukuman Cambuk di Pesantren

Saleh Partaonan menegaskan Indonesia bukanlah negara yang peraturan dan hukumnya didasarkan pada suatu syariat agama tertentu.

oleh Andi Muttya Keteng diperbarui 11 Des 2014, 06:54 WIB
Diterbitkan 11 Des 2014, 06:54 WIB
Hukuman Cambuk 1 dari 9 Penjudi di Aceh Ditunda Akibat Sakit
(Ilustrasi)

Liputan6.com, Jakarta - Pondok Pesantren (Ponpes) Al Urwatul Wutsqo di Desa Bulurejo, Jombang, Jawa Timur, memberlakukan sanksi hukuman cambuk kepada santri yang melakukan zinah, judi, atau mengonsumsi miras. Bahkan, pengasuh ponpes tersebut meminta Kementerian Agama melegalkan jenis hukuman cambuk.

Namun, Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay mempertanyakan apakah hukuman cambuk bagi pezina dan pemabuk itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bisa saja hukuman itu hanya sesuai dengan keyakinan sekelompok orang saja.

"Apakah hukuman seperti itu diterima semua kelompok masyarakat? Undang-undang atau aturan dalam kehidupan berbangsa tidak bisa diterapkan hanya untuk sekelompok masyarakat. Harus berlaku dan diterima oleh seluruh rakyat Indonesia," tegas dia di Jakarta, Rabu (10/12/2014).

Apabila permintaan aturan sanksi hukuman cambuk itu diterima oleh Kantor Kemenag Jombang, lanjut Saleh, artinya berlaku secara parsial. Kondisi itu menurut Saleh dapat dipastikan membuat kelompok masyarakat lain pun akan menuntut hal yang sama. Lalu, berapa banyak aturan-aturan parsial seperti itu yang akan muncul?

"Semakin banyak aturan parsial dan sektoral yang dibuat, itu akan berdampak tidak baik bagi semangat persatuan dan kebersamaan," kata Saleh.

Ia juga menegaskan Indonesia bukanlah negara yang peraturan dan hukumnya didasarkan pada suatu syariat agama tertentu. Meski memang Indonesia memberikan kebebasan kepada setiap warganya untuk memeluk dan melaksanakan agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing. Tetapi, lanjut dia, semua undang-undang yang dibuat haruslah berorientasi pada semangat persatuan dan kesatuan.

"Satu hal yang perlu diingat, bahwa seluruh pelaksanaan keyakinan dan kepercayaan tersebut harus diselaraskan dengan falsafah dan dasar negara, Pancasila dan UUD 1945, yang telah menjadi kesepakatan bersama para pendiri negeri ini. Kalaupun dinilai baik, ya disetujui. Tapi kalau bertentangan, ya tentu tidak bisa diterima," tutur politisi PAN itu. (Ado)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya