KPK: Bukan Persoalan Rp 100 Juta, tapi Ketua DPD Simbol Lembaga

Pengacara Irman, Tommy Singh menyebut kasus ini lucu. Sebab secara material nominal suapnya yang disangkakan ke Irman kecil.

oleh Oscar Ferri diperbarui 19 Sep 2016, 14:01 WIB
Diterbitkan 19 Sep 2016, 14:01 WIB
20160424-KPK Sita Rp 650 Juta saat OTT Ketua PN Kepahiang
Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati saat jumpa pers di Kantor KPK, Jakarta, Selasa (24/5/2016). Uang itu diduga suap dari mantan Kabag Keuangan RSUD M Yunus, Bengkulu, Safri Safei. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Nama Irman Gusman membuat heboh masyarakat ketika terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Tim Satuan Tugas (Satgas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir pekan lalu. Irman selaku Ketua DPD itu menerima uang diduga suap sebesar Rp 100 juta.

Meski beberapa kalangan mengkritik KPK yang hanya melakukan OTT kepada orang sekelas Irman dengan duit suap "hanya" Rp 100 juta, KPK bergeming. Menurut KPK, ini bukan persoalan besar kecilnya nominal suap, tetapi lebih dari itu, Irman adalah penyelenggara negara sekaligus simbol lembaga negara bernama DPD RI.

"(Bukan persoalan nominal) tapi statusnya (Irman) sebagai penyelenggara negara," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati saat dikonfirmasi, Senin (19/9/2016).

Yuyuk menjelaskan, nominal suap Rp 100 juta tidak memiliki pengaruh seseorang ditangkap atau tidak. Tapi jelas, dalam nominal Rp 100 juta itu terdapat dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Karenanya, KPK sebagai lembaga antikorupsi harus turun menanganinya.

"Nominal itu tidak berpengaruh," ujar Yuyuk.

Pengacara Irman, Tommy Singh, sebelumnya menyebut kasus ini lucu. Sebab, secara material nominal suapnya yang disangkakan ke Irman terbilang kecil. Menurut dia, angka segitu bukan "kelasnya" Irman.

"Angkanya kecil sekali. Kalau kita mau ngomong kasar, bukan kelas Pak Irman-lah. Artinya angka segitu buat saya tanda tanya," ujar Tommy di Gedung KPK, Sabtu, 17 September lalu.

Penetapan Tersangka

KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka kasus dugaan suap rekomendasi penambahan kuota impor gula wilayah Sumatera Barat tahun 2016 yang diberikan Bulog kepada CV Semesta Berjaya. Ketiganya, yakni Ketua DPD RI Irman Gusman serta Direktur Utama CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan istrinya, Memi‎.

Irman diduga menerima suap Rp 100 juta dari Xaveriandy dan Memi sebagai hadiah atas rekomendasi penambahan kuota impor gula untuk CV Semesta Berjaya tersebut.

Irman selaku penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b dan atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Sementara Xaveriandy dan Memi sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Penetapan tersangka ketiga orang ini merupakan hasil operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Tim Satgas KPK di rumah dinas Ketua DPD RI di kawasan Widya Candra, Jakarta. Sejumlah orang, termasuk Irman, Xaveriandy, dan Memi, diamankan oleh tim satgas bersama dengan barang bukti uang Rp 100 juta.

OTT itu merupakan hasil pengembangan penyelidikan KPK terkait kasus dugaan suap terhadap jaksa Kejaksaan Negeri Padang, Farizal yang dilakukan oleh Xaveriandy dalam perkara distribusi gula impor tanpa sertifikat SNI di Pengadilan Negeri Padang, Sumatera Barat.

Dari pengembangan penyelidikan kasus itu, tim penyelidik KPK mendapat informasi yang berhubungan dengan Irman Gusman.

‎Adapun, dalam perkara distribusi impor gula tanpa SNI itu, Xaveriandy sebagai terdakwa memberi suap Rp 364 juta kepada Farizal. Farizal merupakan Jaksa yang mendakwa Xaveriandy dalam perkara tersebut. Namun dalam praktiknya, Farizal bertindak seolah-olah sebagai penasihat hukum Xaveriandy dengan cara membuatkan eksepsi dan mengatur saksi-saksi yang menguntungkan Xaveriandy.

KPK kemudian menjerat Xaveriandy selaku pemberi suap dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan Farizal sebagai penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya