Melihat Sejarah Masker dan Cara Indonesia Atasi Flu Spanyol

Sejarawan Universitas Diponegoro, Bonnie Triyana mengatakan, masker memang sudah digunakan dari dulu oleh masyarakat dunia untuk melindungi diri.

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Agu 2020, 22:16 WIB
Diterbitkan 29 Agu 2020, 08:07 WIB
Ilustrasi orang pakai masker saat wabah Virus Corona COVID-19 di Indonesia. (Liputan6.com/Tanti Yulianingsih)
Ilustrasi orang pakai masker saat wabah Virus Corona COVID-19 di Indonesia. (Liputan6.com/Tanti Yulianingsih)

Liputan6.com, Jakarta - Saat ini, masker menjadi salah satu kebutuhan pokok bagi setiap orang. Masker bisa melindungi diri sendiri maupun orang lain dari virus Corona. Bahkan semua negara mewajibkan warganya untuk menggunakan masker jika hendak ke luar rumah.

Sejarawan Universitas Diponegoro, Bonnie Triyana mengatakan, masker memang sudah digunakan dari dulu oleh masyarakat dunia untuk melindungi diri, terlebih lagi ketika menghadapi suatu wabah. Masker tertua terlacak dari Eropa di abad ke-17. Bentuknya seperti paruh burung dan digunakan untuk menghadapi penyakit yang sedang melanda benua Eropa saat itu.

“Masker digunakan karena memang waktu itu juga ada wabah. Ya untuk menghindari penyebaran penyakit dari udara dan di dalam paruhnya itu biasanya diisi sama herbs gitu. Jadi kayak rempah-rempah,” kata Bonnie dalam talkshow 'Sejarah Masker' di Gedung BNPB, Jakarta, Jumat (28/8).

Jenis masker pada saat itu belum seperti sekarang yang sangat bervariasi bahannya. Bonnie mengatakan, dulu masker dibuat dari bahan-bahan seperti wol tipis dan bahan-bahan lain yang tersedia di zaman itu. Misalnya dari bahan rajutan kaus kaki, kain kasa maupun kain perban.

"Hanya menggunakan bahan seadanya. Kain wol, dari rajutan kaus kaki, perban atau kain kasa," ungkapnya.

Bentuk masker pada saat wabah Flu Spanyol, kata Bonnie, sudah hampir menyerupai bentuk masker saat ini. Bentuknya sudah tidak seperti paruh burung lagi, namun mengalami perubahan yang lebih memudahkan seseorang untuk berbicara.

“Sudah sedikit berubah, jadi tidak seperti paruh burung lagi. Bentuknya itu, kalau kita lihat hampir mirip-mirip sama ini (masker sekarang). Karena dulu maskernya bisa bergerak gitu. Jadi kalau berbicara gerak-gerak,” ujarnya.

Bonnie menambahkan, respons dari masyarakat terhadap penggunaan masker memang berbeda-beda. Menurutnya, respons yang berubah-ubah dan bervariasi saat ini tidak lepas dari sejarah. Bonnie meminta masyarakat untuk berkaca dengan sejarah. Saat wabah Flu Spanyol, masyarakat di Amerika Utara sudah menerima penggunaan masker. Mereka sadar bahwa masker bisa melindungi dirinya dari Flu Spanyol.

“Kalau di Amerika Utara mereka menerima itu sebagai sebuah kewajiban dan cara untuk menjaga solidaritas kemanusiaan, supaya mencegah penyebaran pandemi Flu Spanyol," ujarnya.

Berbeda dengan Amerika Utara, masyarakat di Kanada saat itu masih tidak menghiraukan penggunaan masker. Padahal pemerintah Kanada sudah mewajibkan rakyatnya untuk menggunakan masker. Bonnie mengungkapkan, tingkat kesadaran masyarakat Kanada saat itu masih sangat rendah. Selain itu, mereka juga merasa tidak nyaman dan menganggap masker itu suatu hal yang aneh

"Kalau di Kanada responsnya beda. Walaupun diwajibkan, tapi mereka bandel. Mereka tidak mau pakai. Di salah satu tulisan sejarah disebutkan, kalau ada polisi mereka baru dipakai. Jadi kalau ada razia baru di pakai,” ucap Bonnie.

Catatan sejarah itu menurut Bonnie memberikan bukti bahwa respons masyarakat yang berbeda-beda sangat dipengaruhi oleh pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap wabah yang sedang terjadi. Semakin tidak paham, maka akan semakin abai.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Upaya Indonesia Mengatasi Flu Spanyol

Bonnie mengakui bahwa dirinya tidak menemukan sejarah yang menjelaskan mengenai penggunaan masker di Indonesia pada saat itu. Namun ia mengatakan, tindakan seperti lockdown atau PSBB sudah pernah diterapkan saat wabah Flu Spanyol.

“Seperti lockdown atau PSBB, itu juga dulu pernah ada tindakan demikian. Misalkan di satu desa kalau ada yang kena wabah, itu tidak boleh kemana-mana warganya. Harus tetap tinggal di rumah,” ujarnya.

Kemudian, upaya pencegahan dan pengendalian dilakukan Indonesia saat itu dengan melakukan pendekatan ke masyarakat. Pendekatannya sangat mempertimbangan budaya. Seperti melalui wayang maupun pamflet-pamflet dengan mengadaptasi kisah Ramayana atau budaya setempat.

“Justru pemerintah Hindia Belanda saat itu mencoba menggunakan pendekatan kultur untuk mensosialisasikan bahayanya penyakit ini serta upaya pencegahannya,” tuturnya.

Oleh karena itu, Bonnie menyarankan pemerintah harus melakukan sosialisasi soal wabah ini dengan cara yang kreatif dan menyenangkan. Apalagi jika menyampaikannya ke anak muda. Seperti yang diketahui, banyak ditemui kasus Covid-19 di kalangan anak muda tanpa bergejala.

“Anak muda kan kalau dikasih tau dengan cara yang membosankan, mereka enggak suka. Sehingga materi dan tempat penyampaiannya juga harus diperhatikan,” tutupnya.

Reporter: Rifa Yusya Adilah

Sumber: Merdeka.com

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya