Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memilih untuk tak mengikutsertakan seluruh murid dalam Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Kepala Pusat Asesmen dan Pembelajaran Kemendikbud, Asrijanty menjelaskan peserta AKM hanya akan dipilih beberapa murid saja pada setiap sekolah.
Asrijanty menuturkan, para peserta pun akan ditentukan oleh pihak Kemendikbud bukan sekolah. Pihaknya mengaku bakal memilih para peserta secara acak.
Baca Juga
"Untuk siswa, jadi nanti sampelnya akan dipilih secara acak oleh Kementerian, Jadi tidak oleh sekolah, ini untuk memastikan bahwa representasi atau wakil dari sekolah. Jadi karena itu kita perlu acak, jadi tidak oleh satuan pendidikan," sebut Asrijanty dalam acara diskusi daring pada Selasa (26/1/2021).
Advertisement
Untuk diketahui AKM berbeda dengan Ujian Nasional (UN) yang menguji murid yang sedang berada di tingkat akhir jenjang sekolah. Peserta AKM justru murid yang tengah berada di kelas 5 SD, 2 SMP dan SMA atau sederajat.
Asrijanty menjelaskan, hal itu dipilih supaya tak terlambat saat sekolah ingin melakukan perbaikan manakala hasil dari AKM kurang memuaskan.
"Jadi ini untuk menegaskan bahwa ini bukan untuk mengukur capaian individual siswa dan kemudian juga ini agar nanti perbaikannya juga masih berdampak kepada siswa, juga untuk mengurangi ini beban kelas 6, 9, 12, jadi kita ambil 5, 8 dan 11 itu adalah kalau teman-teman lihat bapak/ibu perhatikan itu, mereka itu di tengah mereka sudah memperoleh apa perlakuan, sudah memperoleh pembelajaran kira-kira satu tahun," jelasnya.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tuntut Guru Berinovasi
Asrijanty juga menjelaskan konsep AN yang berbeda dengan UN membuat para guru tak dituntut lagi mengajarkan sistem pembelajaran untuk memenuhi target dalam UN. Menurutnya dengan adanya AN, Kemendikbud justru mendorong para guru agar melakukan inovasi dalam pembelajaran di luar kebiasaan yang telah ada.
"Hanya sekarang sebenarnya harapan Kemendikbud dengan tidak ada lagi USBN dan UN artinya ini tidak ada lagi penilaian yang terstandar yang dapat memengaruhi cara guru mengajar di kelas. Itu kan sudah tidak ada, diharapkan bapak ibu guru lebih berkreasi, berinovasi bagaimana melakukan pembelajaran sebaik mungkin," kata Asrijanty.
Lantaran kerap mengikuti pola tes UN, menurut Asrijanty para guru cenderung menggunakan pola-pola pembelajaran yang bersandar pada UN. Padahal menurutnya pola seperti ini tak begitu diharapkan untuk mengukur capaian seluruh siswa.
"Tetapi di kelas, sebenarnya pola itu tidak terlalu diharapkan. Karena ada sebagian besar kompetensi yang tidak sesuai bila diukur atau dinilai dengan tes tertulis. Jadi banyak kompetensi yang harusnya itu dinilai atau dikembangkan dengan metode lain. Misalnya, kinerja seperti yang sering saya sampaikan kemampuan menulis," jelasnya.
Sebut saja kemampuan menulis, menurut Asrijanty kemampuan menulis selama ini kurang menjadi perhatian hal ini lantaran dalam UN tak menuntut kemampuan demikian. Alhasil para guru cenderung mengesampingkan pengembangan kemampuan ini kepada para murid.
"Jadi mungkin kalau menulis itu ditanyakan hanya aspek-aspeknya misalnya ejaannya, tata bahasa. Tetapi bahwa sebenarnya menulis atau berkomunikasi itu kan sesuatu yang harus dilakukan. Anak betul-betul harus kalau menulis ya menulis, bukannya memilih jawaban. Tetapi ini yang tidak menjadi perhatian," sebut dia.
AN sendiri bakal mengukur dua kemampuan inti para siswa, yakni literasi dan numerasi. Literasi tak jauh dengan mengukur seberapa jauh kemampuan anak untuk menarik pesan, baik tersurat maupun tersirat dalam sebuah bacaan.
"Harapannya tetaplah melakukan pembelajaran yang seideal mungkin sesuai dengan kompetensinya, sehingga kompetensi-kompetensi yang penting ini memang harus dikuasai siswa itu tercapai," tandasnya.
Advertisement