Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari ini, Selasa (2/7/2019) mulai memanggil saksi dalam kasus BLBI dengan tersangka pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim.
Sjamsul dan Itjih merupakan tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
"Jadi, setelah agenda pemeriksaan dua orang tersangka dalam kasus BLBI, besok (Selasa ini) juga kami mulai melakukan pemeriksaan sejumlah saksi dalam kasus BLBI tersebut. Tetapi tentu detilnya besok," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin 1 Juli 2019 seperti dilansir dari Antara.
Advertisement
Sebelumnya, Sjamsul dan Itjih tidak memenuhi panggilan KPK pada Jumat 28 Juni 2019. KPK tidak memperoleh informasi alasan ketidakhadiran dua tersangka itu.
Surat panggilan untuk dua tersangka tersebut telah dikirimkan ke lima alamat, baik di Indonesia dan Singapura.
Di Indonesia, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan ke rumah para tersangka di Simprug, Grogol Selatan, Jakarta Selatan, sejak Kamis (20/6).
Untuk alamat di Singapura, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) ke empat alamat sejak Jumat (21/6), yaitu 20 Cluny Road, Giti Tire Plt. Ltd (Head Office) 150 Beach Road, Gateway West 9 Oxley Rise The Oaxley, dan 18C Chatsworth Rd.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Dugaan
Selain mengantarkan surat panggilan pemeriksaan tersebut, KPK juga meminta pihak KBRI mengumumkannya di papan pengumuman kantor KBRI Singapura.
Upaya pemanggilan tersangka, juga dilakukan dengan bantuan "Corrupt Practices Investigation Bureau" (CPIB/Lembaga Antikorupsi Singapura).
Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp 4,8 triliun.
Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan "Financial Due Dilligence" (FDD) dan "Legal Due Dilligence" (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp 220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Advertisement