Kisah si Emas Hijau dan Kedigdayaan Kretek

Ketika tembakau di bawa ke Indonesia oleh penjajah Belanda empat abad silam, si emas hijau ini menjadi tambang emas bagi Indonesia.

oleh Liputan6 pada 29 Nov 2016, 15:19 WIB
Diperbarui 01 Des 2016, 07:16 WIB

Liputan6.com, Jakarta Sejak berabad-abad, tembakau menjadi komoditas dunia. Bahkan ketika tembakau di bawa ke Indonesia oleh penjajah Belanda empat abad silam, si emas hijau ini menjadi tambang emas bagi Indonesia.

Perjalanan Christopher Columbus ke San Salvador, Kepulauan Bahama, pada awal abad ke 15 masehi membawa dampak luar biasa bagi ekonomi dunia, termasuk Indonesia, hingga hari ini.

Di Bahama, Columbus menemukan Nicotiana tabacum atau lebih dikenal sebagai tanaman tembakau. Di sana pula, ia bertemu dengan suku Indian, hingga kemudian tercipta kebiasaan menikmati kepulan asap tembakau.

Singkat cerita, tanaman itu kemudian ia bawa ke Eropa dan mulai dibudidayakan di lokasi-lokasi penjajahan, termasuk Nusantara. Sejumlah literatur menyebutkan, seabad kemudian, bangsa Portugis yang pertama kali mengenalkan tembakau di Nusantara sekitar tahun 1600.

Mengutip buku Kretek; Kemandirian dan Kedaulatan Bangsa Indonesia, Nuran Wibisono dan Marlutfi Yoandinas, menulis, istilah tembakau merujuk bahasa Portugis, “tobacco” atau “tumbacco”. Sedangkan kata “rokok” dari bahasa Belanda “ro’ken”.

Di Nusantara, tembakau mulai ditanam besaran-besaran oleh Belanda pada awal abad ke 17 di Jawa, Sumatera, dan Lombok. Ini menjadi bukti, kala itu, tembakau menjadi komoditas utama pemerintah kolonial.

Bahkan, di era sistem Tanam Paksa yang diberlakukan Gubernur Hindia Belanda Johannes van den Bosch sejak 1830, tembakau menjadi salah satu tanaman ekspor yang wajib ditanam penduduk bumiputera.

Dari tembakau Belanda mendapatkan keuntungan yang berlimpah. Dari mulanya senilai 180.000 gulden, meningkat menjadi 1.200.000 gulden pada 1840, dan masih meningkat lagi menjadi 2.300.000 gulden pada 1845. “Jawa melimpahkan kekayaan demi kekayaan atas negeri Belanda seperti tongkat tukang sihir,” ujar J.S. Furnivall dalam Netherlands India: A Study of Plural Economy.

Gamal Natsir, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, seperti dilansir detik.com, juga setuju, sejak jaman kolonial, tembakau memang menjadi komoditas primadona yang diminati penjajah.

“Tidak heran tembakau dijuluki emas hijau, yang menjadi sumber pendapatan masyarakat, penyedia lapangan kerja, sumber devisa dan sumber pendapatan negara. Bahkan, sejumlah tembakau Indonesia sudah menjadi icon seperti tembakau deli dan Madura,” ujarnya.

Selanjutnya….lahirlah kretek

Dalam perkembangannya, inovasi tembakau di Tanah Air mencapai puncaknya ketika diracik menjadi kretek. Rokok kretek khas Indonesia hasil racikan tembakau dan cengkih ini kemudian menjadi bisnis raksasa bernilai ratusan triliun.

Mengapa disebut kretek, karena ketika dibakar, ada bunyi unik kretek…kretek saat diisap.

Puthut EA, dalam buku Ekspedisi Cengkeh, menulis, Kretek tak bisa dilepaskan dari sosok Hadji Djamhari dari Kudus, Jawa Tengah. Pada 1880an, Hadji Djamhari yang ketika itu menderita sakit asma kemudian ia mencampurkan cengkeh ke lintingan tembakau. Tak dinyana, penyakit asmanya pulih. Cerita ‘keajaiban’ kretek itu pun tersebar luas.

Seperempat abad sejak penemuan kretek oleh Haji Djamhari, pelan namun pasti, kretek berubah menjadi skala industri. Dimulai oleh Nitisemito di Kudus pada awal 1900-an.

Kala itu, ia berhasil membuka lahan 14 hektar dan mampu menyerap tenaga kerja hingga 15 ribu orang. Produk kreteknya sering berganti nama, dari Kodok Mangan Ulo, Soempil, Djeroek hingga selanjutnya mantap menggunakan merek Tjap Bal Tiga pada 1916.

Boleh dikata, Nitisemito merupakan ‘Raja Kretek’ karena berhasil menyulap dari skala rumahan menjadi industri.

Sayang, keturunan Nitisemito tak satu pun mampu melanjutkan usaha ‘sang raja’ kretek. Seperti ditulis di buku “Kretek Jawa Gaya Hidup Lintas Budaya”, perusahaan Bal Tiga bangkrut. Lahan kosong dan bangunan yang tersebar di Kudus maupun luar Kudus lenyap satu persatu.

Bangunan monumental berupa dua rumah kembar, yang sudah masuk kategori cagar budaya, hanya tinggal sebuah. Rumah kembarannya sudah laku terjual.

Sebenarnya, pada waktu yang hampir bersamaan dengan Nitisemito, Liem Seng Tee mendirikan pabrik Dji Sam Soe dan Sampoerna di Surabaya. Setelahnya, pada dekade tahun 1930-an berdiri pabrik Nojorono yang didirikan oleh Ko Djee Song dan Tan Djing Thay.

Pabrik Nojorono ini membuat inovasi rokok tahan air yang sangat populer bagi masyarakat yang berprofesi sebagai pelaut dan nelayan. Ada pula H.A. Ma’roef mendirikan pabrik Djambu Bol dan Mc. Wartono mendirikan pabrik Sukun.

Pada pertengahan 1950-an, ketika produksi kretek mulai berkembang pesat menjadi industri raksasa modern dengan munculnya beberapa pabrik baru, antara lain, oleh Oei Wie Gwan mendirikan pabrik Djarum di Kudus dan Tjoa Ing Hwie mendirikan pabrik Gudang Garam di Kediri.

Djarum sendiri, pernah mengalami masalah. Pada tahun 1963 musibah kebakaran hebat menimpa perusahaan itu. Bahkan sang pemilik, meninggal tak lama setelah peristiwa pahit itu terjadi. Namun, putra-putra Oei Wie Gwan, yakni Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono berhasil memulihkan keadaan hingga kembali berjaya.

Sarat kandungan lokal

Ketangguhan kretek menghadapi badai krisis ekonomi teruji karena komposisi bahan baku di industri ini mayoritas mampu dipenuhi di dalam negeri, mulai dari sisi tembakau hingga cengkeh. Meski ada komposisi impor, seiring perubahan selera konsumen, terhitung masih kecil.

Tak heran, selama lebih satu abad lamanya, industri kretek tetap bertahan melewati berbagai gejolak krisis ekonomi dunia.

Ini terbukti ketika krisis ekonomi kawasan Asia Timur dan Tenggara pada paruh kedua 1990-an, mengakibatkan kemerosotan nilai tukar rupiah yang anjlok sampai 800 persen. Kala itu, banyak industri besar yang bermuatan impor tinggi benar benar goyah, bahkan sebagian ambruk. Namun, industri kretek mampu bertahan.

Budayawan WS Rendra di depan Sidang Mahkamah Konstitusi, Selasa, 29 April 2009, mengingatkan, bahwa kretek dalam masa krisis moneter bisa bertahan dengan baik karena cengkehnya dari dalam negeri, kertasnya dari dalam negeri, tembakau dalam negeri, saosnya dalam negeri, lalu konsumennya yang terbesar dalam negeri. Inilah sejatinya kekuatan riil ekonomi Indonesia.

“Tentu saja sebagai seniman dan budayawan saya sangat menghargai, sangat mempertimbangkan sekali proses pembangunan. Maka saya menganggap bahwa survival dari rokok kretek ini membantu kekuatan pembangunan Indonesia,” tegasnya.

Jadi, mari rawat kekuatan ekonomi kita ini.

 

 

 

(Adv)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya