Liputan6.com, Jakarta - Sunarmi Yunus tak pernah menyangka, Selasa 12 Mei 1998 pagi menjadi hari terakhir pertemuan dia dengan putranya. Hafidhin Royan, mahasiswa Teknik Sipil Universitas Trisakti itu meregang nyawa saat peluru aparat menerjang dadanya.
"Dia janji mau pulang Rabu karena ada ujian akhir jelang kelulusan. Dia benar-benar pulang, tapi udah dalam peti, dia benar-benar pulang untuk selamanya, dimakamkan di belakang rumah," ujar Sunarmi pada Liputan6.com, Kamis (12/5/2016).
Sunarmi menceritakan hari-hari terakhir bersama putranya di Kampus Universitas Trisakti, tepatnya 10 meter dari tempat anaknya diterjang timah panas pada Selasa 12 Mei 1998 lalu.
Dengan baju serba putih, tubuh ringkih Sunarmi tetap semangat menghadiri peringatan kematian putranya. Mulai sejak malam kemarin hingga pagi ini.
Baca Juga
Advertisement
Sunarmi mengisahkan, sebelum pergi ke kampus, Hafidhin sempat dilarang ayahnya untuk tak ikut demonstrasi. Demonstrasi terjadi di mana-mana, kebencian terhadap aparat dan pemerintah mencapai puncaknya.
"Almarhum ayahnya bilang, gak usah ikut-ikutan demo, nanti takut ketembak," kenang Sunarmi menirukan ucapan suaminya.
"Yang demo angkatan 66 aja gak apa-apa, malahan banyak dari mereka sudah jadi menteri," jawab Hafidhin pada ayahnya.
Sunarmi, dengan lancar menuturkan kisah anak lelaki satu-satunya itu. Ia rela anaknya dipanggil sang pencipta. Namun, perkara kematian anaknya tak akan pernah termaafkan. "Akui saja siapa yang menembak anak saya," kata dia.
Sunarmi menuntut pemerintah dan siapa saja yang terlibat dan mengomandoi para aparat yang menembaki mahasiswa. Meski beberapa petugas sudah disidangkan, Sunarmi tak tenang sebelum otak pelaku diungkap.
Hafidhin meninggal dalam usia 21 tahun, mahasiswa pencinta alam itu dikenal sebagai pemuda lembut hati.
"Orang pencinta alam perasaannya halus. Sama binatang pun dia sayang, sama lingkungan juga paling sensitif, jadi pada saat mendaki gunung, dia kumpulin sampah bawa turun," tutur Sunarmi sembari memperagakan tangannya yang seolah menggendong ransel gunung.
Ia masih ingat, saat membangunkan putranya dari tidur lelap. Sebab, anak keempat Sunarmi itu bakal mengikuti ujian terakhir kelulusannya sebagai mahasiswa.
"Diadili pelakunya, jelaskan permasalahannya, kenapa bisa terjadi seperti itu pasti ada sebab. Apa pun penyebabnya kita pengen tahu, sampai hari ini terkatung-katung begitu saja," kata Sunarmi.
Sudah 18 tahun kasus penembakan itu terjadi, 5 kali berganti Presiden, kasus ini tak juga terungkap.
Meski meninggal di tangan bangsa sendiri, Sunarmi malah berpesan agar anak-anak bangsa dan mahasiswa hari ini tetap berjuang dan jangan melempem.
"Perjuangan harus diteruskan dan semangatnya harus dikobarkan. Mereka harus berjuang menggebu-gebu," pesan Sunarmi.
Meski tewas dengan tragis, Sunarmi yakin anaknya berjuang di jalan Tuhan. Ia beranggapan, pertanda di akhir hayat putranya ingin menjemput syahid.
"Dia tanya-tanya sama almarhum ayahnya, kalau mati syahid itu gimana? Tanda-tanda mati syahid itu kayak apa," kata Sunarmi.
Kini, Hafidhin Royan dan tiga teman lain sudah berkalang tanah. Hafidhin dimakamkan di Bandung, tepat di belakang rumahnya.
Indonesia bergolak pada 1998, kemuakan atas pemerintahan diktator Soeharto membuat berbagai elemen masyarakat turun ke jalanan. Mereka menuntut perubahan, mahasiswa menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di Indonesia.
9 hari setelah tragedi Trisakti, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden. Perlawanan demi perlawanan masyarakat masih terus terjadi hingga hari ini. Kekerasan oleh aparat tetap menempati judul-judul berita setiap harinya.