Liputan6.com, Jakarta - Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia, Yenti Ganarsih menanggapi polemik pimpinan KPK terpilih Nurul Ghufron yang usianya masih di bawah 50 tahun. Dia menyebut, sejatinya undang-undang tak boleh merugikan.
"Tadi disinggung ada angka di bawah 50 tahun yang diangkat. Ya ini kondisional, setelah kami seleksi kemudian UU berubah. Kan begitu," ujar Yenti di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (18/12/2019).
Yenti merupakan mantan ketua panitia seleksi calon pimpinan (Pansel Capim) KPK jilid V. Yenti juga yang meloloskan Nurul Ghufron ke dalam 10 besar Capim KPK hingga disetujui Presiden Joko Widodo dan Komisi III DPR.
Advertisement
Menurut Yenti, saat dirinya memililih Nurul Ghufron, pemerintah belum merevisi UU KPK. Dalam UU KPK yang baru Pasal 29 huruf e disebutkan, "Untuk dapat diangkat sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut, berusia paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan".
"Kita lihat asas-asas hukum. Bagaimana dalam hal segala sesuatu yang telah diputuskan atas UU lama dan kemudian ada perubahan UU, asas yang paling mendasar adalah tak boleh UU baru ini tidak menguntungkan. KUHP saja gitu," tuturnya.
Menurutnya, meski dalam UU tersebut berbunyi "untuk dapat diangkat" bukan "untuk dapat dipilih", Yenti menyatakan bahwa Nurul Ghufron masih bisa dilantik sebagai pimpinan KPK pada 20 Desember 2019 mendatang.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Polemik
Kalimat "untuk dapat diangkat" menjadi polemik lantaran Nurul Ghufron belum diangkat atau belum dilantik menjadi pimpinan KPK. Sementara, KPK kini harus menjalani UU Nomor 19 Tahun 2019.
"Hukum itu membacanya jangan hanya lihat hukumnya saja, lihat background membuat UU, bagaimana, lihat filosofi UU, untuk apa UU dibuat. Sepanjang grand design itu untuk sesuatu yang baik, pasti banyak hal-hal di belakangnya mengacu pada hal yang positif. Itu yang kita lihat," tutur Yenti.
Advertisement