Liputan6.com, Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir belakangan mengundang beberapa tokoh ke kantornya. Dikabarkan, Erick tengah mencari orang untuk menjadi bos di beberapa perusahaan BUMN.
Salah satu yang dipanggil Erick Thohir adalah Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Ia bertemu dengan Erick pada Rabu, 13 November 2019 lalu.
Baca Juga
Datang berkemeja batik cokelat gelap, mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengaku ditawari Erick Thohir untuk menduduki posisi di salah satu BUMN.
Advertisement
Belakangan juga muncul nama Sandiaga Uno yang disebut-sebut bakal menempati kursi empuk di salah satu perusahaan BUMN.
Berikut nama-nama tokoh kontroversial yang digadang-gadang akan menduduki posisi bos di perusahaan BUMN dihimpun Liputan6.com:
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
1. Ahok
Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Thajaja Purnama (Ahok) melakukan pertemuan dengan Menteri BUMN Erick Thohir di Kantor Kementerian BUMN pada Rabu, 13 November 2019.
Datang berkemeja batik cokelat gelap, Ahok mengaku ditawari untuk menduduki posisi di salah satu BUMN. Dirinya mengaku siap akan hal itu.
"Kalau buat negara, ya, saya mau. Apa saja untuk negara, saya mau," ujarnya singkat saat ditemui di Kantor Kementerian BUMN.
Meski demikian, Ahok sendiri belum tahu akan ditunjuk menjabat apa dan BUMN mana. Perihal penetapan dirinya masuk BUMN, Ahok menyatakan kemungkinan hal itu dilakukan Desember mendatang.
"Untuk itu (waktu), saya nggak tahu, mungkin Desember. Nanti tanya pak Menteri, ya," tukas Ahok.
Nama Ahok sendiri tentu sudah tidak asing lagi di telinga. Saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, Ahok dikenal dengan ketegasannya.
Mantan Bupati Belitung Timur itu bahkan tak segan untuk menyemprot anak buahnya jika memang melakukan kesalahan. Ahok memang dikenal galak kala itu.
Tak hanya itu, Ahok juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan kontroversial. Salah satunya adalah soal relokasi Kampung Pulo, Jakarta Timur.
Saat itu, banyak pihak tak menduga keberanian Ahok untuk memindahkan warga Kampung Pulo di bantaran sungai Ciliwung. Relokasi itu sempat diwarnai bentrokan antara warga dengan aparat.
Meski demikian, relokasi pada September 2015 telah membuat sejumlah warga berhasil dipindahkan ke Rumah Susun Sederhana Sewa Jatinegara Barat, Jakarta Timur.
Munculnya nama Ahok untuk duduk menjadi bos di salah satu perusahaan BUMN menimbulkan pro dan kontra. Apalagi mengingat Ahok pernah menjalani hukuman pidana.
Pada Pilkada 2017 lalu, Ahok menggandeng Djarot Saiful Hidayat untuk kembali maju mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk periode 2017-2022.
Namun sayang, Ahok dan pasangannya memperoleh suara yang lebih rendah dari pesaingnya, yaitu Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang meraih sebanyak 57,96 persen suara.
Pada saat yang sama, Ahok tersandung kasus penistaan agama. Ia dijatuhi vonis dua tahun penjara. Ahok bebas pada 24 Januari 2019.
Advertisement
Chandra Hamzah
Menteri BUMN Erick Thohir memanggil mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra Hamzah pada Senin, 18 November 2019 ini. Pertemuan dilakukan di ruang kerja Erick Thohir Gedung Kementerian BUMN lantai 19, Jalan Merdeka Selatan.
Pertemuan berlangsung sekitar dua jam mulai sekitar pukul 08:30 WIB hingga sekitar pukul 10:30 WIB. Usai bertemu dengan Erick Thohir, Chandra Hamzah mengatakan topik pembicaraan yang dibahas terkait dengan BUMN.
"Ngobrol-ngobrol tentang BUMN, bagaimana memperkuat, memperbaiki dan meningkatkan kinerja BUMN," kata Chandra Hamzah dikutip dari Antara.
Terkait posisi jabatan yang ditawarkan Erick Thohir kepada Chandra Hamzah, ia mengatakan tidak spefisik mengarah ke jabatan.
"Enggak ada bicara masalah posisi atau jabatan. Hanya bicara mengenai BUMN, masalahnya apa. Pengetahuan saya apa saja, ini yang kita sharing," kata Chandra.
"Kebetulan saya pernah (komisaris) di PLN, jadi ditanya juga soal pengalaman saya waktu di PLN," ujarnya.
Hal lain yang dibahas dalam pertemuannya dengan Erick Thohir juga soal penanganan korupsi di BUMN. "Jangan sampai ada pejabat BUMN tersangkut korupsi lagi. Jadi, Pak Menteri yang penting itu adalah integritas, dan BUMN tidak lagi jadi bancakan," katanya.
Lantas, masih ingatkah dengan kasus cicak versus buaya? Ya, kala itu dua lembaga penegak hukum di negeri ini, KPK dan Polri terlibat perseteruan panjang.
Istilah cicak versus buaya pertama kali diucapkan oleh Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji pada 30 Juni 2009. Cicak istilah untuk KPK yang dianggap bodoh hendak melawan seniornya. Sedangkan polisi diibaratkan buaya.
Kasus ini berawal dari kegeraman Susno yang merasa telepon selulernya disadap KPK. Saat itu sang cicak tengah menyelidiki dugaan penyelewengan dana penyelamatan Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Sementara Mabes Polri justru tengah mengincar pimpinan KPK atas laporan pemerasan.
Kasus ini memuncak dengan ditahannya dua pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah atas dugaan memeras uang Rp 5,6 miliar kepada pengusaha PT Masaro Radiocom, Anggoro Widjojo.
Belakangan terkuak, adanya rekayasa dan kriminalisasi KPK dalam kasus ini setelah rekaman sadapan KPK diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi.
Sang buaya akhirnya kalah oleh cicak yang mendapat dukungan luas dari publik. Untuk memverifikasi kasus perseteruan cicak lawan buaya, Presiden Susilo Bambang Yuhdhoyono turun tangan dan membentuk Tim Delapan.
Sandiaga Uno
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman tak membantah soal nama mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno yang santer dikabarkan akan mengisi posisi sebagai bos di BUMN. Namun, dia enggan menjawab dan meminta agar hal ini ditanyakan kepada Menteri BUMN Erick Thohir.
"Lebih baik ditanyakan ke Pak Menteri BUMN, Pak Erick Thohir," ucap Fadjroel kepada wartawan, Selasa, 19 November 2019.
Terkait sosok yang akan mengisi jabatan strategis di perusahaan pelat merah, Fadjroel mengatakan bahwa hal itu diserahkan sepenuhnya kepada Erick Thohir. Kendati begitu, dia menekankan bahwa BUMN harus mengikuti visi misi Presiden Jokowi.
"Terkait nama orang, mengenai tugas, mengenai fungsi dan lain-lain semuanya diserahkan ke Pak Erick selaku BUMN," tukas Fadjroel.
Seperti diketahui, pada Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019 lalu, Sandiaga Uno merupakan lawan politik Joko Widodo.
Kala itu, Sandiaga Uno maju mendampingi Calon Presiden Prabowo Subianto menjadi Calon Wakil Presiden. Prabowo-Sandiaga pun melawan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Untuk memuluskan langkahnya, Sandiaga bahkan mengundurkan diri dari Partai Gerindra. Alasannya adalah agar pasangan capres dan cawapres bukan berasal dari partai yang sama.
Sandiaga bersama Prabowo saat itu didukung oleh 4 partai politik, yaitu Gerindra, PKS, PAN, dan Partai Demokrat.
Sedangkan Jokowi-Ma'ruf Amin didukung 8 partai politik, yaitu PDIP, PKB, NasDem, Hanura, Golkar, PPP, PSI, dan PKPI.
Advertisement