Liputan6.com, Jakarta - Mengasuh anak adalah perjalanan penuh cinta, tapi juga penuh tantangan. Tak jarang, orangtua merasa kewalahan dan kelelahan dalam menjalani peran tersebut sehari-sehari. Kondisi itu bisa memicu parenting stress maupun parental burnout.
Meski terdengar mirip, keduanya berbeda. Oleh karena itu, mengetahui perbedaan antara parenting stress dan parental burnout bisa menjadi langkah awal guna menjaga kesehatan mental dan kualitas pengasuhan.
Baca Juga
Menurut dosen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB University Dr Nur Islamiah, parenting stress adalah stres yang muncul sebagai reaksi terhadap situasi tertentu. Misalnya, ketika anak sakit atau terjadi konflik kecil di rumah. Meski menguras energi, stres ini biasanya bersifat sementara dan akan mereda saat pemicunya sudah berlalu.
Advertisement
“Parenting stress itu biasanya berkaitan dengan adanya situasi tertentu yang membuat stres orangtua. Misalnya anak sakit, tapi kalau situasinya sudah hilang, stresnya pun biasanya ikut berkurang,” jelasnya.
Dengan kata lain, parental stress adalah bagian dari dinamika kehidupan sebagai orangtua. Selama masih bisa diatasi dan tidak berkepanjangan, kondisi ini tergolong wajar.
Parental Burnout: Kelelahan Berkepanjangan yang Tak Teratasi
Berbeda dengan stres sesaat, parental burnout adalah kondisi serius yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental yang berlangsung lama—biasanya lebih dari tiga bulan—dan tak kunjung mereda.
“Parental burnout itu sebuah kondisi di mana orangtua merasakan kelelahan fisik dan mental dalam mengasuh anak yang sudah terjadi secara berkepanjangan dan tidak teratasi. Biasanya dirasakan lebih dari tiga bulan, dan rasanya sudah susah ditahan,” papar Nur dalam IPB Podcast: Mengenal Parental Burnout, dikutip Minggu (13/4).
Burnout ini bukan sekadar “lelah biasa”, melainkan akumulasi tekanan yang membuat orangtua merasa hampa, tidak berdaya, dan bahkan mempertanyakan kemampuannya sendiri dalam mengasuh anak.
Tiga Ciri Utama Parental Burnout
Nur menjelaskan, ada tiga tanda khas yang perlu dikenali dari parental burnout:
1. Kelelahan Fisik dan Mental yang Mendalam
Orangtua merasa lelah terus-menerus, bahkan setelah tidur atau istirahat. Energi terasa terkuras habis, dan aktivitas pengasuhan terasa begitu berat.
“Bangun tidur malah capek terus mikirin, aduh harus ngasuh lagi ya, harus ngurus anak lagi. Sudah ngerasa kelelahan terus menerus.”
2. Jarak Emosional dengan Anak (Emotional Distancing)
Orangtua mulai kehilangan kedekatan emosional dengan anak. Mereka menjalani hari-hari seperti robot, hanya memenuhi kebutuhan dasar tanpa interaksi yang hangat atau penuh cinta.
“Sudah tidak merasakan kenikmatan dalam mengasuh. Misalnya kapan terakhir kali ngobrol dari hati ke hati? Main bersama anak? Itu sudah enggak lagi. Jadi hambar.”
3. Perasaan Negatif terhadap Diri Sendiri sebagai Orangtua
Timbul rasa bersalah, tidak kompeten, bahkan perasaan gagal total sebagai orangtua.
“Kayaknya aku gagal sebagai orang tua deh. Kayaknya aku memberikan pengaruh buruk deh buat anak.”
Advertisement
Mengapa Parental Burnout Lebih Berat daripada Job Burnout?
Burnout dalam pekerjaan bisa diatasi dengan cuti atau berganti profesi. Namun, menjadi orangtua adalah komitmen seumur hidup—tanpa jeda.
“Kalau job burnout, kita bisa izin cuti. Tapi orangtua bisa cuti enggak? Enggak bisa. 24 jam dan selama-lamanya. Makanya parental burnout ini secara mental lebih menantang dan lebih susah daripada job burnout,” tegas Nur.
Mencegah dan Mengatasi Parental Burnout
Langkah awal adalah menyadari bahwa apa yang dirasakan bukan sekadar kelelahan biasa. Kemudian, orangtua perlu mulai meminta bantuan, baik dari pasangan, keluarga, atau profesional.
Selain itu, penting bagi orangtua untuk memiliki waktu jeda, menjalankan self-care, menjaga pola tidur dan makan, serta membangun kembali kedekatan emosional dengan anak melalui interaksi bermakna.
Advertisement
