Haris Azhar Bandingkan Proses Hukum Irjen Napoleon dengan Rakyat Jelata

Polri tidak menahan jenderal bintang dua tersebut dengan alasan penilaian subjektifitas penyidik. Meski demikian, langkah tersebut mengundang kritik dari berbagai kalangan pegiat antikorupsi.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Agu 2020, 20:02 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2020, 19:56 WIB
Ilustrasi borgol
Ilustrasi borgol (Abdillah/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Polri memeriksa tiga tersangka kasus dugaan suap terkait pengurusan pencabutan red notice Djoko Tjandra. Ketiga tersangka itu adalah Tommy Sumardi, Brigjen Prasetijo Utomo, dan Irjen Napoleon Bonaparte.

"Kami pastikan memang mereka menerima aliran dana itu," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono di Kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa 25 Agustus 2020.

Meski demikian, Polri tidak menahan jenderal bintang dua tersebut dengan alasan penilaian subjektifitas penyidik. Meski demikian, langkah tersebut mengundang kritik dari berbagai kalangan pegiat antikorupsi.

Direktur Eksekutif Lokataru Foundation yang juga pegiat hukum dan HAM, Haris Azhar, menyayangkan langkah Polri yang tidak menahan mantan Kadiv Hubungan Internasional Polri itu.

Menurut dia, keputusan polisi tak menahan yang bersangkutan menimbulkan standar ganda terkait ukuran moral yang berbeda terhadap suatu kejadian atau objek serupa yang terkesan menimbulkan rasa ketidakadilan dan proporsional.

"Ini double standar Polisi. Kalau warga biasa, dianggap sebagai ancaman, mereka akan segera ditahan, secara brutal bahkan dalam beberapa kasus, padahal atau bahkan ancaman pasalnya tidak mensyaratkan untuk ditahan," ujar Haris, Kamis (27/8/2020).

Kendati demikian, bila pelanggaran dilakukan sesama anggota atau berasal dari jabatan institusi tertentu kerap diberikan tahanan luar.

"Ini jelas praktik diskriminasi yang dipertontonkan secara tidak malu-malu oleh Kepolisian. Penegak hukum seperti Polisi berlindung dibalik narasi 'kewenangan' penyidik dan tersangka kooperatif," tegas Haris.

"Padahal kita tahu, jika kita datangi penyidik, mereka kerap berkata bahwa ini perintah atasan untuk menahan, lucu. Media dan masyarakat dianggap bodoh," dia menambahkan.

Terpisah, Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola menilai, langkah Polri tidah menahan Irjen Napoleon Bonaparte terkesan ada ketidakseriusan kepolisian dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan sesama polisi, terlebih Napoleon adalah jenderal bintang dua.

"Jika Polri serius menangani kasus ini, seharusnya dilakukan penahanan agar proses bisa berjalan cepat dan tidak mengundang kecurigaan publik," tutur Alvin, Kamis (27/8/2020).

Atas hal itu, Alvin meminta kepada kepolisian untuk segera menahan yang bersangkutan, karena alasan kooperatif tidak ada hubungnya terhadap penahanan.

"Alasan kooperatif tidak ada hubungannya dengan penahanan. Polri harus memastikan jika seluruh proses ini berjalan transparan dan akuntabel ke publik," jelasnya.

 

Hambat Penyidikan

Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menjelaskan langkah kepolisian tak menahan kedua tersangka yakni Irjen Napoleon Bonaparte dan Tommy Sumardi yang terlibat dalam kasus Djoko Tjandra dinilai kurang tepat. Karena keduanya memiliki potensi menghambat pengusutan kasus.

Meskipun, Fickar memahami bahwa kewenangan secara yuridis pada tingkat penyidikan merupakan kewenangan dari penyidik termasuk untuk menahan atau tidak terhadap seorang tersangka.

Berdasarkan, dua pertimbangan alasan pertama alasan objektif terkait ancaman hukuman yang disangkakan lima tahun lebih atau tindak pidana tertentu sebagai ditentukan KUHAP.

Kedua secara subjektif adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bila tersangka melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana.

Atas dua petimbangan itu, Abdul menjelaskan bahwa penggunaan alasan subjektif yang dipakai penyidik biasanya bergantung pada kebijakan atasanya. Terlebih, kedua tersangka Irjen Napoleon Bonaparte dan Tommy Sumardi merupakan orang yang memiliki jabatan dan keuangan cukup besar untuk lakukan pelanggaran.

"Sesuai dengan alasan subjektif keduanya semestinya ditahan, karena bisa dengan memanfaatkan jabatan dan kuasa uang untuk merusak atau menghilangkan barang bukti. Bahkan untuk melarikan diri maupun mengulangi perbuatan," ujar Fickar dihubungi terpisah, Kamis (27/8/2020).

Oleh sebab itu, dia menilai seharusnya kepolisian menahan kedua tersangka tersebut yang melekat pada kemungkinan potensi pelanggaran dengan penggunaan sumber daya yang dimiliki para tersangka.

Bila dibandingkan pada proses penyidikan korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK selalu melakukan penahanan terhadap para tersangka, sebagai upaya antisipasi hal-hal yang menghambat pengusutan kasus.

"Oleh karena itu pada waktu lalu, KPK akan selalu menahan para tersangkanya. Dan saya kira juga harus dilakukan penegak hukum lainnya, dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan untuk selalu menahan tersangka kasus korupsi," tuturnya.

Penerima Suap

Bareskrim Polri telah menetapkan Djoko Tjandra sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan penghapusan red notice Djoko Tjandra.

Penyidik juga menetapkan Tommy Sumardi, Brigjen Prasetijo Utomo, dan Irjen Napoleon Bonaparte sudah berstatus tersangka dalam kasus ini.

Djoko Tjandra dan Tommy Sumardi diduga berperan sebagai pemberi suap, sedangkan Brigjen Prasetijo dan Irjen Napoleon menjadi penerima suap.

 

Reporter: Bachtiarudin Alam/ Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya