Liputan6.com, Jakarta - Letnan Satu Corps Zeni Pierre Andreas Tendean, atau lebih dikenal dengan Pierre Tendean, merupakan ajudan Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Kasab) Jenderal AH Nasution.
Saat Kasab Jenderal AH Nasution yang kala itu menjadi Menhankam sedang memberikan ceramah di depan sebuah kampus, para mahasiswi tak bisa memalingkan matanya dari podium.
Rupanya, ada Pierre Tendean, pria berkulit putih dan bertubuh atletis yang berdiri di belakang AH Nasution. Pierre Tendean memang dikenal ganteng, hingga di kalangan mahasiswi ada sebuah lelucon.
Advertisement
"Telinga untuk Jenderal Nasution, tapi mata untuk Letnan Tendean," kata para mahasiswi kala itu.
Saat menempuh pendidikan di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD), Pierre Tendean juga membuat mojang Bandung terpesona.
Bahkan, ia dijuluki Robert Wagner dari Panorama. Robert Wagner adalah bintang film terkenal pada era 1950-an, sementara Panorama adalah nama daerah di Bandung tempat ATEKAD berlokasi.
"Setiap Pierre memimpin parade taruna, sosoknya selalu menarik perhatian," demikian dicatat Pusat Sejarah TNI.
Rooswidiati, adik Pierre Tendean, juga membenarkan kalau kakaknya menjadi idola gadis-gadis muda di Bandung saat itu.
"Banyak yang kesengsem. Dia adalah favorit para mahasiswi yang kuliah di sekitar Panorama. Satu lagi kelebihan Pierre, dia mudah bergaul," kata Roosdiawati dalam kesaksiannya untuk buku Kunang-Kunang Kebenaran di Langit Malam.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pierre Fokus Pendidikan
Namun, sang adik Roosdiawati mengingat, tak ada gadis yang dipacari kakaknya saat sekolah di ATEKAD. Pierre kelihatan lebih serius menekuni sekolah militernya daripada jalan-jalan dengan para mahasiswi itu.
Pendidikan di ATEKAD menitikberatkan pada bidang konstruksi dan teknik sipil selain bidang kemiliteran. Lama pendidikan untuk menjadi perwira zeni adalah empat tahun.
Jadi tentara memang pilihan hidup Pierre Tendean. Setelah lulus SMA di Semarang, dia enggan mengikuti jejak ayahnya Dr AL Tendean, seorang dokter berdarah Minahasa.
Konon kabarnya, Pierre sengaja mengerjakan tes asal-asalan saat mengikuti ujian Fakultas Kedokteran agar tak lolos.
Namun ketika mendaftar akademi militer, Pierre mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Ia pun berasil lolos menjadi taruna angkatan darat pada 1958. Walau pada saat itu yang mendukung Pierre hanya Mitzi, kakak sulungnya.
Ibu Pierre adalah Maria Elisabeth Cornet, seorang wanita Indonesia berdarah Prancis. Dari ibunya, Pierre memperoleh kulit putih dan tubuh tinggi.
Pierre Tendean memiki 2 saudara kandung, yaitu kakaknya Mitzi Farre dan adiknya Roosdiawati. Ia merupakan anak laki-laki satu-satunya.
Advertisement
Perjalanan Karier Militer
Operasi penumpasan pemberontakan di Sumatera menjadi pengalaman tempur pertama bagi Pierre. Saat itu Pierre masih Kopral Taruna. Dia diberi kesempatan magang untuk merasakan medan pertempuran sesungguhnya.
Pada 1962, Pierre lulus dari ATEKAD dan menyandang pangkat Letnan Dua. Jabatan pertamanya sebagai Komandan Peleton pada Batalyon Zeni Tempur 2/Kodam II di Medan.
Pierre tak lama menjadi komandan peleton. Saat persiapan Dwi Komando Rakyat, konfrontasi melawan Malaysia dan Inggris, dia ditugaskan mengikuti sekolah intelijen di Bogor.
Pierre kemudian ditugaskan di garis depan untuk menyusup ke Singapura dan Johor menyamar sebagai turis.
Dengan postur seperti bule, imigrasi tak curiga pria ini sebenarnya intelijen yang sedang mengumpulkan data.
Tugas menantang bahaya seperti ini rupanya disenangi Pierre. Namun, sang ibu selalu khawatir. Dia meminta anaknya tak lagi bertugas di garis depan.
Mulai Jadi Ajudan Jenderal AH Nasution
Akhirnya, Pierre mau menerima tugas sebagai ajudan Menhankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution. Dia bertugas mulai 15 April 1965.
Nasution dan istri memang sudah kenal dekat dengan keluarga Tendean. Ibu Nasution bahkan sudah mengenal Pierre sejak kecil. Selama di Bandung, Pierre juga sempat tinggal di kediaman keluarga Nasution.
Faktanya, tak hanya Jenderal Nasution yang ingin Pierre menjadi ajudannya. Jenderal Hartawan dan Jenderal Dandi Kadarsan juga menginginkan Pierre Tendean.
"Hanya untuk satu tahun saja, setelah itu saya akan minta dipindah," kata Pierre pada salah satu rekannya.
Pierre agaknya lebih nyaman menjadi perwira tempur lapangan daripada menjadi ajudan pejabat yang harus kental memegang protokoler.
Advertisement
Jadi Korban Kekejaman G30S/PKI
Namun, baru enam bulan bertugas, terjadilah tragedi maut G30S/PKI. Sekelompok tentara Tjakrabirawa menerobos masuk ke kediaman Jenderal AH Nasution.
Ironisnya, Pierre saat itu sebenarnya sudah turun piket. Dia sudah berencana pulang ke Semarang untuk merayakan hari ulang tahun ibunya yang jatuh pada tepat 30 September. Pada 30 September sore, dia berencana langsung pulang ke Semarang, tapi dicegah keluarga Nasution.
"Besok pagi saja. Bermalam dulu, tak aman pergi malam-malam," ujar Edi Suparno, penjaga Museum Jenderal Besar AH Nasution, menirukan suasana sore itu.
Lantas, ketika jelang tengah malam, Pierre bangun karena mendengar suara ribut. Seorang anak Nasution berlari untuk berlindung ke kamar paviliunnya.
Pierre mengenakan jaket dan keluar menyandang senapan. Tak jelas, di mana ajudan pengganti yang seharusnya bertugas menggantikan Pierre pada malam itu.
"Siapa di sana. Letakkan senjata!" bentak para penculik sambil menodongkan senjata.
"Saya Nasution," katanya gagah pada para penculik.
Sementara itu Jenderal Nasution bisa menyelamatkan diri dengan cara melompat tembok ke Kedutaan Besar Irak yang berada di sebelah rumahnya.
Pierre segera diikat dan dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur. Di sana sudah berkumpul tentara dan pemuda rakyat pendukung Gerakan 30 September.
Pierre sempat melawan saat mau ditembak. Akhirnya dia didudukkan paksa dan ditembak empat kali dari belakang.
Jenazah Pierre dimasukkan paling akhir ke sumur tua itu. Sebelum ditutup tanah, seorang tentara merah memberondongkan senjata ke dalam lubang untuk memastikan semua korban tewas.
Usia Pierre baru 26 tahun saat dibunuh. Dia menjadi korban termuda dan satu-satunya perwira pertama yang jadi korban penculikan gerombolan Letkol Untung.
Anak laki-laki satu-satunya kesayangan sang Ibu pun tak pernah lagi pulang ke Semarang.
Reporter: Ramadhian Fadillah
Sumber: Merdeka