Liputan6.com, Jakarta - Top 3 Berita Hari Ini teratas di kanal News, beredar isu bahwa suhu udara di Indonesia akan mencapai 40 derajat dalam enam hari ke depan.Â
Oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), kondisi ini disebut dengan fenomena Equinox. Equinox adalah adalah salah satu fenomena astronomi di mana Matahari melintasi garis khatulistiwa.Â
Apakah ini berarti Indonesia akan diserang gelombang panas? Menurut Kepala Humas BMKG Hary Djatmiko, fenomena tersebut tidak selalu mengakibatkan peningkatan suhu udara secara drastis. Jadi masyarakat tidak perlu khawatir terkait dampak Equinox.
Advertisement
Kabar lainnya yang tak kalah diburu tentang sidang ke-14 kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Saat saksi Suyanto, sopir keluarga Ahok di Belitung dimintai keterangannya di muka persidangan, Suyanto membeberkan sosok pribadi calon gubernur DKI Jakarta ini.
Di matanya, Ahok pribadi yang baik dan menghormati mereka yang berbeda agama. Hal itu terlihat ketika Ahok menyuruhnya salat Jumat ketika sudah saatnya. Meski saat itu Suyanto tengah di perjalanan mengantarkan Ahok.
Hingga malam ini, berita tersebut paling banyak menyita perhatian pembaca Liputan6.com, terutama di kanal News, Rabu (14/3/2017).Â
Berikut berita terpopuler dalam Top 3 Berita Hari Ini:Â
1. 21 Maret Indonesia Akan Mengalami Fenomena Equinox, Apa Itu?
Menurut Kepala Humas BMKG Hary Djatmiko, Equinox adalah salah satu fenomena astronomi di mana Matahari melintasi garis khatulistiwa. Secara periodik peristiwa Equinox berlangsung dua kali dalam setahun, yaitu pada 21 Maret dan 23 September.
"Saat fenomena ini berlangsung, di luar bagian Bumi hampir relatif sama, termasuk wilayah yang berada di subtropis bagian utara maupun selatan," ujar Hary di Jakarta, Rabu (15/3/2017).
Namun, Hary menegaskan, fenomena tersebut tidak selalu mengakibatkan peningkatan suhu udara secara drastis, di mana rata-rata suhu maksimal di wilayah Indonesia bisa mencapai 32-36 derajat Celsius.
"Equinox bukan merupakan fenomena seperti HeatWave yang terjadi di Afrika dan Timur Tengah yang dapat mengakibatkan peningkatan suhu udara secara besar dan bertahan lama," kata dia.
2. Sopir Beberkan Sikap Keluarga Ahok terhadap Tetangga Muslim
Sidang ke-14 kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada Selasa kemarin menghadirkan empat saksi meringankan. Salah satu saksi adalah mantan sopir pribadi Ahok bernama Suyanto.
"Kalau ada warga yang sakit, orangtua Pak Basuki yang jadi tumpuan pertama. Orang-orang pertama kali minta bantuan ke Pak Indra (ayah Ahok) buat minta uang berobat. Bahkan, Pak Indra bilang, 'Tolong bilang ke saya kalau ada warga yang minta bantuan bangun masjid, kami bantu bangun fondasi masjidnya'," kata Suyanto di Auditorium Kementan, Selasa 14 Maret 2017.
Suyanto juga bercerita, tidak ada pembedaan meski dirinya sopir. Dia mengaku sering menginap di rumah Ahok. Bahkan tidur di kamar yang juga ditempati Ahok.
Suyanto menceritakan awal mula perkenalannya dengan Ahok, yakni pada 1989.
3. Lubang di Dakwaan Kasus E-KTP
KPK mengungkap ada puluhan orang yang terkait kasus e-KTP. Sejumlah pihak menumpukan harapan ke KPK untuk mengungkap kasus megakorupsi ini.
Kader muda Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia, meminta KPK tidak mundur dalam mengungkap kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan KTP elektronik, yang diduga melibatkan nama-nama besar.
Nyanyian soal kasus e-KTP tersebut disenandungkan M Nazaruddin pada Selasa 26 September 2016. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat tersebut baru saja selesai menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat itu.
Dia mengungkap mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi terlibat kasus e-KTP. Dia mengatakan, Gamawan sewaktu masih menjabat Mendagri, turut menerima gratifikasi terkait proyek e-KTP.
Usai menjalani pemeriksaan, Nazaruddin kembali 'bernyanyi' soal kasus tersebut. Terutama pihak-pihak yang diduga turut menerima‎ aliran dana korupsi e-KTP ini. Mereka yang disebut Nazaruddin, yakni mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan mantan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Djafar Hafsah.