Jokowi Belum Ambil Sikap soal Pembentukan Densus Antikorupsi

Pembentukan Densus Antikorupsi ini masih harus dibahas dalam rapat kabinet.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 18 Okt 2017, 21:20 WIB
Diterbitkan 18 Okt 2017, 21:20 WIB
20160318-Jokowi-Sidak-ke-Hambalang-Bogor-FF
Presiden Jokowi bersama Menpora Imam Nahrawi, Menteri PU Pera Basuki Hadimuljono, dan Jubir Presiden Johan Budi. (Setpres/Rusman)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Jokowi belum mengambil sikap terkait wacana pembentukan Dentasemen Khusus Anti-Tindak Pidana Korupsi (Densus Antikorupsi). Pembentukan Densus Antikorupsi ini masih harus dibahas dalam rapat kabinet.

"Biasanya kalau mengenai hal seperti itu dirapatkan pada rapat kabinet terbatas, di situlah akan terjadi diskusi dari usulan. Baru diputuskan untuk disetujui atau tidak. Nah itu belum ada," ujar Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi di Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu (18/10/2017).

Mantan Juru Bicara KPK itu menuturkan, pembentukan Densus Antikorupsi merupakan kewenangan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Namun, pembahasan anggaran dalam pembentukan Densus Antikorupsi harus dibawa ke sidang kabinet paripurna.

‎"Dalam rapat kabinet itu baru diputuskan apakah disetujui atau tidak usulan Densus Antikorupsi. Sampai hari ini belum ada rapat kabinet terbatas yang membahas soal itu," jelas Johan.

Ia menyatakan, Jokowi tetap konsisten dalam memberantas korupsi di Indonesia. Jokowi juga selalu menekankan mengenai sinergi antara penegak hukum dalam pemberantasan korupsi.

"Sinergi yang seperti apa? Ya sinergi yang dilakukan oleh Kapolri, Kejagung, dan KPK dalam konteks ini. Kira-kira gambarannya seperti itu," Johan memungkasi.

Potensi Risiko

Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK sempat mengingatkan potensi risiko yang mungkin muncul dari pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Antikorupsi. Ia menyebut sudah banyak lembaga yang mengawasi korupsi di Tanah Air.

Pemerintah dan birokrasi, kata dia, diawasi enam institusi. Institusi itu adalah inspektorat, BPKP, BPK, Kejaksaan, dan KPK.

"Nanti negara terlambat jalannya. Karena ada enam institusi yang memeriksa birokrasi. Mungkin dari seluruh negara, Indonesia yang terbanyak," ungkap JK.

Dia khawatir jika ditambah satu lagi, aparatur negara, terutama kepala daerah, justru takut mengeluarkan kebijakan. "Iya (takut). Kalau tambah lagi satu, akhirnya apa pun geraknya, bisa salah juga," ungkap JK.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya