Liputan6.com, Jakarta - Teka-teka pengganti Ujian Nasional (UN) terkuak sudah. Isu UN ini telah menjadi perhatian utama Mendikbud Nadiem Makarim sejak dilantik 23 Oktober 2019 lalu.
Nadiem berkeinginan UN yang menjadi momok siswa ini diganti dengan sistem lebih baik. Setelah dilakukan kajian, Ujian Nasional pada 2021 diputuskan tak lagi digelar dan diganti Asesmen Kompetensi Minimum berdasarkan numerasi, literasi, juga Survei Karakter.
Baca Juga
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR, Nadiem menerangkan tentang model yang bakal diterapkan. Dalam sistem ini, kata dia, akan tetap ada pilihan ganda.
Advertisement
“Contoh ada paragraf yang menjelaskan mengenai berbagai macam alasan kenapa climate change itu terjadi. Lalu ada diagram chart yang menjelaskannya. Lalu ada pertanyaan, ini masih pilihan ganda, tapi beda sifat,” kata Nadiem, Kamis (12/12/2019).
Untuk bisa menjawab pilihan ganda itu, lanjut dia, siswa harus bisa memahami paragraf. Juga mengerti argumentasi dan membaca diagram. "Sehingga mengerti apa yang dimaksudkan dari visual display diagram itu," ujar dia.
Sementara terkait numerik, Ia mencontohkan tentang bagaimana menganalisis suatu kasus dengan prinsip matematika yang tidak rumit, namun diaplikasikan dalam suatu konteks.
"Ini masih standar tesnya. Bisa secara komputer, tentunya asesmen kita akan melalui komputer," tambahnya.
Mantan CEO Gojek ini menegaskan, sistem ini bukan karangan dirinya. Melainkan hasil kajian selama 20 tahun dari berbagai asesmen di seluruh dunia.
“Kita dibantu oleh PISA, World Bank untuk menciptakan suatu asesmen kompetensi yang berkelas dunia. Tentunya harus kita adaptasi dengan kearifan lokal,” ujar Nadiem.
Tujuan perubahan pola asesmen juga dikemukan Kepala Litbang Kemendikbud, Totok Suprayitno. Dia mengungkapkan penerapan sistem ini sebagai tuntutan untuk masa depan anak bangsa. Di mana, kemampuan nalar siswa lebih diperlukan ketimbang penguasaan konten dan mata pelajaran.
"Ke depan dituntut kepada anak-anak kita ini untuk kemampuan bernalar, perubahannya itu. Lebih ke penguasaan skill, logic, critical thinking," ujar dia kepada Liputan6.com, Kamis (12/12/2019).
Dalam menerapkan ini, kreativitas dari pendidik amat diperlukan. Mereka diminta tidak hanya tunduk dengan aturan serta petunjuk dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) semata, namun juga mengembangkan kemampuan lainnya.
"Sekarang creative learning, bukan sekadar dilatih lalu besok bisa. Tapi merdeka belajar dari yang hanya mengikuti petunjuk saja, berubah menjadi kreativitas," ucap dia.
Dengan metode ini, diharapkan proses belajar mengajar akan menjadi menyenangkan. Soal yang rumit, ujar Totok, akan berubah menjadi mudah. "Kuncinya kreativitas dalam proses delivery."
Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter ini disebutnya bakal diterapkan pada pertengahan masa pendidikan siswa. Hal ini agar motivasi anak didik terus terjaga hingga selesai pada akhir jenjangnya.
"Jadi tidak diberikan di akhir, hendaknya motivasi belajar dibangkitkan setiap saat harian. Jangan mengandalkan motivasi belajar di akhir saja," ucap Totok.
"Dan kalau misalnya kurang baik, guru masih ada kesempatan untuk memperbaikinya, paling tidak dalam waktu setahun," imbuh dia.
Sementara itu Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Waras Kamdi menilai langkah Nadiem Makarim hanya mengubah letak fungsi asesmen saja. Jika dulu dilakukan pada akhir jenjang pendidikan kini diterapkan saat proses pembelajaran.
"Fungsi asesmen itu selama ini sebenarnya sudah berlangsung, cuman tekanan yang berat pada sumatif untuk kelulusan siswa. Itu yang berat," ujar dia.
Dia menilai penerapan penilaian sumatif tetap diperlukan dalam pendidikan. Hal ini sebagai cara dalam melihat capaian standar secara nasional.
"Yang pasti ujian secara nasional untuk mengukur standar itu ya tetap dibutuhkan, karena pendidikan kita berbasis standar," ucap dia.
Waras Kamdi sebenarnya berharap terobosan Mendikbud Nadiem bukan menghapus Ujian Nasional. Tapi menghadirkan jurus teknologi yang bisa memberikan kemudahan para siswa dan guru untuk belajar.
"Seperti platform teknologi untuk menghidupkan kelas. Guru menjadi lebih mudah mengakses berbagai sumber, terbantu melakukan fasilitasasi bagi siswa dengan memanfaatkan sumber yang bagus," ujar dia.
Kemudian juga. lanjut Waras Kamdi, membangun jaringan belajar serta laboratorium virtual yang bisa dimanfaatkan secara bersamaan.
"Teknologi sekarang bisa melakukan itu. Mestinya ini menurut saya yang segera dieksekusi. Perhatian untuk menghidupkan kelas ini menurut saya yang harapannya memerdekakan belajar," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Tuai Pro dan Kontra
Penghapusan Ujian Nasional menuai protes dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK. Menurut dia, semangat belajar para siswa akan turun jika ujian nasional ditiadakan.
"Itu menjadikan kita suatu generasi lembek kalau tidak mau keras, tidak mau tegas bahwa mereka lulus atau tidak lulus. Akan menciptakan generasi muda yang lembek," kata JK saat berkunjung ke kantor Transmedia, Jakarta, Rabu 11 Desember 2019.
Selain itu, peniadaan UN bisa berdampak pada penurunan mutu pendidikan nasional. Dia merujuk pada riset oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan (OECD) lewat Programme for International Student Assessment (PISA).
Untuk itu, ia meminta ditunda kebijakan ini. "Oh iya pastinya (menunda penghapusan ujian nasional)," ucap dia.
Hal senada disampaikan Ketua DPR Puan. Dia meminta Nadiem tak buru-buru memutuskan UN dihapus sebelum menelaah lebih jauh wacana tersebut.
"Jangan terburu-buru kita lihat, jangan merugikan anak murid, siswa orang tua, yang pasti kualitas gurunya harus ditingkatkan," ujar Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/12/2019).
Sementara itu dukungan penghapusan UN datang dari Presiden Jokowi. Kebijakan penghapusan UN disebutnya sudah memiliki kalkulasi tersendiri.
"Nanti sudah dihitung, saya kira kita mendukung apa yang sudah diputuskan Mendikbud," ucap Jokowi di Tol Layang Jakarta-Cikampek, Kamis (12/11/2019).
Nantinya, asesmen juga akan diterapkan kepada sekolah dan guru serta ada survei karakter. Jokowi menjelaskan, hasil asesmen dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana tingkat sekolah di Indonesia.
"Artinya mau tidak mau nanti setiap sekolah akan ada angka-angkanya. Yang angkanya di bawah grade tentu saja harus diperbaiki dan diinjeksi, sehingga bisa naik levelnya. Akan kelihatan sekolah mana yang perlu disuntik," ujarnya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menjelaskan, kebijakan tersebut sepenuhnya ada di pemerintah pusat. Menurut dia, apabila kebijakan tersebut membuat kualitas pendidikan di Indonesia meningkat, maka akan terus dilanjutkan.
Sementara itu Wakil Presiden Ma'ruf Amin juga setuju dengan penggantian sistem UN ini. Penerapan model pengganti UN ini akan diuji sebagai tolak ukur pendidikan nasional.
"Akan diuji, apakah bisa jadi alat ukur dan tingkatkan pendidikan," ujar Ma'ruf di kantornya, Jalan Merdeka Utara, Kamis (11/12/2019).
Advertisement
Hilangkan Standar Nasional?
Nadiem Makarim sebelumnya mengungkapkan alasan penghapusan Ujian Nasional pada 2021. Dia menyebut sistem ini kurang ideal dalam mengukur prestasi belajar siswa.
Nadiem berujar, materi UN juga terlalu padat. Sehingga cenderung berfokus pada hafalan, bukan kompetensi. Bahkan UN dianggap hanya membuat siswa mahir dalam penguasaan materi. Namun dalam pembentukan karakter siswa secara lebih holistik, masih terabaikan.
"Ini juga sudah menjadi beban stres antara guru dan orangtua. Karena ini berubah menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu," ucap dia di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu 11 Desember 2019.
Padahal, kata Nadiem, semangat UN adalah untuk mengasesmen sistem pendidikan. Baik itu sekolahnya, geografinya, maupun sistem pendidikan secara nasional.
Untuk itu, ia menegaskan model ini tak diterapkan lagi pada 2021. Kemendikbud akan menggantinya dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Konsep ini merupakan penyederhanaan dari ujian nasional yang begitu kompleks. Nadiem menyatakan, asesmen digunakan untuk mengukur kemampuan minimal yang dibutuhkan para siswi. Materi yang dinilai adalah literasi dan numerasi.
"Literasi itu bukan hanya kemampuan membaca. Literasi adalah kemampuan menganalisis suatu bacaan. Kemampuan memahami konsep di balik tulisan tersebut," kata Nadiem.
Sedangkan numerasi, ialah kemampuan menganalisis dengan menggunakan angka-angka. "Ini adalah dua hal yang akan menyederhanakan asesmen kompetensi mulai 2021," tuturnya.
Nadiem menegaskan penghapusan UN tidak meniadakan penilaian standar nasional. Dia menilai, standar itu sudah termuat dalam kurikulum 2013.
"Dengan adanya kurikulum 2013 dan standar kelulusan level nasional, itu adalah standarnya nasional," jelas dia saat rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR, Kamis (12/12/2019).
Lewat program Merdeka Belajar, kata dia, sekolah diberikan kedaulatan untuk menentukan kelulusan berdasarkan standar-standar itu dengan memperhatikan kondisi dan konteks pendidikan yang ada di daerah.
"Bagaimana penilaian dan bentuk soalnya itulah yang harusnya menjadi kedaulatan sekolah. Kenapa? Karena hanya sekolah yang mengetahui kapabilitas dan level dari pada anak didiknya," tegasnya.
Rencana penghapusan UN ini telah menjadi wacana sejak dulu. UN dianggap sebagai momok bagi para siswa dan juga menyuburkan dugaan praktik jual beli soal ujian.
Namun begitu, sistem itu selama ini hanya berubah nama tapi dengan isi yang sama.
Sejarah mencatat, sejak 1965, sistem ini digelar dengan nama Ujian Penghabisan. Setelah itu Ujian Negara (UN) yang kemudian berubah menjadi Evaluasi Tahap Nasional (Ebtanas).
Selanjutnya berubah lagi menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) dan berganti lagi menjadi Ujian Nasional (UN). Dan model ini kembali berubah dengan nama Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Dengan sistem yang dicanangkan Nadiem ini, diharapkan bukan hanya berubah kemasan. Namun juga memberikan pengaruh revolusioner bagi masa depan generasi Indonesia.