HEADLINE: KPK Ungkap Mahar Politik 20 Cakada, Bawaslu Sulit Membuktikan?

KPK menegaskan tak bisa masuk menangani mahar politik, sementara sejumlah kasus yang ditangani Bawaslu berakhir antiklimaks.

oleh RinaldoIka DefiantiLizsa EgehamRatu Annisaa Suryasumirat diperbarui 21 Des 2018, 00:04 WIB
Diterbitkan 21 Des 2018, 00:04 WIB
Ilustrasi uang
Ilustrasi uang. (via: istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Dari kantornya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menguak terkait perilaku calon kepala daerah (cakada) di Pilkada Serentak 2018.

Dia mengatakan, sebanyak 20 responden mengaku memberikan mahar kepada partai politik sebelum maju menjadi calon kepala daerah. Data itu didapat setelah KPK menggelar survei Benturan Kepentingan Pendanaan Pilkada 2018.

"Di tahun politik ini, KPK mengeluarkan survei Benturan Kepentingan Pendanaan Pilkada 2018. Survei ini menemukan 20 responden mengakui membayar mahar kepada partai politik," ujar Alex saat memaparkan kinerja akhir tahun KPK, Rabu 19 Desember 2018.

Namun, tingginya biaya mahar tak sebanding dengan kemampuan ekonomi calon kepala daerah. Alhasil, mereka mencari sumber dana untuk mendukung rencana maju di Pilkada 2018.

"Para calon kepala daerah mencari bantuan biaya dari donatur. Profil penyumbang didominasi pengusaha," tegas Alex.

Ketua Bidang Hukum DPP PDIP Trimedya Panjaitan menegaskan, tak ada masalah dengan survei serta data yang dirilis KPK. Namun, agar tak menjadi polemik berkepanjangan, dia meminta KPK memperjelas calon kepala daerah dimaksud. Demikian pula definisi mahar yang diungkap KPK.

"Soalnya, di PDI Perjuangan tidak ada dikenakan mahar, yang ada gotong royong, terutama nanti terkait uang saksi. Yang paling penting dalam pilkada itu kan uang saksi," tegas Trimedya kepada Liputan6.com, Kamis (20/12/2018) siang.

Dia menjelaskan, selain dibantu oleh partai, seorang calon kepala daerah dari PDIP harus membiayai sendiri kampanye dan proses pencalonannya. Karena itu, seorang calon kepala daerah harus mengukur diri, baik dari sisi keuangan serta motivasinya.

"Kalau motivasinya untuk mencari kekayaan, memupuk kekayaan, jangan jadi calon kepala daerah. Meski rela keluar duit 30 miliar, 50 miliar, toh juga nanti abis," ujar Trimedya.

Apalagi, dia meyakini adanya pemberian uang dari calon kepala daerah kepada parpol pengusung, dipastikan menyebabkan calon bersangkutan bakal mengusahakan mengembalikan uang tersebut jika memenangkan pilkada dan mulai menjabat. Korupsi bakal tak terelakkan.

"Kan itu total pengeluaran dia. Kalau ada parpol yang meminta mahar, itu lebih tinggi lagi pengeluarannya. Dia akan usahakan satu tahun kembali modal. Hitungannya, daerah itu APBD-nya Rp 100 triliun dengan Rp 500 miliar belanja modal. Kemudian dia minta komisi 10 persen, itu kan Rp 50 miliar," jelas Trimedya.

 

Infografis Mahar Politik Calon Kepala Daerah. (Liputan6.com/Triyasni)

Karena itu, dia berharap pemerintah dan parlemen bisa membenahi masalah yang ada, jika tetap ingin mempertahankan pemilihan langsung kepala daerah yang membutuhkan biaya sangat besar. Sementara, gaji kepala daerah dinilainya masih kecil.

"Tolong diperhatikan juga gaji kepala daerah. Bagaimana orang jadi kepala daerah mengelola duit Rp 1 triliun, misalnya. Mungkin juga ada yang Rp 10 triliun kalau gubernur, sementara gaji dia hanya Rp 10 juta atau Rp 20 juta. Kan itu juga problem," tegas Trimedya.

Pendapat Trimedya diamini Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Lembaga antirasuah, menurutnya tak bisa berbuat apa-apa saat uang mahar berpindah tangan dari calon kepala daerah ke parpol. Namun, akan menjadi masalah ketika sang calon memenangkan pilkada dan menilap kekayaan daerahnya.

"Kalau dia berubah menjadi lebih baik setelah menjabat tak ada masalah. Tapi kan nyatanya tidak begitu, dia ambil-ambil (korupsi). Itulah yang kemudian dianggap KPK sangat berbahaya buat negara," ujar Saut kepada Liputan6.com, Kamis petang.

Dia mengatakan, akan sangat berbahaya jika ada seorang calon kepala daerah yang punya uang berlimpah biasa menguasai partai politik. Di sisi lain, parpol juga membutuhkan dana untuk membiayai program mereka.

"Jadi kita merekomendasikan, please pemerintah yang biayai parpol. Berapa jumlahnya? Bisa kasih sekian triliun per tahun. Dengan demikian kader-kader parpol itu fokus membangun Indonesia yang lebih baik dan benar," tegas Saut.

Dia meyakini pemerintah punya uang untuk bisa menghidupi parpol. Misalnya setiap parpol diberi Rp 1 triliun, sebuah angka yang menurutnya cukup untuk menjalankan roda organisasi sebuah parpol.

"Cukuplah untuk sewa kantor, bayar listrik, air dan kegiatan-kegiatan lain. Ini kita serius untuk merekomendasikan ke pemerintah. Politik ini kan masa depan bangsa Indonesia," tegas Saut.

Namun begitu, bagaimana dengan calon kepala daerah yang sudah menyetor mahar ke parpol tertentu? Adakah sanksi hukum untuk perilaku itu?

Mahar Politik Berakhir di Bawaslu

Bawaslu Ungkap Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018
Anggota Bawaslu, Ratna Dewi Pettalolo memberikan keterangan di Gedung Bawaslu, Jakarta, Kamis (12/7). Bawaslu memberikan sejumlah keterangan hasil pengawasan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Adanya pemberian mahar dari calon kepala daerah (cakada) kepada partai politik bukanlah kabar baru. Bahkan, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan salah satu penyebab kepala daerah terlibat korupsi karena telanjur membayar mahar politik untuk membiayai kegiatan parpol yang sangat banyak.

"Kenapa praktik korupsi terjadi di parpol, karena banyak agenda. Munas, rapimnas, rakernas semua membutuhkan biaya. Itu dibebankan kepada kader yang di daerah maupun di DPR," kata pria yang akrab disapa Bamsoet itu di Jakarta, Selasa 3 Desember 2018.

Dia juga tak menampik kalau mahar politik telah menjadi budaya politik transaksional di dalam tubuh parpol. Tak heran, tarif untuk menjadi wali kota, bupati dan gubernur mencapai ratusan Miliar.

"Kemarin itu untuk bupati, wali kota paling murah tarifnya Rp 5 miliar, untuk gubernur bisa sampai ratusan miliar, bahkan ada yang sampai Rp 200 miliar dan paling minim Rp 50 miliar," jelas Bamsoet.

Kendati sudah sangat gamblang di depan mata, KPK tak bisa masuk ke dalam kasus ini. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, tanpa ada kejelasan tentang dari mana uang itu berasal, lembaganya tak bisa bertindak.

"Kalau uang mahar itu dari kantongnya sendiri, KPK nggak punya kompeten soal itu. Karena itu masih internalnya mereka, tetapi itu akan menjadi potensi korupsi di belakang hari," ujar Saut.

Dia menyebutkan, kalaupun kasus mahar politik tetap akan dijerat, mungkin lebih dekat pada kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Tinggal lagi bagaimana aturan yang melekat pada kedua lembaga itu, apakah menilai mahar politik sebagai pelanggaran atau tidak.

"KPK sendiri nggak bisa masuk di situ. Bahkan kalaupun mereka mengaku 'saya kasih sekian'. Kecuali nanti dia mengaku mengambil uangnya dari mana (potensi korupsi) itu bisa," jelas Saut.

Yang jelas, pemberian mahar dari cakada kepada parpol bukannya tanpa sanksi. Aturan dalam pelaksanaan pilkada dengan tegas melarang serta memberi sanksi untuk perbuatan itu.

Hal itu bisa dilihat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Pasal 47 UU ini berbunyi:

(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

(2) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.

(3) Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

(4) Setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

(5) Dalam hal putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menyatakan setiap orang atau lembaga terbukti memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur, Bupati, atau Walikota maka penetapan sebagai calon, calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Bupati, atau Walikota dibatalkan.

Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pattalolo pun mengakui, sejumlah kasus pemberian mahar politik sempat ditangani lembaganya. Namun, semua kasus itu tak bisa dilanjutkan karena berbagai alasan.

"Kalau yang sempat diproses di Bawaslu itu ada beberapa laporan. Misalnya Pilkada Jatim, di mana pernyataan La Nyala yang sudah ditindaklanjuti oleh Bawaslu Jatim. Kemudian La Nyala dipanggil, tapi tidak pernah hadir, sehingga tidak pernah terkonfirmasi seperti apa alat buktinya," papar Ratna kepada Liputan6.com, Kamis malam.

Demikian pula dengan laporan dugaan mahar politik lainnya, seperti di Pilkada Kota Cirebon. Para pihak sudah dipanggil, namun tak bisa dilanjutkan karena kurangnya bukti.

"Demikian pula di Palangkaraya, sudah dipanggil waktu itu. Pihak pelapor dan pihak terlapor kalau tidak salah ada pengakuan, tapi dia mencabut setelah tahu pemberi dan penerima mahar itu dapat dijatuhkan sanksi berdasarkan UU Pilkada," jelas Ratna.

Alhasil, seluruh kasus mahar politik dalam Pilkada 2018 yang sempat diproses Bawaslu seluruhnya berakhir antiklimaks. Padahal, kasus-kasus itu sempat menyita perhatian publik karena menyeret nama-nama penting di Tanah Air.

 

Bau Mahar Politik di Pilkada 2018

La Nyalla Mattalitti
La Nyalla Mattalitti (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Kasus mahar politik mulai bermunculan di Pilkada Serentak 2018. Sulit untuk membantah, karena adanya mahar politik itu muncul dari pengakuan para calon kepala daerah yang gagal.

Diawali pengakuan La Nyalla Mattalitti yang gagal menjadi calon Gubernur Jawa Timur karena dimintai mahar politik oleh Gerindra, kemudian bermunculan pengakuan lain dari mantan calon kepala daerah di berbagai daerah.

Nilai mahar yang diminta partai politik pun tak tanggung-tanggung, hingga miliaran rupiah.

Berikut beberapa kasus mahar politik yang mencuat ke publik:

1. Pilkada Jatim

Buka-bukaan La Nyalla Mattalitti terkait adanya mahar politik diawali dengan pengungkapan soal adanya permintaan uang miliaran rupiah dari Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Nilainya fantastis, hingga puluhan miliar.

"Di Hambalang saya dipanggil ketemu sama 08 (Prabowo), disampaikan saya ingin maju (Pilkada Jatim) kemudian saya minta izin. Prabowo sempat ngomong, 'Kamu sanggup Rp 200 miliar?' Rp 500 miliar saya siapkan, kata saya, karena di belakang saya banyak didukung pengusaha-pengusaha muslim," ujar La Nyalla di kawasan Tebet, Jakarta, Kamis 11 Januari 2018.

Tak hanya itu, dia juga mendapat kabar dari Ketua DPD Gerindra Jatim Supriyanto bahwa Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto meminta sebesar Rp 40 miliar untuk keperluan operasional di Pilkada.

"Uang saksi dari 68 ribu TPS dikali Rp 200 ribu per orang dan dikali 2 berarti Rp 400 ribu, itu sekitar Rp 28 miliar. Tapi, yang diminta itu Rp 40 miliar dan harus diserahkan sebelum tanggal 20 Desember (2017). Enggak sanggup saya. Ini namanya saya beli rekom. Saya enggak mau," ujar La Nyalla.

Awalnya, dia menganggap Prabowo memintanya uang miliaran rupiah untuk dapat menjadi cagub Jatim hanyalah bercanda.

Namun, ia kaget saat Prabowo menagihnya uang sebesar Rp 40 miliar untuk biaya saksi dalam Pilkada Jatim 2018. "Saya pikir main-main ternyata ditagih betul Rp 40 miliar. Alasannya untuk membayar uang saksi," kata La Nyalla.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon membantah tudingan La Nyalla terkait adanya permintaan uang sebesar Rp 40 milliar oleh Prabowo. Fadli mengaku tidak pernah mendengar ataupun menemukan bukti akan pernyataan itu.

Dia meyakini Prabowo hanya menanyakan kesiapan finansial La Nyalla sebagai kebutuhan logistiknya selama Pilkada Jatim 2018.

"Kalau misalnya itu terkait dipertanyakan kesiapan untuk menyediakan dana untuk pemilik yang digunakan untuk dirinya sendiri, itu sangat mungkin," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis 11 Januari 2018.

2. Pilkada Kota Cirebon

Permintaan uang kepada bakal calon kepala daerah sebagai jalan untuk mendapat rekomendasi partai politik maju di Pilkada 2018 juga diduga terjadi di Kota Cirebon.

Hal itu diungkapkan mantan bakal calon Wali Kota Cirebon Siswandi yang gagal mendaftar di KPU. Siswandi yang sedianya diusung Partai Gerindra, PAN, dan PKS tak diterima KPU lantaran tidak mendapat rekomendasi dari PKS.

Siswandi mengungkapkan ada pembicaraan yang berujung kepada nilai uang. Pembicaraan tersebut saat sore pada hari kedua pendaftaran bakal calon di KPUD.

"Awalnya hanya ratusan juta, makin malam semakin besar jumlahnya sampai miliaran. Katanya setelah itu rekom turun," kata Siswandi, Sabtu 13 Janurai 2018.

Perwira tinggi polri yang pernah bertugas di Badan Narkotika Nasional (BNN) itu mengaku nominal mahar tersebut diminta oleh salah satu pengurus PKS di Kota Cirebon.

Siswandi pun menyerahkan semua pembicaraan tersebut kepada kuasa hukumnya. Namun demikian, dia mengaku kaget atas sikap PKS yang diduga tidak menurunkan rekomendasi lantaran tidak ada uang mahar.

Ketua DPD PKS Kota Cirebon, Karso, usai dimintai keterangan oleh Panwaslu mengaku tidak mengetahui proses terjadinya dugaan permintaan mahar oleh salah seorang oknum pengurus PKS.

"Saya sama sekali tidak tahu karena saat itu saya sedang koordinasi dengan DPD PAN dan Gerindra untuk mengurus proses bahan dan berkas pencalonan di kantor PKS pula," ujar Karso, Selasa 16 Januari 2018.

Dia mengungkapkan, saat itu di hari terakhir pendaftaran KPU, PKS bersama Gerindra dan PAN yang tergabung dalam Koalisi Umat sibuk mengurus kelengkapan berkas sejak pukul 14.30 WIB. Dia juga membantah adanya permintaan mahar untuk mengeluarkan rekomendasi kepada pasangan Siswandi-Euis.

"Tidak ada mahar dan saya sama sekali satu rupiah pun tidak minta mahar," ujar Karso.

3. Pilkada Palangka Raya

Adanya mahar politik dalam Pilkada Serentak 2018 juga diungkapkan pasangan John Krisli dan Maryono. Mereka sebelumnya berencana mengikuti Pilkada Palangkaraya. Namun, langkah pasangan ini gagal karena tak bersedia membayar mahar politik itu. John dan Maryono pun telah membeberkan hal ini kepada Panwaslu, Selasa 16 Januari 2018 malam.

"Saya ke sini bersama Maryono memenuhi undangan (Panwaslu) untuk berdiskusi dan menyampaikan apa yang saya rasakan berkaitan dengan mahar politik," ujar Jhon, saat tiba di Panwaslu Palangkaraya, Selasa malam.

Dalam pertemuan itu, ungkap John, ia menceritakan kronologi masalah yang menimpanya hingga akhirnya gagal mengikuti pemilihan wali kota dan wakil wali kota Palangkara 2018.

John mengaku diminta oleh Partai Gerindra di Palangkaraya untuk membayar uang satu kursi sebesar Rp 350 juta, agar mendapat rekomendasi partai yang dipimpin Prabowo Subianto itu. Di DPRD Kota Palangkaraya, Gerindra memiliki 4 kursi, sehingga total uang yang harus dikeluarkan Rp 1,4 miliar.

Tak hanya Gerindra, ia juga harus membayar uang kursi ke PPP sebesar Rp 1 miliar. PPP memiliki dua kursi di DPRD Kota Palangkaraya.

Partai Gerindra mengaku telah mengembalikan uang yang telah diserahkan oleh pasangan John Krisli dan Maryono.

Ketua DPW Gerinda Kota Palangka Raya, Ida Bagus Suprayatna, mengaku sudah mengembalikan uang sebesar Rp 350 juta. Namun, dia membantah uang tersebut adalah mahar politik. Uang itu, kata Ida, akan digunakan sebagai uang saksi.

"Dan ternyata mereka kecewa karena tidak diusung sehingga muncul opini seolah kegagalan mereka dikarenakan mahar politik. Padahal, ada beberapa faktor yang diambil dalam menentukan bakal calon terpilih oleh masing-masing partai ditingkat pusat," jelas dia.

4. Pilkada Biak Numfor

Dugaan praktik mahar politik di Partai Hanura Kubu Oesman Sapta Odang (OSO) kembali diungkap. Yan Mandenas, kader dari Papua, mengaku diminta uang untuk maju menjadi calon Bupati Biak Numfor.

Ia menunjukkan bukti komunikasinya melalui aplikasi pesan singkat dengan seorang pengurus Hanura. Yan mengaku sempat menemui OSO terkait syarat mahar tersebut.

"Itu saya diminta mahar, minta berapa, satu kursi Rp 350 juta saya harus bayar. Dua kursi Rp 700 juta saya harus bayar," kata Yan di Hotel Sultan, Jakarta Selatan, Kamis 18 Januari 2018.

Kemudian, lanjut dia, Ketua DPP Hanura Benny Ramdhani diminta untuk mengurusnya. Gerah dengan kewajiban mahar tersebut, Yan lantas menghubungi Sekretaris Jendral Hanura Sarifuddin Sudding.

Dia juga memutuskan batal maju menjadi calon Bupati Biak Numfor. Yan kini bergabung dengan Hanura kubu Sudding.

"Ini barang yang terbuka. Beda dulu Pak Wiranto pimpin partai. Kader saya beberapa yang saya hasilkan bisa maju tanpa mahar. Lima kursi pakai gratis. Kita mau yang kayak gitu," Yan menandaskan.

Sementara, OSO sendiri mengatakan , partai politik boleh menerima mahar politik dari calon kepala daerah yang akan diusung. Namun, menurut OSO, uang uang mahar tersebut harus masuk ke kas partai, bukan masuk ke kantong pribadi.

"Mahar politik itu kalau ada mekanisme partai sah saja, tapi harus masuk ke partai enggak boleh masuk kantong sendiri. Haram itu," kata OSO.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya