Liputan6.com, Jakarta - Mutmaimah berdalih hanya memotong boneka kayu di hadapannya. Dia heran bayinya, Arjuna malah meninggal. Dia merasa tak membunuh atau memutilasinya.
"Saya cuma motong boneka kayu warna kuning, eh... Arjuna mati," ujar Muhammad Wahidin menirukan ucapan adik kandungnya, Mutmainah, di Cengkareng, Jakarta Barat, Rabu 5 Oktober 2016.
Ibu muda yang kerap disapa Iin itu kini masih berada di RS Polri Kramatjati untuk menjalani pemeriksaan kejiwaan, setelah membunuh dan memutilasi bayinya yang berusia satu tahun, Arjuna.
Advertisement
Muhammad Wahidin atau biasa dipanggil Wahid menceritakan, adiknya kini telah berubah menjadi aneh. Ia sedikit tak sadarkan diri. Wahid mendampingi Iin sejak ia ditemukan tanpa busana di kontrakannya hingga hari ini.
Wahid menerangkan, selama dua bulan ke belakang, adiknya sering berbicara ngawur.
Di lain kesempatan, istri anggota Provost Polda Metro Jaya Aipda Denny Siregar itu membuat pengakuan berbeda. Dia mengatakan alasannya memutilasi anaknya karena ada bisikan-bisikan aneh di telinganya.
"Dia dapat bisikan dari pocong yang ada di rumah kontrakannya, katanya disuruh ngasah pisau di pantatnya ulekan. Dia enggak tahu pas gituin (memutilasi) Arjuna, sampai enggak sadar kalau dia sudah enggak pakai baju," kata Wahid.
Di kesempatan lainnya, saat ditanya polisi di RS Kramajati, Iin memberikan jawaban berbeda. Ia mengaku tengah menuntut ilmu hitam, sehingga potongan tubuh bayinya merupakan prasyarat yang harus ia penuhi.
"Pas direkam sama polwan, dianya (Mutmainah) jawab, sengaja gituin (memutilasi) Arjuna karena lagi pelajarin ilmu hitam," kata Wahid.
Dalam pengakuannya di RS Kramajati, Mutmainah merasa tak selesai dalam ritualnya. Semua potongan tubuh belum lengkap, ia gagal memenuhi syarat ilmu hitam itu.
Sebelum semua bagian itu termutilasi, Arjuna meninggal dunia. Iin tak sempat memutilasi lidah Arjuna. "Enggak lengkap, karena itu Arjuna mati dan dia gagal, kata Iin," terang Wahid.
Bagian tubuh itu kemudian diletakkan di piring sebagai sesajen. Tujuannya, agar salah satu kakak Iin yang tunarungu dapat sembuh.
Hal ini juga disampaikan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Mochamad Iriawan. Iin diduga tengah mendalami ilmu tertentu sejak dua tahun lalu.
"Memang suaminya sering juga diajak berantemlah dengan yang bersangkutan. Itu yang kita sayangkan kenapa bisa terjadi. Yang jelas hasil pemeriksaan yang kita periksa demikian," tutur Iriawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa Oktober 2016.
Soal ilmu yang dipelajari Iin, Iriawan mengaku pihaknya belum mengetahuinya. Termasuk dari mana Iin mempelajari ilmu tersebut. "Itu sedang kita dalami. Dia sementara hanya menyampaikan itu," kata Iwan.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Awi Setiyono, mengatakan pemutilasi bayi tersebut masih menjalani pemeriksaan psikologi di RS Polri Kramatjati, Jakarta Timur. Kondisi kejiwaan Iin masih belum stabil.
"Makanya kemarin pun sempat ditanyain yang bersangkutan ya merasa tidak bersalah. Enggak ngaku melakukan pembunuhan, karena kejiwaannya enggak stabil," ujar Awi di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa.
Iriawan mengatakan, jika benar Iin mengalami gangguan kejiwaan, kasus pidananya tidak bisa diteruskan. Hal itu berdasarkan Pasal 44 KUHP.
"Kita dalami betul, apa dia betul 44 (KUHP) atau memang halusinasi saja. Ya kalau itu (halusinasi) harus dipertanggungjawabkan. Tapi kalau ada gangguan jiwa yang mengarah kepada kejiwaannya terganggu, ya tidak bisa dipertanggungjawabkan," kata pria yang akrab disapa Iwan itu.
Anak Sulung Trauma
Iriawan mengatakan, perhatian khusus diberikan kepada Denny dan juga anak pertamanya yang juga terluka akibat ulah sang ibu.
"Dari kita, dari SDM dari bagian psikologi kita dampingi, termasuk suaminya tentu akan kita lakukan itu. Kalau istrinya akan kita dalami juga dengan psikologi, kenapa bisa terjadi demikian," ujar dia.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Awi Setiyono mengungkapkan, anak pertama Aipda Denny dan Mutmainah tak mengalami luka serius. Kendati, anak tersebut masih membutuhkan perhatian khusus karena mengalami trauma.
"Enggak apa-apa sih, lukanya kan enggak serius. Tapi sudah di bawah perlindungan orangtuanya (Denny). Kita upayakan untuk membantu trauma healing-nya. Kan anak keluarga kita juga, keluarga polisi," ucap Awi.
Getirnya Hidup Mutmainah
Keluarga menduga, Mutmainah depresi berat. Sehingga, terjadi peristiwa pembunuhan disertai mutilasi di kamar kontrakannya, Jalan Jaya 24, No 24, RT 04 RW 10, Cengkareng Barat, Cengkareng, Jakarta Barat, Minggu 2 Oktober 2016 sekitar pukul 21.00 WIB.
Pihak keluarga Iin mengatakan, ada masalah keluarga antara Iin dan suaminya, Aipda Denny Siregar. Kakak Iin, Wahid menyebutkan, adiknya itu tidak pernah mengancam suaminya, Aipda Denny.
"Denny enggak pernah mukul, sebab dia tahu hukum. Tapi, adik saya sering tekanan batin, pernah ribut di depan rumah sini, sampai semua tetangga keluar. Ributnya mulut aja," kata Wahid.
Wahid mengatakan, Iin pernah berkeluh kesah kepadanya sebelum peristiwa mutilasi. Iin mengadu merasa tertekan dengan sikap sang suami. Iin juga menjadi pendiam dalam dua pekan belakangan ini.
Dia menuturkan, sudah lima tahun belakangan ini adiknya depresi. Bahkan, pernah dibawa berobat di Jawa Tengah karena depresi berat. Depresi dimulai sejak ia putus hubungan dengan Denny saat masih menjalin kasih.
Setelah kembali dari Jawa Tengah, Iin mulai tenang. Tapi, ia kembali mengalami depresi karena Denny kembali hadir dalam kehidupan adiknya.
Wahid mengatakan, adiknya kembali ditinggal Denny dan menikah dengan seorang petugas keamanan. Pernikahan hanya berlangsung satu bulan. Iin kemudian menikah dengan Denny.
Mutmainah atau Iin adalah anak kedelapan dari sembilan bersaudara. Ayah Iin, Jaelani mengatakan, putrinya itu tidak punya perilaku kejiwaan menyimpang selama tinggal dengan mereka.
"Kalau anak saya dituduh kriminal, saya enggak terima. Orang anak saya depresi kok karena suaminya," ujar Jaelani saat ditemui di rumahnya, Cengkareng, Jakarta Barat, Selasa 4 Oktober 2016.
Dia menuding hubungan anaknya dengan suaminya itu tidak harmonis. Meski tidak tahu persis bagaimana ketidakharmonisan tersebut, Iin pernah menceritakan hal itu kepada Jaelani.
"Dia pernah bilang, katanya gaji suaminya sebulan juga enggak pernah tahu, dikasih cuma satu juta per bulan," jelas Jaelani.
Sementara Komala menuturkan, putrinya itu terlihat mengalami perubahan sikap. Perubahan pun terlihat dari penampilan Iin. "Sebelum nikah dia gemuk, sekarang kurus kering, badannya habis," kata dia.
Advertisement
Apa Pandangan Psikolog?
Psikolog keluarga dan anak, Anna Surti Ariani mengatakan, kalau ada seorang ibu membunuh anaknya, apalagi usianya di bawah tiga tahun, perlu dicek apakah ibu itu mengalami Post Partum Psychosis (PPP), atau psikosis pasca-melahirkan.
PPP adalah gangguan yang berbeda dan jauh lebih berat jika dibandingkan dengan Baby Blues dan bahkan Post Partum Depression (PPD). PPP bisa terjadi bersamaan dengan Baby Blues atau PPD, atau bahkan terjadi setelahnya, namun sering dialami dalam waktu yang lebih panjang.
Sedangkan pada ibu yang mengalami PPP, ada masa-masa dimana kesadarannya seakan ‘terpisah’ dari kenyataan saat ini.
"Contohnya, ia merasa mendengar suara yang tak bisa didengar orang lain atau melihat sesuatu yang tak dilihat orang lain (halusinasi). Kadang halusinasi ini menyuruhnya untuk membunuh bayinya demi menyelamatkan bayi tersebut. Artinya, ibu tersebut membunuh bayinya bukan karena tega, namun karena kasih sayangnya yang luar biasa, tapi tidak sedang dalam fase sadar," kata dia saat dihubungi oleh Health-Liputan6.com, Rabu (5/10/2016).
Anna menuturkan, penyebab seorang ibu bisa sampai mengalami PPP biasanya ia telah mengalami kondisi hidup yang begitu luar biasa sulit dan ia tetap bertahan. Oleh karena itu, sungguh tega sekali kalau orang-orang justru menghakimi ibu ini.
"Ibu ini justru sangat perlu ditolong untuk dapat kembali berfungsi normal sebagai seorang ibu yang mencintai keluarganya," ujar dia.
MeskipunMutmainah belum tentu mengalami PPP, karena Anna belum pernah memeriksanya secara langsung.
Sementara itu, Psikolog Ayu Dwi Nindyati juga menanggapi kasus mutilasi yang melibatkan seorang ibu karena diduga membunuh anak kandungnya itu.
"Ketika kita melihat perilaku, pikiran, atau emosinya di luar kewajaran atau yang tidak bisa kita masukkan dalam pemahaman normal masyarakat kita, bisa me-link-kan dengan pihak terkait. Bisa jadi orang-orang ini tidak tahu apa kondisi dirinya atau tidak tahu harus link kemana," kata Ayu saat konferensi pers peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Rabu (5/10/2016).
Menurut perempuan yang juga menjabat Sekretaris Himpunan Psikologi Indonesia ini, saat menjalani pemeriksaan bersama psikolog atau psikiater nanti akan dilihat sudah sampai seperti apa kondisi jiwanya.