Kemendikbud: Asesmen Nasional Pengganti UN, Bukan untuk Evaluasi Murid

Rahmawati mengatakan, dalam Asesmen Nasional, penilaian pada anak didik diserahkan sepenuhnya kepada guru atau satuan pendidikan masing-masing.

oleh Luqman RimadiLiputan6.com diperbarui 11 Feb 2021, 19:51 WIB
Diterbitkan 11 Feb 2021, 19:51 WIB
Diperpanjang Sampai 20 Mei, Siswa Belajar Online di Rumah
Siswa sekolah dasar belajar online menggunakan aplikasi Zoom Cloud Meetings di Pamulang Tangerang Selatan, Kamis (2/4/2020). Gelombang work from home (WFH) membuat kebutuhan terhadap aplikasi video conference meningkat saat pandemi Corona Covid-19. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menegaskan bahwa kebijakan Asesmen Nasional sebagai pengganti Ujian Nasional, bukan untuk evaluasi individu murid.

“Ini bukan evaluasi individu murid. Sebab setiap murid memiliki potensi dan memiliki keunikan masing-masing serta butuh beragam cara menanganinya," kata Koordinator Analisis dan Pemanfaatan Hasil Penilaian Pusat Asesmen dan Pembelajaran Kemendikbud Rahmawati pada diskusi daring di Jakarta, Kamis (11/2/2021).

Oleh sebab itu,  dalam Asesmen Nasional, penilaian pada anak didik diserahkan sepenuhnya kepada guru atau satuan pendidikan masing-masing.

Selain itu, Asesmen Nasional juga tidak perlu diikuti oleh setiap murid di Tanah Air, melainkan hanya dipilih secara acak dari kelas V, VIII dan XI.

Kemudian, lanjut Rahmawati, perlu diingat bahwa hasil Asesmen Nasional dapat ditindaklanjuti oleh sekolah pada murid yang sama.

"Sekolah tidak boleh juga menambah beban murid kelas VI, IX dan XII. Sebab, pada jenjang ini banyak proses asesmen yang perlu dilakukan oleh murid," ujar dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Tidak Bebani Anak

Sementara itu, Kepala Peneliti PSPK Anindito Aditomo mengatakan setiap kebijakan pendidikan yang akan diambil harus berpihak pada anak. Menurut dia, kebijakan yang berpihak pada anak yakni harus memperhatikan dan mementingkan kebutuhan belajar serta perkembangan anak itu sendiri.

Hal itu dapat diimplemntasikan dengan mendorong guru untuk memperbaiki cara mengajar. Contoh, tidak lagi menghukum tapi menerapkan prinsip disiplin positif dan sebagainya.

Kemudian mendorong guru untuk fokus pada pengembangan kompetensi yang berguna bagi semua siswa dalam jangka panjang. Artinya, ke depan tidak lagi terburu-buru hanya karena mengejar ketuntasan materi.

"Jadi kalau sistem evaluasinya mendorong guru untuk mengejar ketuntasan materi tanpa memperhatikan siswa paham atau tidak, maka ini tidak berpihak pada anak," ujar dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya