Mengapa Banyak Masyarakat Tidak Percaya dengan Covid-19?

Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati mengungkapkan penyebab seseorang tidak percaya dengan wabah Covid-19.

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Sep 2020, 20:36 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2020, 20:36 WIB
Ilustrasi coronavirus, virus corona, koronavirus, Covid-19.
Ilustrasi coronavirus, virus corona, koronavirus, Covid-19. Kredit: Fernando Zhiminaicela via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati mengungkapkan penyebab seseorang tidak percaya dengan wabah Covid-19. Alasan yang pertama, kata Devie, karena masyarakat cenderung lebih percaya dengan penyakit yang dampak maupun gejalanya bisa dilihat oleh indra penglihatan, seperti cacar.

Penulis cerita sejarah, Iksaka Banu, menceritakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus variola itu pertama kali mewabah di Indonesia pada tahun 1644. Bahkan saat itu juga belum ditemukan vaksinnya. Sehingga cacar menjadi penyakit yang paling banyak merenggut nyawa kala itu. Diceritakan, pada awalnya masyarakat menganggap cacar merupakan kutukan dari roh halus. Namun masyarakat tetap percaya dengan adanya penyakit tersebut karena ketika menderita cacar efeknya bisa dilihat oleh mata manusia.

"Sebagian warga tidak percaya Covid-19 soalnya mereka tahunya, yang namanya penyakit itu nampak. Bisa dilihat oleh mata gejalanya. Cacar misalnya. Keduanya sama-sama dari virus, menular, dan mematikan, tapi bedanya kalau cacar kan kelihatan di kulit," kata Devie saat dihubungi merdeka.com, Jumat (4/9/2020).

Devie juga mengatakan bahwa banyaknya hoaks yang beredar di masyarakat menjadi salah satu alasan yang membuat masyarakat tidak percaya dengan Covid-19. Ditambah lagi dengan teori konspirasi yang beredar di masyarakat. Menurutnya, hoaks dan bentuk penyesatan informasi lainnya sangatlah berbahaya karena bisa menyerang siapa saja. Bahkan ke orang-orang yang berpendidikan sekalipun.

"Permasalahannya sekarang siapa saja bisa terpapar hoaks. Doktor, profesor sekalipun. Soalnya hoaks menyebar dengan cepat dan luas sekali," ungkapnya.

Sebelumnya, pada 5 Agustus lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) melaporkan telah menemukan lebih dari 1.000 isu hoaks terkait Covid-19. Hoaks tersebut tersebar hampir ke 2.000 platform digital.

Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Pakar Sosiologi Universitas Indonesia, Prof Paulus Wirutomo. Paulus mengatakan, sebagian masyarakat tidak percaya Covid-19 karena mereka hanya percaya dengan penyakit yang dampaknya bisa dilihat langsung oleh mata.

Padahal kata Paulus, kasus positif Covid-19 banyak menyerang Orang Tanpa Gejala (OTG) sehingga gejalanya tidak tampak. Paulus pun menceritakan pengalamannya saat seorang supir taksi menanyakan soal pandemi virus Corona kepada dirinya.

"Saya pernah naik taksi, supirnya tanya ke saya 'Pak, Covid-19 benar tidak sih? Saya tidak percaya soalnya saya tidak pernah lihat ada orang di tengah jalan lalu jatuh, pingsan. Nah karena mereka tidak pernah melihat hal-hal itu, jadi mereka tidak percaya," ujar Paulus kepada merdeka.com, Jumat (4/9/2020).

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Masih Banyak yang Tak Percaya

Guru Besar FISIP UI ini mengatakan, masyarakat menengah ke bawah cenderung tidak peduli dengan data tersebut. Sehingga ia yakin bila sebenarnya masih banyak warga Indonesia yang tidak percaya dengan Covid-19.

"Meskipun sudah disajikan jumlah kasusnya setiap hari, memang mereka peduli? Mereka tidak peduli statistik bahkan tidak mengerti cara bacanya. Kalau kita, dikasih lihat jumlah kasusnya kan langsung takut. Kalau mereka tidak," ujarnya.

Reporter : Rifa Yusya Adilah

Sumber: Merdeka

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya