Liputan6.com, Jakarta - Namanya Elesta Apriliana Wulansari. Gadis cantik berusia 22 tahun itu kerap memajang foto-fotonya di pesawat, memandang langit dari balik jendela atau duduk di kokpit memegang kemudi.
Elesta memang bekerja di dalam pesawat. Bukan sebagai pramugari, melainkan pilot. Semuda itu, ia telah mengantungi 2.500 jam terbang menggunakan ATR 42 dan ATR 72, mayoritas dicatatnya di langit Indonesia Timur, Kalimantan hingga Papua.
Siang itu, Tim Liputan6.com menemui pilot maskapai Trigana Air itu di Bandara Halim Perdanakusuma. Perempuan kelahiran Brebes itu tak memakai seragam penerbang, tak sedang bertugas. Wajahnya hanya disapu riasan tipis.
Elesta menceritakan pengalaman pertamanya berada di balik kemudi pesawat. Hari itu, 17 Agustus 2010 pukul 11.00 WIB, saat lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di penjuru Nusantara.
Penerbangan perdana Elesta menggunakan pesawat Cessna 172. "Waktu itu terbang dengan ketinggian 1.000 kaki. Masih didampingi instruktur," kata dia. "Kalau ditanya perasaan ya ada rasa senang, bangga, takut, campur aduk banget. Aku terbang setelah upacara kemerdekaan, sekalipun masih didampingi instruktur."
Â
Baca Juga
Advertisement
Menjadi penerbang sebenarnya bukan cita-cita Elesta saat kecil. "Iseng daftar, diterima, jadi melanjutkan ke sekolah pilot," cerita dia.
Lalu, apa cita-citanya saat kecil?
Dokter? Bukan. Insinyur? Juga bukan. "Jadi tukang nasi uduk dan tukang pop ice," kata perempuan yang akrab dipanggil Nana itu.
Dia, kala itu, memang gemar makan nasi uduk dan menyedot minuman manis itu. Meski tak ingin jadi penerbang, saat kecil, Elesta kerap mendongak, memandang langit, melihat pesawat yang melintas di atas rumahnya di Bintara. "Rumah di Bintara itu jalur lewat pesawat. Terbayang juga menerbangkan pesawat," kata dia.
Adegan saat Doel, pemeran 'Si Doel Anak Sekolahan', pergi ke Jerman naik kapal terbang, selalu terbayang dalam benak Elesta kecil.
Elesta kemudian menempuh pendidikan penerbangan di Nusa Flying International School selama 18 bulan. Ia satu-satunya siswi, di antara 30 siswa pria. Berbaur dalam 1 asrama.
Sebelum dinyatakan diterima, ia harus melalui bermacam tes: kesehatan, bahasa Inggris, juga psikotes -- yang menentukan apakah seseorang layak menjadi penerbang.
Ketika menempuh pendidikan itu lah, kecintaannya terhadap dunia penerbangan mulai timbul dan seiring waktu makin menguat. Di sekolah penerbangan, ia dididik oleh tenaga pengajar yang mayoritas militer. Disiplin menjadi harga mati.
Setelah melalui sejumlah tahap, Elesta akhirnya diizinkan duduk di kokpit. Tanpa didampingi instruktur.
Kali pertama Elesta menerbangkan pesawat ATR 42 300 PK YRR. Masih sebagai kopilot. "Untuk penumpang 50 orang dengan rute Ambon, Samlaki, Langgur, Dobo, Langgur, Ambon. Terbang tanggal 5 Desember 2012.
Penerbangan pagi itu berlangsung di tengah cuaca cerah. "Bangga bisa bawa penumpang di belakang. Mengantar mereka ke tempat tujuan masing-masing," kata dia.
Apakah ada perasaan takut saat menerbangkan pesawat? "Cemas atau takut nggak sih karena aku anggap ini tanggung jawabku. Kalau masalah takut, kenapa-kenapa itu sudah ada yang ngatur," kata Elesta.Â
April 2015 lalu, Elesta lulus ujian Airline Transport Pilot Licence (ATPL). Kini, ia sudah bisa membawa pesawat sendiri, namun masih harus mencapai 3.500 jam terbang untuk menjadi kapten. Have a pleasant flying experience, Captain! (Ein/Tnt)