Liputan6.com, Jakarta - Presiden ke-3 RI Baharuddin Jusuf Habibie berbagi kisah saat berbicara di acara "Mengelola Keberagaman, Meneguhkan Keindonesiaan" yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Habibie banyak bercerita mengenai kebijakan yang ia buat demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Baca Juga
Salah satunya mengenai latar belakang dirinya disebut sebagai tokoh kebebasan pers. Kebijakan tersebut berawal ketika Presiden Soeharto resmi mundur dari jabatannya pada tahun 1998.
Advertisement
Pascalengsernya Soeharto, praktis posisi orang nomor satu di Indonesia tersebut diisi Habibie yang kala itu menjadi wakil presiden.
Habibie kemudian memanggil Panglima ABRI, Mendagri, Menlu, Keluarga Besar Partai Golkar, serta pimpinan MPR untuk menanyakan situasi negara saat itu.
Sayangnya, laporan keempat jajarannya itu tidak sinkron. Sehingga membuat Habibie sulit mengambil keputusan taktis untuk meminimalisasi gejolak reformasi.
"Masukannya itu tidak ada satu pun yang match. Bingung," ujar Habibie di Auditorium LIPI, Jakarta, Selasa (15/8/2017).
Dari situ, ide membuka kebebasan pers mengemuka. Ia ingin semua orang bebas menyuarakan pendapatnya. Mengingat, Habibie kala itu sangat memerlukan masukan dari banyak pihak untuk mengeluarkan kebijakan negara.
"Saya bilang, saya itu biasanya dapat ini, saya baca, langsung dieksekusi," kata dia.
Selain itu, Habibie menyatakan bahwa pemerintah tidak memiliki dasar mengekang kebebasan berpendapat. Bahkan, ia juga pernah bertemu Jaksa Agung dan memerintahkan membebaskan orang-orang yang dipenjara karena berbeda pandangan dengan penguasa.
Habibie yakin jurus tersebut dianggap tepat. Setidaknya kebijakan tersebut dapat meredam ketegangan kala itu, demi menjaga keutuhan Indonesia.
"Saya menjadi orang yang memberikan kebebasan pers, karena saya diindoktrinasi bahwa bangsa Indonesia harus tetap dari Sabang sampai Merauke sepanjang masa," tandas Habibie.
Saksikan video menarik di bawah ini: