Bamsoet: TNI Ikut Tangani Terorisme Itu Cara Berpikir Mundur

Hukum sipil, lanjut Bamsoet, segala sesuatunya harus tunduk pada KUHAP dan pelaksananya adalah polisi.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 25 Jul 2016, 05:02 WIB
Diterbitkan 25 Jul 2016, 05:02 WIB
2000 Personel Gabungan TNI-Polri Kepung Santoso
Operasi ini dikenal dengan sandi 'Tinombala'. Targetnya pimpinan kelompok yang terafiliasi dengan ISIS ini tertangkap hidup atau mati.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo menilai keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme tidak perlu dilakukan. Sebab, jika hal itu dilakukan justru menunjukkan cara berpikir yang mundur.

"Reformasi sektor keamanan dalam negeri seharusnya terus bergerak maju, dengan menunjukkan konsistensi pada pendekatan hukum sipil yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)," kata Bambang, dalam keterangan tertulisnya, Minggu 24 Juli 2016.

"Mendorong TNI ikut menangani tindak pidana terorisme adalah cara berpikir mundur, dan kontraproduktif dengan agenda reformasi," sambung pria yang akrab disapa Bamsoet itu.

Bamsoet menegaskan tidak ada urgensi menambah atau memperluas tugas pokok dan fungsi TNI, melalui revisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Revisi UU Terorisme tidak boleh kebablasan.

"Pemanfaatan oleh negara atas kekuatan dan kemampuan TNI harus tetap berpijak pada UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara," kata dia.
 
Politikus Partai Golkar ini mengatakan, yang menjadi masalah sekarang adalah cakupan kebijakan dan strategi nasional dalam penanggulangan terorisme sangatlah luas. Ada langkah pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, penyiapan kesiapsiagaan nasional, dan kerja sama internasional.
 
"Kalau TNI dilibatkan dalam tugas memerangi tindak pidana terorisme, konsekuensi logisnya pun akan sangat luas dan prinsipil. Semua konsekuensi itu harus dipatuhi dan dijalankan, karena penanganan pidana terorisme masuk dalam kerangka penegakan hukum," papar Bamsoet.
 
Karena itu, lanjut dia, menempatkan dan memberi wewenang TNI sebagaimana tertuang dalam Pasal 43A ayat (3) dan 43B ayat (1) pada draft Revisi UU Terorisme menjadi tidak masuk akal.

"Bahkan, tidak sejalan dengan agenda reformasi mewujudkan keamanan serta ketertiban umum di dalam negeri. Agenda ini menyepakati penegakan hukum yang berpijak pada hukum sipil," kata dia.
 
Hukum sipil, lanjut Bamsoet, segala sesuatunya harus tunduk pada KUHAP dan pelaksananya adalah polisi. Dengan begitu, menjadi mustahil jika TNI juga ditugaskan menangani tindak pidana terorisme.

"Bukankah teroris yang ditangkap akan diproses secara hukum dan dihadapkan ke pengadilan. Kalau TNI menangkap teroris, proses hukumnya dilaksanakan oleh siapa?" tanya dia.
 
"Kontribusi TNI dalam memerangi terorisme adalah sebuah keniscayaan. Sejatinya, bukan hanya TNI dan Polri, semua elemen rakyat pun harus berkontribusi mewujudkan keamanan dan ketertiban umum," imbuh Bamsoet.

Namun, Bamsoet menegaskan, peran masing-masing elemen haruslah proporsional dan sesuai peraturan perundang-undangan serta derajat tantangannya.
 
"Karena itu, kontribusi TNI dalam memerangi terorisme idealnya disesuaikan dengan kebutuhan, dan harus berdasarkan perintah Presiden RI selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara," pungkas Bamsoet.

Panitia Khusus (Pansus) Revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme), berencana memberi kewenangan penindakan kepada TNI. Jika disetujui DPR dan pemerintah, TNI akan terlibat dalam penanganan aksi terorisme di Indonesia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya