Liputan6.com, Paris - 11.20 Waktu setempat, hari tengah siang bolong kala 2 pria bertopeng berpakaian serba hitam menyergap masuk ke dalam sebuah gedung di Paris, Prancis, Rabu 7 Januari 2015. Mereka meninggalkan 1 pria lain yang masih berada dalam mobil Citroen hitam kecil. Pintu No 6, Rue Nicolas-Appert menjadi target.
Sepanjang langkah, senjata tak lepas dari dekapan meskipun mereka baru saja menumbangkan 1 polisi di tepi jalan dari jarak dekat. Hingga sampailah keduanya pada lokasi tujuan. Dorr!
Di hadapan pria-pria bertopeng itu, sejumlah orang tersungkur. Rapat redaksi majalah yang tengah berlangsung di kantor majalah Charlie Hebdo pun kelar sebelum waktunya.
Advertisement
Pada pukul 11.35, kantor majalah berubah jadi lokasi pembantaian.
Total 12 orang tewas dalam teror tersebut, termasuk pemimpin Redaksi Stephane Charbonnier atau yang dikenal dengan nama pena, Charb, serta sejumlah kartunis senior andalan majalah itu.
Selain itu juga terdapat Ahmed Merabet, seorang muslim yang berprofesi sebagai polisi – dialah yang disebut-sebut korban pertama yang menerima berondongan peluru dari kawanan tersebut. Saat itu Merabet tengah berpatroli di sekitar kantor Charlie Hebdo
Pasca-tewasnya 12 orang tersebut, perburuan besar-besaran dimulai.
Entah apa alasan di balik teror, namun Presiden Prancis Francois Hollande menyebut serbuan ini sebagai serangan teroris. Dia kemudian menaikkan peringatan ancaman terorisme ke level tertinggi.
Tak lama kemudian, sebuah unit taktis disiagakan dalam operasi di area sekitar 144 kilometer (90 mil) dari Paris, tepatnya di Reims. Pihak berwenang belum mengungkapkan rincian tentang target operasi di kawasan itu.
Foto 2 pria dirilis kepolisian. Orang di balik foto itu, kakak beradik, Said Kouachi (32) dan Cherif Kouachi (34), disinyalir sebagai pelaku teror di kantor majalah Charlie Hebdo.
"Keduanya bersaudara yang usianya sekitar 30 tahunan," kata Wakil Walikota Paris, Patrick Klugman seperti dimuat CNN, Kamis (8/1/2014).
"Cherif Kouachi pernah dijebloskan ke penjara pada 2008 selama tiga tahun, karena menjadi anggota sebuah kelompok yang mengirim pejuang jihad ke Irak," demikian diberitakan media setempat seperti dikutip dari BBC.
Polisi Prancis mengatakan, dua tersangka masih berkeliaran setelah melarikan diri. Mereka diduga melengkapi diri dengan senjata, dan bisa jadi menebar bahaya di tempat lain.
Sementara, terduga ketiga, Hamyd Mourad yang baru berusia 18 tahun, dilaporkan telah menyerahkan diri kepada polisi pada Rabu malam pukul 23.00 waktu setempat (atau pukul 05.00 WIB).
Pengakuan mengejutkan datang dari seorang saksi yang juga kartunis majalah itu, Corinne Rey. Dia mengatakan, pria-pria bersenjata tersebut memasuki gedung setelah memaksanya memasukkan kode untuk membuka pintu gedung.
"Mereka mengaku dari Al-Qaeda," kata Rey.
Teror ini bukan yang pertama kali dilancarkan ke Charlie Hebdo. Kantor majalah itu sebelumnya sempat dilempar bom botol pada 2011, sehari setelah menerbitkan karikatur Nabi Muhammad SAW. Pasca-teror tersebut, Charb mendapat ancaman pembunuhan beberapa kali.
Majalah tersebut juga disebutkan pernah memuat lelucon yang dinilai menyerang ajaran Kristen dan Yudaisme.
Majalah yang lahir sejak 1970 itu dikenal sering memicu kontroversi dengan artikel maupun kartun bernada satire atau menyindir pemimpin politik maupun menyenggol masalah-masalah yang sensitif bagi umat beragama. Tweet terakhir mereka menyindir Abu Bakr al-Baghdadi, pemimpin ISIS -- kelompok militan yang merajalela di Suriah dan Irak.
Bukan Ajaran Islam
Malam hari, beberapa jam setelah teror, ribuan orang berkumpul di alun-alun Place de la Republique di pusat kota Paris. Mereka menggelar aksi unjuk rasa sambil memampang plakat solidaritas bertuliskan 'Je suis Charlie' atau 'Saya Charlie'.
Mereka menumpuk pulpen sebagai cermin kebebasan berekspresi dan lilin-lilin yang diletakkan di alun-alun. Dan di belahan Prancis lainnya, Lyon, Toulouse, dan Montpellier juga diwarnai aksi serupa.
Islam dikait-kaitkan atas teror yang terjadi itu. Namun seorang ulama di Prancis, Hassen Chalghoumi meyakinkan, aksi teror kepada majalah Charlie Hebdo tersebut bukan ajaran Islam.
"Ini bukan ajaran Islam, tapi kejahatan barbar. Ini juga jelas bertentangan dengan prinsip kebebasan berpendapat yang telah diatur," ujar Imam di Masjid Drancy di Seine-Saint-Denis Paris itu, seperti dimuat Straits Times.
Kepala Dewan Muslim Prancis Dalil Boubakeur mengatakan, komunitas muslim di Prancis begitu terkejut mengetahui aksi teror tersebut. Dia mengatakan, serangan tersebut jelas merupakan tindakan yang provokatif dan memecah belah persatuan negara.
"Kami imbau semua pihak untuk tidak terprovokasi. Kita harus waspada adanya skenario dari pihak tertentu," imbau Boubakeur.
Hal senada juga disampaikan rabi Yahudi Haim Korsia. Dia menegaskan, seluruh elemen Prancis harus bersatu melawan segala tindakan yang mengancam kebebasan berpendapat dan berkeyakinan. "Perlu ada persatuan yang kokoh demi mempertahankan kebebasan ini," tandas Korsia. (Ndy/Riz)