Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyampaikan perlunya revisi undang-undang terorisme untuk mengatur penangkapan terduga teroris, sebelum beraksi. Aturan seperti ini, kata Pramono, sudah berlaku di Malaysia.
"Kenapa Malaysia bisa preventif? Mereka belum apa-apa saja sudah ditangkapin, karena mereka punya instrumen itu. Kita tidak ada instrumen itu," kata Pramono, di Gedung Setneg, Jakarta, Rabu (6/4/2016).
"Pemerintah dengan jujur membutuhkan UU itu, supaya ada payung hukum," kata dia.
Pramono menjelaskan, semakin dalam polisi serta Densus 88 menguak jaringan terorisme, makin diketahui pula jaringan tersebut begitu kuat dan terstruktur.
"Kenapa Malaysia bisa preventif? Mereka belum apa-apa saja sudah ditangkapin, karena mereka punya instrumen itu. Kita tidak ada instrumen itu," kata Pramono, di Gedung Setneg, Jakarta, Rabu (6/4/2016).
"Pemerintah dengan jujur membutuhkan UU itu, supaya ada payung hukum," kata dia.
Pramono menjelaskan, semakin dalam polisi serta Densus 88 menguak jaringan terorisme, makin diketahui pula jaringan tersebut begitu kuat dan terstruktur.
Baca Juga
Kelangsungan jaringan itu, kata Pramono, dapat dana dari Timur Tengah.
"Data yang dikumpulkan PPATK yang sudah dilaporkan ke pemerintah, itu ada transaksi yang dicurigai berkaitan dengan transaksi tindakan terorisme," ujar Pramono.
"Mereka biasanya menyamarkan dari orang tertentu. Ini dari middle east, kemudian tidak masuk dalam jumlah besar tapi dibagi Rp 50 juta, Rp 50 juta, dan itu secara terus menerus. Penerimanya ada beberapa orang," kata Pramono.
"Data yang dikumpulkan PPATK yang sudah dilaporkan ke pemerintah, itu ada transaksi yang dicurigai berkaitan dengan transaksi tindakan terorisme," ujar Pramono.
"Mereka biasanya menyamarkan dari orang tertentu. Ini dari middle east, kemudian tidak masuk dalam jumlah besar tapi dibagi Rp 50 juta, Rp 50 juta, dan itu secara terus menerus. Penerimanya ada beberapa orang," kata Pramono.