Pengamat: Perekrutan Hakim MK Harus Dievaluasi Menyeluruh

Rekam jejaknya baik segi keilmuan, segi kesehatan, maupun track record calon, terutama soal asal pejabat negara tersebut harus dievaluasi.

oleh Liputan6 diperbarui 30 Jan 2017, 03:31 WIB
Diterbitkan 30 Jan 2017, 03:31 WIB
Patrialis Akbar dan Perantaranya Resmi Ditahan KPK
Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar (tengah) memberi keterangan saat keluar dari gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/1). Patrialis diduga menerima suap uji materi undang-undang tentang peternakan dan kesehatan hewan. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS) Ridwan Darmawan meminta evaluasi menyeluruh terkait perekrutan hakim di Mahkamah Konsitusi (MK). Hal itu terkait OTT KPK yang kembali menangkap salah satu hakim MK, Patrialis Akbar.

"Rekam jejak calon hakim konstitusi harus betul-betul diteropong dari berbagai aspek," kata dia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu 29 Januari 2017, seperti dikutip dari Antara.

Rekam jejaknya baik dari segi keilmuan, segi kesehatan, maupun "track record" calon, terutama soal asal pejabat negara tersebut harus dievaluasi.

Kalau untuk calon anggota KPU saja disertakan syarat harus bukan lagi anggota partai politik selama 5 tahun, tentu saja hakim MK harus lebih dari itu.

Ridwan menjelaskan korupsi di dalam hukum internasional telah masuk dalam kategori kejahatan luar biasa, hostis humanis generis, dan musuh umat manusia.

Yang menarik, menurut dia, penangkapan Patrialis dilakukan beberapa jam setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara pungujian Undang-Undang Tipikor yang diajukan tujuh PNS dari tujuh provinsi yang berstatus sebagai tersangka, terdakwa, dan terpidana korupsi yang mempersoalkan frasa "dapat" dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

"MK mengabulkan permohonan mereka dengan menyatakan bahwa unsur kerugian negara dalam penindakan kasus korupsi harus bersifat 'actual loss', bukan 'potential loss'," ucap Ridwan.

Hal itu jelas makin menghambat upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Lebih menarik lagi, kata dia, putusan MK itu mengoreksi putusan MK sebelumnya yang menyatakan bahwa kerugian negara tidak harus "actual loss" dan putusan tersebut diwarnai "dissenting opinion" oleh empat hakim MK.

Selain itu, kata Ridwan, jika Patrialis Akbar terbukti menerima suap, perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang sangat luar biasa.

"Peristiwa ini menurut saya malapetaka besar bagi negeri ini, melakukan kejahatan luar biasa, korupsi. Kejahatan tersebut masuk dalam kategori 'extraordinary crime'. Ini tamparan keras bagi seluruh komponen bangsa, bukan hanya di MK," kata Ridwan.

Sebelumnya, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basarian Pandjaitan mengatakan hakim konstitusi Patrialis Akbar terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) bersama barang bukti sejumlah uang ribuan dolar Amerika Serikat dan Singapura.

Basaria mengatakan uang tersebut merupakan hadiah yang dijanjikan pemberi suap kepada Patrialis Akbar. Diduga terkait uji materi atau "judicial review" Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

"PAK (Patrialis Akbar) menerima hadiah US$ 20 ribu dan 200 ribu dolar Singapura," kata Basaria dalam konferensi pers yang digelar di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis 26 Januari 2017.

Tersangka PAK diduga penerima disangkakan Pasal 12 Huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu menyebut mengenai hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya