Liputan6.com, Jakarta - Setara Institute melakukan riset dalam bidang penegakan Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia) yang dilakukan pemerintahan Jokowi-JK selama 2 tahun memerintah. Hasilnya, Setara Institute memberi nilai 5,5 untuk bidang hukum dan memberikan nilai merah dengan angka 4 untuk bidang HAM.
Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani memaparkan hasil riset yang ia lakukan selama 2 tahun kepemimpinan Jokowi. Riset ini, kata Ismail merujuk dan memakai indikator Nawacita yang merupakan dokumen politik Jokowi-JK yang diterjemahkan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015 - 2019 dan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
"Dalam riset ini, parameter kami adalah Nawacita, RPJM 2015-2019, RPJMN dalam bidang capaian institusi hukum di bawah pemerintahan Jokowi-JK," ujar Ismail di kantor Setara Institute, Jakarta, Minggu (23/10/2016).
Advertisement
Dalam Nawacita itu, Jokowi berkomitmen akan mereformasi 11 bidang reformasi penegakan hukum yang dijabarkan dalam 42 agenda prioritas reformasi dan perlindungan HAM.
"Secara garis besar. 42 agenda prioritas itu berpusat pada pembenahan legislasi, pelayanan publik, penanganan korupsi dan mafia peradilan, penegakan hukum lingkungun, pemberantasan illegal logging, illegal fishing, dan illegal mining, pemberantasan narkoba, reformasi agraria, penghormatan HAM, penuntasan kasus HAM masa lalu, reformasi peradilan militer, akuntabilitas penyidikan ,dan penuntutan serta memilih sosok kapolri dan jaksa agung yang bersih dan kompeten," beber Ismail.
Dari indikator tersebut, Setara Institute memberikan nilai merah. Meski, menurut Islmail, nilai 5,5 untuk penegakan hukum dan nilai 4 untuk penegakan HAM merupakan nilai yang sudah maksimal dari semua capaian pemerintahan Jokowi-JK.
"Terjemahan Nawacita kabur, tak ada indikator yang jelas, dia (Bappenas) lari dan menjauh dari apa yang dituliskan dalam Nawacita. Dan ini, berpeluang Nawacita gagal ditunaikan pada 5 tahun pemerintahannya," kata Ismail.
Bappenas dan kantor Staff Kepresidenan dinilainya tak mampu menerjemahkan keinginan Jokowi-JK dari tingkat dokumen politik yang diturunkan dokumen teknokratis. Dari data Setara Institute, Kantor Staf Kepresidenan hanya punya dua capaian yang bisa mereka banggakan dan diklaim sebagai prestasi pemerintah Jokowi-JK.
"Cuma Inpres nomor 1 dan 10 yang dua-duanya bicara soal korupsi. Inpres itu biasa-biasa saja, tidak ada capaian progresif," ucap Ismail.
Tak Seriusi Penegakan Hukum dan HAM
Hasil riset Setara Institute juga menemukan, pelanggaran HAM masa lalu masih menjadi beban sosial-politik bagi bangsa Indonesia seperti kerusuhan Mei 1998, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan tragedi 1965 G- 30 S PKI.
"Dua tahun memimpin, tak ada langkah serius Jokowi untuk menuntaskan semua kasus-kasus tersebut. Terkait kasus 1965 misalnya, inisiatif penyelsaian jalur nonyudisial juga tidak jelas konsep dan arahnya," ujar Ismail.
Penuntasan kasus HAM 1965 ini, menurut Ismail, malah mengkriminalisasi kelompok-kelompok masyarakat yang ingin mengadvokasi. Masyarakat yang turut serta membantu pemerintah dalam proses konsolliasi serta pengungkapan fakta ataupun memberikan tawaran-tawaran cara penyelesaian malah didiskriminasi dan tak jarang dikriminalisasi.
"Setidaknya terdapat 8 pembubaran kegiatan kebebasan berekpresi karena dianggap menyebar paham komunisme," jelas Ismail.
Ismail juga mengkritisi Sekretariat Negara yang tidak mampu menjaga dokumen berharga terkait pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib. Padahal melalui putusan Komisi Informasi Publik (KIP) diketahui dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Munir sudah diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun belakangan dinyatakan hilang oleh Setneg.
"Jangankan menuntaskan, menjaga dokumen saja negara tidak mampu," jelas Ismail.
Jokowi-JK juga diktitisi terkait reformasi peradilan militer yang sebelumnya pernah dijanjikan melalui revisi Undang-Undang 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
"Jokowi menyadari betul proses peradilan militer adalah bentuk ketidakadilan dan perlakuan tidak setara di muka hukum bagi anggota militer yang melakukan kejahatan umum maupun kejahatan perang. Pada masa lalu, peradilan militer salah satu sumber pelanggaran HAM. Akan tetapi dua tahun memimpin, indikasi reformasi peradilan militer tersebut tidak pernah terjadi," beber dia.
Yang terjadi, sambung Ismail, Jokowi melalui para menterinya malah memberikan previlege pada militer dalam berbagai kegiatan operasi militer selain perang (OMSP) melalui payung hukum.
"Kami mecatat sebanya 35 kesepakatan bersama dengan berbagai kementrian pelibatan militer secara sistemik dapat merusak sistem keamanan dan penegakan hukum. TNI juga diberikan panggung baru dalam pemberantasan terorisme. Ini memberikan persoalan baru dan merusak sistem peradilan pidana pada tindak pidana terorisme," ungkap Ismail.
Advertisement