Kisah Pekerja Sosial Dampingi 360 Keluarga Miskin di Pati

Pekerja sosial (peksos) bukanlah profesi yang mudah untuk dijalankan bagi Hafid (32). Harus ada panggilan jiwa.

oleh Audrey Santoso diperbarui 12 Okt 2015, 10:09 WIB
Diterbitkan 12 Okt 2015, 10:09 WIB
Kisah Pekerja Sosial yang Dampingi 360 Keluarga Miskin di Pati
Pekerja sosial (peksos) bukanlah profesi yang mudah untuk dijalankan bagi Hafid (32). Harus ada panggilan jiwa.

Liputan6.com, Pati - Pekerja sosial (peksos) bukanlah profesi yang mudah untuk dijalankan bagi Hafid (32). Harus ada panggilan jiwa.

Bagaimana tidak, sebanyak 360 keluarga kurang mampu harus didampinginya. Hafid juga mesti memastikan, para keluarga itu tersentuh program  kesejahteraan yang dicanangkan pemerintah, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).

"Di kecamatan ini hanya ada lima peksos. Satu orang biasanya mendampingi 375 keluarga, kalau saya 360 keluarga," ujar Hafid kepada Liputan6.com saat menghadiri acara kunjungan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa di Kecamatan Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, pada Minggu 11 Oktober 2015.

"(Alasan menjadi peksos) Panggilan jiwa saja. Saya merasa ikut bahagia begitu, saat orang yang saya bantu merasa bahagia," imbuh dia.

Hafid menjelaskan, supaya seluruh keluarga yang ia dampingi menerima program tersebut, ia selalu membuat agenda di malam hari. Agenda itu berisi jadwal kunjungan ke rumah-rumah warga dampingannya. Ia mengatakan, memang butuh waktu lama untuk dapat memeriksa keadaan 360 keluarga dalam waktu singkat karena keterbatasan tenaga sosial.

"Setiap malam saya buat jadwal, misalnya kunjungi 10-20 keluarga di hari berikutnya. Seterusnya begitu, siapa saja (keluarga) yang belum sempat dikunjungi, tidak boleh lupa dijadwalkan," ucap dia.

"Memang memakan waktu lama, tapi (jumlah) peksosnya masih kurang. Jadi ya kami jalani saja semampu kami menyisir, berapa warga yang harus dibantu," sambung dia.

Pria berkulit cokelat itu mengatakan, pada tahun pertama pengabdiannya, ia sempat menjalani pekerjaannya dengan hari-hari menyedihkan. Tepatnya pada Agustus 2014, pemerintah menghentikan penyaluran dana saat ajang Pemilihan Presiden. Saat itu, bantuan pemerintah untuk warga tidak mampu itu tak kunjung datang.

"Dukanya saat pilpres tahun lalu misalnya. Pemerintah kan tidak boleh mengeluarkan dana bantuan selama pilpres, jadi mereka setiap hari menanyakan 'Mas kok kita belum dapat bantuan?' Ya sedih dengarnya, mereka memelas, cerita ke saya sulit untuk biaya hidup, sekolah anak, pengobatan, makan sehari-hari," tutur Hafid.

Pria bertubuh jangkung ini mengaku baru 2 tahun menggeluti dunia sosial, sebelumnya ia bekerja di toko milik keluarganya. Namun karena sering melihat warga miskin terabaikan di daerahnya, ia pun meninggalkan dunia usaha untuk fokus pada pekerjaan barunya.

"Dulu saya kerja di toko milik keluarga, tapi saya suka sedih kalau lewat desa masih ada orang-orang yang hidupnya tidak layak. Suka kepikiran sampai di rumah wajah mereka," tutur Hafid.

Untungnya, kata Hafid, ia memiliki istri yang bekerja di bidang pelayanan kesehatan, sebagai perawat. Sehingga ketika timbul niat di benaknya untuk menjadi peksos, sang istri memberikan dukungan moril kepadanya .

"Istri saya perawat. Jadi pekerjaan kami sekarang sama-sama melayani orang yang sedang susah," kata ayah satu anak itu. (Ndy/Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya