Liputan6.com, Jakarta - Kumalasari Tanara tak pernah mengira kebiasaan di masa kecilnya akan menjadi sumber penghasilan di masa depan. Saat kecil, Sari, sapaan akrabnya, suka merias wajah dua adiknya, Armin Tanara dan Adrian Tanara. Ia merias mereka menggunakan perona pipi, pemerah bibir, dan pewarna mata. Goresan kosmetik milik ibunya itu membuat wajah kedua adiknya seperti babak belur dan luka-luka.
Pengalaman merias wajah itu kelak mengantarkan Sari menjadi penanggung jawab sejumlah riasan sadis berlumur darah yang tayang dalam sejumlah film Indonesia. Sebut saja: Rumah Dara, The Killers, dan The Raid 2. Tiga film itu menggunakan jasa Sari untuk riasan adegan-adegan penuh luka dan darah.
Advertisement
Sari menyebut pembuat riasan yang bagi sejumlah orang menjijikkan ini sebagai special effect makeup artist. Keterampilan perempuan 33 tahun ini membuatnya menjadi pionir yang mampu menghidupkan kembali riasan dengan "darah" di Indonesia. Sari harus berjibaku untuk kembali memperkenalkan keahliannya ini. “Aku awalnya kayak saleswoman,” kata Sari menuturkan cerita kala dirinya merintis karier sebagai special effect makeup artist kepada Liputan6.com, di workshop-nya di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (10/11/2016).
Special effect makeup merupakan salah satu jenis makeup yang kini kembali menjadi tren di dunia perfilman Indonesia. Makeup jenis ini pernah berkembang di era film-film bergenre horor sekitar 1980-an. Tren ini kemudian kembali melejit seiring munculnya film Rumah Dara pada 2008. Film tersebut menggunakan sejumlah effect yang memberi kesan sadis, mengerikan, dan menjijikkan. Seturut perjalanan waktu, sejumlah film Indonesia turut menggunakan efek-efek spesial.
Sari menyadari betul pekerjaan yang ditekuninya saat ini punya peran cukup penting dalam sebuah film. Sebab, efek makeup-nya tak hanya sekadar membuat wajah seseorang berubah drastis. Akan tetapi, juga mampu memberi kesan yang muncul untuk penonton film. “Contohnya, orang kelihatan lebih tua, atau seseorang jadi monster atau zombie. Bisa juga perempuan menjadi laki-laki,” kata Sari.
Kemunculan kembali makeup dengan efek darah, atau akrab disebut makeup gore dalam industri film ini, rupanya berbanding lurus dengan gairah eksperimen makeup di luar dunia film. Alka, salah satu perias gore yang bermukim di Bali, menuturkan demam makeup gore sudah melanda Pulau Dewata. Apalagi banyak turis asing yang kerap membawa tradisi mereka ke Bali, misalnya Halloween.
Gairah eksperimen ini, kata Alka, membuat banyak perias mulai mempelajari special effect makeup. Meski belum ada komunitas khusus buat para perias ini, Alka mengatakan sedikitnya sudah 20 perias yang kini mulai menekuni dunia rias yang banyak dianggap menjijikkan ini. “Malah beberapa orang mulai menjadikan ini bisnis,” tutur Alka.
Terlepas dari soal bisnis, Akhyar Yusuf Lubis, ahli ilmu budaya dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, menilai fenomena makeup gore merupakan fenomena budaya kontemporer. Fenomena ini, kata Akhyar, muncul dari kegelisahan kelas menengah dalam sistem sosial masyarakat. Penulis sejumlah buku metodologi penelitian ilmu humaniora ini menyebut mereka bosan dengan kesenian dan kebudayaan yang hanya berkutat di situ-situ saja.
Ini membuat mereka haus akan sesuatu hal yang baru. Rasa haus itu kemudian mereka tuangkan dalam seni tata rias, film, atau medium lain yang keluar dari pakem-pakem sosial terkait kesopanan, keteraturan, dan kenyamanan. “Kalau dahulu konsepnya harmoni. Keseragaman dan keteraturan dianggap menjadi penting. Sekarang orang keluar dari konsep itu,” ujar Akhyar.
Bereksperiman dengan Darah
Sari merupakan satu di antara orang yang beruntung memiliki orang tua yang mendukung kariernya. Selepas mengenyam pendidikan di Jerman dan menemukan ada varian dalam dunia makeup, Sari terbang ke Amerika Serikat untuk kembali bersekolah. Di Negeri Paman Sam itu Sari berguru kepada Leonard Engelman, perias wajah yang sudah malang melintang di dunia special effect makeup artist. Engelman dikenal sebagai perias untuk film Ghostbuster, Batman Forever, How The Grinch Stole Christmas, dan Oz the Great and Powerful.
Sepulang dari Amerika Serikat, Sari mulai merintis karier sebagai makeup artist. Rumah Dara, film bergenre slasher yang diproduksi pada 2008, menjadi titik mula yang melambungkan namanya. Rumah Dara pula yang disebut Sari menjadi pengalaman paling menantang dirinya sepanjang berkarier di dunia special effect. “Itu aku one man show. Asisten baru aku ajari. Hampir semua aku kerjain sendiri,” tutur Sari menceritakan pengalaman pertamanya.
Setelah sukses dengan film tersebut, Sari kian laris. Liputan6.com sempat menemui Sari di workshop miliknya di daerah Pondok Cabe. Saat dikunjungi, ruang kerja Sari lebih mirip ruang forensik rumah sakit. Di sekeliling ruang berukuran 6x6 meter itu tampak rak-rak besi setinggi atap berdempetan. Rak tersebut diletakkan di sisi belakang, kanan, dan kiri ruangan yang berlantai putih itu.
Di ruang workshop miliknya terdapat sejumlah potongan tubuh manusia. Tentu saja itu bukan potongan asli, melainkan potongan tubuh buatan. Tak hanya itu, ada toples berisi tengkorak kecil yang diletakkan berjejer. Semua benda buatan itu tampak berlumuran darah, tapi itu tentu darah buatan.
Di ruangan tersebut juga hanya ada dua meja. Di salah satu meja berbahan stainless steel tampak berserakan artikel dan buku-buku tentang ilmu forensik. Di halaman buku dan artikel itu terpampang jelas foto-foto mayat dan penjelasannya. Sedangkan di meja satu lagi tergeletak sejumlah potongan kepala monster setengah jadi yang masih diotak-atik Sari.
Namun yang paling mencolok di ruangan itu tentunya jeriken berisi darah buatan hasil kreasi Sari. “Almarhum bokap yang bikin dan desain mesin darahnya. Karena dulu, kan, aku bikin darahnya ngaduk,” ucap Sari. Darah buatan ini yang sekarang laku lantaran banyak digunakan di film pendek, photo shoot, atau video klip.
Penggemar film The Gods Must Be Crazy ini berujar darah-darah ini dibuatnya dengan bahan-bahan dari Indonesia. Ia dibantu dua adiknya, Armin dan Adrian, dalam memproduksi darah buatan ini. Menurut Sari, darah-darah ini sengaja dibuat untuk memudahkan perias gore mendapatkan bahan baku. Sebab, selama ini perias-perias gore harus mengimpor bahan kebutuhan makeup mereka.
“Saya bisa bayangin kalau saya makeup artist baru, modal saya juga terbatas dan enggak mungkin beli bahan yang harganya gila-gilaan. Kalau kita masih usaha, coba, gagal lagi, coba, gagal lagi, sayang kan uangnya juga,” ucap Sari.
Merias Efek Menciptakan Kesan
Special effect makeup artist mungkin terdengar baru di telinga banyak orang Indonesia. Namun, efek spesial riasan wajah ini nyatanya sudah ada puluhan tahun silam dalam industri perfilman di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Makeup yang kerap disebut gore ini sudah lama digunakan dalam adegan-adegan film Indonesia, terutama saat era 1980-an atau era film Suzanna.
Tanpa disadari, minat Sari terhadap riasan gore muncul akibat menonton film-film sejenis. Kekaguman itu menyelinap dalam alam bawah sadar Kumalasari Tanara. Perempuan kelahiran 12 Desember 1983 ini mengakui ia tertarik dengan dunia makeup gore sejak lama. Meski tak ingat betul sejak kapan, Sari mengatakan ia kerap memperhatikan makeup seorang aktris atau aktor kala menonton film. “Wah makeup-nya bagus ya, cantik banget jadinya orangnya,” atau enggak, “Luka-lukanya kok real banget?” kata Sari menuturkan perasaannya saat menonton film.
Kesan yang ditangkap saat menonton itulah yang akhirnya menjerumuskan Sari menggeluti dunia rias wajah. Apalagi kemudian Sari menemukan ada genre lain dalam dunia makeup. Kata Sari, riasan wajah tak melulu soal kecantikan. Ada riasan lain yang juga menantang. Tak lain, riasan luka bakar, luka tembak, luka sayat, dan tangan buntung. “Monsters and gores and others stuff kayak its fascinating buat aku pribadi. Karena dengan special effects makeup, kayak imajinasi kita itu jadi enggak terbatas,” ungkap Sari.
Ketidakterbatasan imanjinasi memungkinkan perias melakukan eksplorasi. Eksplorasi berkreasi ini, bagi Akhyar Yusuf Lubis, merupakan counter culture atau budaya perlawanan dari kondisi kebudayaan yang sudah dianggap kaku. Mantan Ketua Departemen Filsafat FIB UI ini menyebut kebudayaan yang ada hari ini sudah dianggap menjenuhkan. Tak lain karena anggapan manusia sebagai sentral kebudayaan yang memiliki nilai tinggi, berjarak, serta jauh dari tindak-tanduk yang buruk.
Padahal, kata dia, ilmu sosial humaniora kontemporer mengidentifikasi bahwa manusia punya sisi-sisi lain yang tak berbeda jauh dengan binatang. Manusia punya hasrat terhadap kekerasan atau kekejaman. Ini tergambar dalam fenomena sosial yang banyak terjadi belakangan, seperti perang di Irak dan Suriah, atau penyerangan-penyerangan etnis tertentu.
“Jadi dalam kebudayaan kita sering sekali mereka menunjukkan sikap irasionalitas (tak masuk akal) itu justru lebih dominan daripada rasionalitas (masuk akal). Hasrat itu lebih dominan daripada rasionalitas,” ucap Akhyar.
Dalam kondisi kebudayaan seperti ini, ujar Akhyar, kehadiran makeup gore harus dilihat tak hanya sebatas riasan. Makeup gore juga bukan sekadar varian makeup dalam dunia industri. Sebaliknya, menurut Akhyar, kehadiran makeup gore merupakan bentuk penafsiran lain terhadap sisi-sisi lain kemanusiaan yang mengagungkan kecantikan atau keindahan.
Itu kenapa, kata Akhyar, kekerasan, keburukan, kekejian, dan hal-hal yang menjijikan, dihadirkan dalam bingkai artistik. Hal ini tak sebatas untuk menghadirkan cara pandang baru yang tidak kaku terhadap segala sesuatu. “Karena masalah budaya tak bisa hanya dilihat dalam satu bentuk saja,” kata Akhyar menegaskan.