KPK Kembali Periksa 2 'Wakil Tuhan' Penerima Suap

KPK kembali memeriksa Hakim Tipikor sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Janner Purba dan Hakim Adhoc Tipikor PN Bengkulu Toton.

oleh Oscar Ferri diperbarui 01 Jun 2016, 12:40 WIB
Diterbitkan 01 Jun 2016, 12:40 WIB
20151013-Gedung-Baru-KPK
Tampilan depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru di Jl Gembira, Guntur, Jakarta, Selasa (13/10/2015). Gedung tersebut dibangun di atas tanah seluas delapan hektar dengan nilai kontrak 195 miliar rupiah. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - KPK kembali memeriksa Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Janner Purba dan Hakim Adhoc Tipikor PN Bengkulu Toton. Usai ditetapkan sebagai tersangka, keduanya baru sekali diperiksa.

'Wakil Tuhan' itu bersama 3 orang lainnya jadi tersangka kasus dugaan suap‎ pengamanan perkara dugaan korupsi honor Dewan Pembina Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Muhammad Yunus Bengkulu.

Menurut Pelaksana Harian Kepala Biro‎ Hubungan Masyarakat KPK Yuyuk Andriati, Janner diperiksa untuk tersangka Toton. Sedangkan Toton digarap untuk tersangka Edi Santroni. Sementara Edi juga diperiksa untuk tersangka Syafri Syafii.

"Tersangka JP diperiksa untuk tersangka T. Tersangka T diperiksa‎ untuk tersangka ES. Tersangka ES diperiksa untuk tersangka SS," ucap Yuyuk saat dikonfirmasi, Rabu (1/6/2016).

KPK menetapkan 5 orang sebagai tersangka kasus dugaan suap pengamanan sidang perkara dugaan korupsi honor Dewan Pembina RSUD Dr Muhammad Yunus Bengkulu di Pengadilan Tipikor Bengkulu. Penetapan ini merupakan hasil operasi tangkap tangan Tim Satgas KPK di Bengkulu, Senin 23 Mei 2016 sore.

Mereka adalah hakim tindak pidana korupsi (tipikor) sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang Janner Purba, hakim adhoc tipikor PN Bengkulu Toton, dan Panitera PN Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy.

Lalu ada mantan Kepala Bagian Keuangan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Muhammad Yunus Bengkulu, Syafri Syafii, dan mantan Wakil Direktur Keuangan RSUD Dr Muhammad Yunus Bengkulu, Edi Santroni.

Janner, Toton, serta Badaruddin diduga menerima uang Rp 650 juta dari Syafri dan Edi‎. Diduga uang sebanyak itu merupakan 'pelicin' agar Syafri dan Edi dapat divonis bebas dalam perkara dugaan korupsi honor Dewan Pembina RSUD Dr M Yunus.

Atas perbuatannya, Janner dan Toton sebagai penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau c atau Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Sementara Badaruddin alias Billy yang juga menjadi penerima suap dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau c atau Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Sedangkan Syafri dan Edi selaku pemberi suap disangka melanggar Pasal 6 ayat 1 atau pasal 6 ayat 1 huruf a atau b dan atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Periksa Kajari Subang

Periksa Kajari Subang

KPK juga mengagendakan pemeriksaan terhadap Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Subang, Chandra Yahya Welo dalam kasus dugaan suap pengamanan perkara korupsi dana BPJS 2014 Subang di Pengadilan Tipikor Bandung, Jawa Barat.

Petinggi Korps Adhyaksa yang kini dipimpin Jaksa Agung‎ HM Prasetyo itu digarap KPK sebagai saksi untuk tersangka Deviyanti Rochaeni. Deviyanti merupakan Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.

"Yang bersangkutan jadi saksi untuk ‎tersangka DVR (Deviyanti Rochaeni)," ujar Yuyuk.

Selain Chandra‎, KPK juga menjadwalkan pemeriksaan kepada Anang Suhartono. Anang saat ini menjabat sebagai Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Subang. Anang juga diperiksa sebagai saksi untuk Deviyanti.

Diduga kuat, pemeriksaan ini lantaran keduanya sedikit banyak mengetahui‎ kasus yang sudah menjerat juga Bupati Subang Ojang Sohandi sebagai tersangka itu. Selain itu, KPK juga mensinyalir adanya sejumlah aparat penegak hukum yang menerima gratifikasi dari Ojang. Bahkan, Ojang sudah membeberkan para penerima gratifikasi itu kepada penyidik KPK.

Indikasi penerimaan gratifikasi itu merupakan hasil pengembangan penyidikan dalam kasus dugaan suap pengamanan perkara dugaan korupsi dana BPJS Kabupaten 2014 di Pengadilan Tipikor Bandung. Pada kasus itu, KPK menetapkan Ojang Sohandi sebagai tersangka.

Orang nomor satu di Subang itu diduga memberi suap kepada jaksa pada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat Deviyanti Rochaeni dan Fahri Nurmallo. Suap itu diberikan melalui Lenih Marliani, istri Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Subang Jajang Abdul Holik.

Tujuan pemberian suap itu agar Jajang yang menjadi terdakwa perkara korupsi dana BPJS Subang 2014 di Tipikor Bandung dapat diberikan keringanan dalam tuntutan. Selain itu, suap ini juga diberikan agar nama Ojang tidak terseret dalam puasaran perkara yang menjerat mantan anak buahnya itu.
 
Selain memberi suap, KPK juga menduga kuat Ojang menerima hadiah atau gratifikasi. Indikasi gratifikasi itu didapati usai penyidik juga menemukan uang saat menangkap tangan Ojang di kawasan Subang, Jawa Barat. Uang itu ditemukan di dalam mobil Pajero Sport bernopol T 1978 PN milik Ojang.‎

KPK pun menetapkan Ojang, Lenih, dan Jajang sebagai tersangka pemberi suap dan menjeratnya dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b dan atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

KPK juga menetapkan jaksa Devi dan Fahri sebagai tersangka penerima suap yang diduga melanggar Pasal 12 huruf a dan b atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Kemudian, KPK menetapkan Ojang sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi setelah penyidik menemukan uang sejumlah Rp 385 juta di dalam mobil ketika Tim Satgas menangkapnya. Atas dugaan penerimaan gratifikasi tersebut, penyidik menjerat Ojang melanggar Pasal 12 B UU Tipikor.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya