5 Alasan Pemerintah Tak Perlu Gentar Melaksanakan Eksekusi Mati

Tekanan Perancis, Australia bahkan Sekjen PBB Ban Ki Moon tak seharusnya mengendurkan kebijakan Pemerintah RI merealisasikan eksekusi mati.

oleh Oscar Ferri diperbarui 28 Apr 2015, 07:22 WIB
Diterbitkan 28 Apr 2015, 07:22 WIB
Ilustrasi Liputan Khusus Eksekusi Mati
Ilustrasi Liputan Khusus Eksekusi Mati

Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan, Pemerintah RI tidak perlu gentar dan khawatir akan ancaman sejumlah negara terkait pelaksanaan eksekusi mati tahap 2. Ada ‎10 terpidana mati yang siap diekseksui mati dalam waktu dekat ini.

"Tekanan dari Perancis, Australia bahkan Sekjen PBB Ban Ki Moon tidak seharusnya mengendurkan kebijakan (Pemerintah RI) untuk merealisasikan putusan hukuman mati,"‎ kata Hikmahanto dalam pesan singkatnya kepada Liputan6.com, Senin 27 April 2015.

Hikmahanto mengatakan, ada 5 alasan Pemerintah RI harus melaksanakan eksekusi mati. Pertama, Pemerintah RI yang baru saja sukses menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) ke-60, sedang diuji apakah pelaksanaan kedaulatan negara hanya sebatas retorika atau betul-betul direalisasikan.

Sebab, kata Hikmahanto, dalam Dasa Sila Bandung--hasil KAA pertama 1955--prinsip non-intervensi terhadap negara-negara di Asia dan Afrika, merupakan prinsip yang masih relevan pada masa kini dan pada saat akan melaksanakan hukuman mati.

"Sekali pemerintah mundur dari kebijakan ini, maka Indonesia akan menjadi bahan tertawaan. Karena tidak mampu melaksanakan prinsip yang terdapat dalam Dasa Sila," ujar dia.

Kedua, kata Hikmahanto, protes pemerintah Perancis dan Australia tidak lebih dari sikap negaranya yang tidak mengenal hukuman mati. Agar pemerintahnya dapat mempertanggungjawabkan mandat yang diberikan rakyatnya, mereka harus menyuarakan protes. Bahkan ancaman pelaksanaan hukuman mati.

Menurut Hikmahanto, negara-negara tersebut tentu tidak dapat dicegah bila memprotes kebijakan Pemerintah RI, bahkan mereka dapat memanggil Dubesnya untuk kembali dan berkonsultasi‎. Namun setelah selesai eksekusi mati, hubungan akan cair kembali dan Dubes akan dikembalikan ke RI.

"Ini karena tidak akan ada pemerintahan asing yang berani untuk mempertaruhkan hubungan baik dan saling menguntungkan, demi membela warganya yang melakukan suatu kejahatan," ucap Hikmahanto.

Ketiga, lanjut Hikmahanto, suara keras dari pemerintah Perancis, Australia, dan Brazil disebabkan di negara tersebut sedang ada pertarungan politik untuk menduduki kursi kepemimpinan. Sehingga isu hukaman mati di Indonesia menjadi komoditas empuk.

"Sebenarnya hal ini patut disayangkan, mengingat mereka mengorbankan kepentingan Indonesia untuk ambisi politik para politisinya," jelas dia.

Keempat, saat ini Indonesia sedang dipojokkan Perancis dan Australia terkait pelaksanaan hukuman mati. Tapi hal itu berbeda dilakukan Australia, di mana akhir Maret lalu Tiongkok melaksanakan hukuman mati atas warga Australia. Namun Australia tidak melakukan tekanan kepada Tiongkok seperti yang dilakukan terhadap Indonesia.

Kelima, sambung Hikmahanto, soal pernyataan Sekjen PBB Ban Ki Moon yang membuat pernyataan di luar tugas dan fungsi sebagai Sekjen PBB. Sekjen PBB bukanlah presiden dari negara-negara dunia yang dapat mengeluarkan perintah.

"Tidak benar Konvenan Internasional Sipil dan Politik hanya membatasi kejahatan serius sebagai kejahatan internasional. Dalam Kovenan tersebut, secara tegas diserahkan kepada masing-masing negara anggota untuk menentukan kejahatan serius," tegas Hikmahanto.

Peran Sekjen PBB Dipertanyakan

Peran Sekjen PBB Dipertanyakan

Hikamhanto juga mempersalahkan pernyataan Ban Ki Moon. Sebab, rakyat Indonesia juga dapat mempertanyakan, di mana suara Sekjen PBB ketika baru-baru ini 2 TKI dihukum mati di Arab Saudi.

"Dimana pembelaan Sekjen PBB? Aneh bila Ban Ki Moon memasalahkan hukuman mati di Indonesia, karena di negaranya sendiri, Korea Selatan, dikenal hukuman mati," ucap Hikmahanto.

Dari pernyataan Ban Ki Moon itu, Hikmahanto menambahkan, tidak heran bila Presiden Jokowi menyatakan PBB tidak merefleksikan kepentingan negara-negara Asia dan Afrika. Kepentingan dan suara yang dibawa adalah dari negara-negara di Eropa, Australia, dan Amerika.

"Pantas bila Presiden Jokowi menggugat keuniversalan PBB (saat KAA ke-60)," pungkas Hikmahanto.

‎Eksekusi mati tahap 2 tidak lama lagi akan digelar. Jaksa Agung Muda Pidana Umum telah mengeluarkan surat perintah, untuk melaksanakan eksekusi mati dan surat itu telah sampai kepada jaksa eksekutor. Eksekusi itu rencananya akan dilaksanakan pada Selasa 28 April besok di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. (Rmn)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya