Special Content: Masalah Alutsista Bertumpuk, Sudah Cukup Prajurit Jadi Korban

Tragedi tenggelamnya KRI Nanggala-402 memicu desakan kuat untuk peremajaan dan modernisasi alat utama sistem senjata atau alutsista TNI.

oleh Windi Wicaksono diperbarui 30 Apr 2021, 18:32 WIB
Diterbitkan 30 Apr 2021, 18:15 WIB
Special Content Ilustrasi alat utama sistem senjata atau alutsista
Ilustrasi alat utama sistem senjata atau alutsista (Ilustrasi Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Kapal selam KRI Nanggala-402 mengalami tragedi mengenaskan saat menggelar latihan penembakan torpedo di perairan Bali, Rabu (21/4). Kapal buatan Jerman yang ketika itu memuat 53 ABK itu tenggelam di kedalaman 838 meter perairan Bali.

Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono, menegaskan KRI Nanggala-402 sebenarnya dalam kondisi sangat prima. Yudo juga mengatakan, KRI Nanggala-402 telah menjalani uji kelayakan yang sesuai prosedur dan jadwal yang berlaku.

Menurut dia, KRI Nanggala-402 sudah di-docking pada Januari 2021. Docking adalah kondisi di mana sebuah kapal berada di atas dok atau dermaga untuk dilakukannya perawatan ataupun perbaikan. Proses docking atau pengedokan dibantu dengan fasilitas pendukung yang biasa disebut dengan galangan atau shipyard.

Usia kapal selam KRI Nanggala-402 yang tergolong tua juga dinilai tidak menjadi masalah. Sebab, TNI AL selalu melakukan peremajaan secara rutin terhadap alat utama sistem senjata (alutsista) yang mereka miliki.

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Liputan6.com, KRI Nanggala-402 dibuat galangan kapal Howaldt Deutsche Werke (HDW) di Kiel, Jerman (Barat) pada 1981 setelah kontrak efektif ditandatangani pada 1977.

Meski begitu, tragedi tenggelamnya KRI Nanggala-402 tetap memicu desakan perlunya peremajaan terhadap alutsista  yang dimiliki TNI. Desakan agar peremajaan alutsista sesungguhnya bukan kali ini saja. Sebelumnya, saat pesawat Hercules sempat beberapa kali mengalami insiden yang menyebabkan korban jiwa, masalah alutsista pun kerap menjadi sorotan.

Seperti diketahui, alutsista merupakan segala hal yang berkaitan dengan sistem senjata, kendaraan, dan perlengkapan militer dan komponen-komponennya. Alutsista sendiri menjadi urusan dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan), yang kini dipimpin Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto.

Juru bicara Kementerian Pertahanan, Dahnil Anzar Anzar Simanjuntak, menyatakan, Prabowo prinsipnya menginginkan modernisasi, peremajaan, perawatan, dan pemeliharaan alutsista berada di tataran level tertinggi, dalam konteks menjadi perhatian TNI dan Kemenhan.

Lalu, bagaimana sesungguhnya kelayakan dari alutsista yang dimiliki negara kita saat ini? Apakah kondisinya tidak terhindarkan untuk segera dilakukan modernisasi? Belakangan, perawatan dan pemeliharaan alutsista turut dipertanyakan.

Tokoh militer Indonesia yang juga Wakil Ketua DPD RI, Letnan Jenderal TNI Mar (Purn) Nono Sampono, mengakui masalah alutsista ini bertumpuk-tumpuk dan terjadi di semua angkatan. Menurut Nono, TNI masih berusaha memelihara alutsista yang lama.

Meski begitu, Nono berpendapat, batas toleransinya harus dibuat, terutama untuk alutsista yang berisiko tinggi semisal kapal selam, pesawat terbang, dan tank amfibi.

"Kalau (alutsista) yang lainnya ada toleransi, karena kalau seandainya trouble, dia masih bisa parkir, misalnya begitu. Rata-rata umumnya alutsista itu di negara lain antara 25-30 tahun. Itu pun harus memenuhi standar pemeliharaan rutin, tahunan, lima tahun , dan 10 tahun. Kurang lebih seperti itu, misalnya untuk kapal selam," terang Nono ketika dihubungi Liputan6.com.

Mantan Kepala Basarnas Indonesia ini mengakui, masalah kebijakan anggaran memang berkaitan erat dengan kondisi ini. Dia mengingatkan agar para pengambil keputusan memerhatikan risiko yang terjadi di lapangan.

"Karena nanti akhirnya, prajurit yang dikorbankan. Belum lagi dihitung berapa angka yang sudah keluar untuk membeli alutsista tersebut. Sistem, kemudian pemeliharaannya. Kapal selam kini harganya triliun nilainya," katanya.

"Oleh karena itu, memang mau tidak mau pertimbangan untuk memperbarui alutsista pertama memang karena kebutuhan. Teknologi semakin ke sini, maka tentu alutsista harus menjangkau kebutuhan. Kalau tidak, kita ketinggalan," imbuh Nono.

Anggaran Alutsista

Pemerintah sendiri tahun ini berupaya menganggarkan biaya untuk alutsista. Itu terlihat dari anggaran Kementerian Pertahanan yang mencapai Rp 136,9 triliun dalam RUU APBN Tahun Anggaran 2021. Kemenhan menjadi Kementerian atau Lembaga kedua yang menerima anggaran terbesar di APBN 2021.

Urutan pertama ditempati Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan Rp 149,81 triliun. Kepolisian Negara Republik Indonesia di posisi ketiga dengan penerimaan anggaran mencapai Rp 111,97 triliun. Kementerian Sosial di urutan keempat (Rp 92,81 triliun) dan Kementerian Kesehatan di peringkat kelima (Rp 84,29 triliun).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, anggaran tersebut diperuntukan untuk kebutuhan pemenuhan alat utama sistem pertahanan (alutsista) serta perawatannya. "Itu sesuai dengan prioritas Kemenhan dan melihat tidak deviasi besar (peningkatan anggaran)," kata Sri Mulyani dalam penjelasan Nota Keuangan dan RAPBN 2021, Jumat (14/8/2020).

Dalam Buku Nota Keuangan II Beserta RAPBN TA 2021, anggaran Kemenhan lebih tinggi dari yang pertama kali diusulkan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2021 yang mencapai Rp 129,3 triliun. Anggaran Kemenhan yang diajukan Presiden Joko Widodo untuk belanja tahun anggaran 2021, meningkat 18,76% dari belanja Kemenhan pada tahun anggaran 2019, yang mencapai Rp 115,35 triliun.

Menurut Sri Mulyani, ada concern terhadap akses belanja alutsista yang sesuai dengan spesifikasi Kemenhan yang berperan dalam penyerapan anggaran. Tapi, kebutuhan alustsisa tersebut, sebagian akan dipenuhi dengan peningkatan produksi dalam negeri. Intinya, Presiden Jokowi meminta supaya kebutuhan alutsista Indonesia dapat dipenuhi oleh industri dalam negeri.

Seperti diketahui, Indonesia mempunyai sejumlah industri yang mendukung kekuatan militer Indonesia, yakni PT. Pindad (Persero) yang memproduksi persenjataan, PT. Dirgantara Indonesia memproduksi transportasi militer, dan PT. PAL.

Namun, patut diketahui bahwa Menkeu Sri Mulyani pada Februari lalu memotong anggaran Kemenhan tahun 2021, di mana itu merupakan kebijakan refocusing dan realokasi anggaran untuk penanganan pandemi COVID-19. Anggaran Kemhan/TNI yang berhasil dihemat berdasarkan hitung-hitungan sebesar Rp 6,28 triliun dari pagu anggaran Rp 137,295 triliun.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Kejar Ketertinggalan Alutsista

Deretan Alutsista Dipamerkan di HUT ke-74 TNI
Sejumlah tank melintas saat parade alutsista pada perayaan HUT ke-74 TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu (5/10/2019). Perayaan HUT ke-74 TNI ini diikuti oleh 6.806 prajurit. (Liputan6.com/JohanTallo)

Upaya modernisasi alutsista sebenarnya telah dijalankan lewat program Minimum Essential Force (MEF). Program MEF dimulai pemerintah pada 2010, karena terdapat penghentian peremajaan alutsista pada periode 1998-2008.

Program MEF tidak lain demi mengejar ketertinggalan alutsista yang dimiliki Indonesia agar sesuai visi pengembangan dan modernisasi kekuatan pertahanan. MEF sendiri terbagi dalam beberapa tahap dengan rentang waktu lima tahun. Tahap I program MEF pada periode 2010-2014, tahap II 2015-2019, dan tahap III 2020-2024. Targetnya, program MEF dapat terpenuhi 100 persen pada 2024.

Dalam dokumen yang diterbitkan Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI 2020, program MEF yang sudah memasuki tahap III ternyata tidak mencapai target. Pada 2019, realisasinya MEF baru terpenuhi sebesar 63,19 persen, padahal targetnya 75,54 persen.

Dokumen itu juga menyebutkan bahwa Indonesia yang memiliki jumlah penduduk sekitar 262,7 juta jiwa, hanya punya 400 ribu personel militer dan 400 ribu personel cadangan. Anggaran pertahanan yang dikeluarkan sendiri rata-rata mencapai US$7.600 juta atau Rp110,4 triliun per tahun.

Prabowo sendiri diketahui sebelumnya bergerilya ke negara-negara lain di mana salah satu tujuan demi modernisasi alutsista Indonesia. Pada 30 Maret 2021, Prabowo menemui Menhan Jepang Nobud Kishi dan pertemuan ini menghasilkan ekspor alutsista Negeri Matahari Terbit itu ke Indonesia serta transfer teknologi. Prabowo juga mengajak Jepang untuk bisa lebih berperan membantu modernisasi kapasitas pertahanan di Indonesia dengan membantu pelatihan bagi personel militer kedua negara.

Pada 22-24 Maret 2021, Prabowo juga berkunjung ke London, Inggris, untuk bertemu Menhan Inggris Ben Wallace dan utusan khusus perdagangan Perdana Menteri Inggris Richard Graham. Hubungan bilateral Indonesia dan Inggris berjalan baik. Di bidang pertahanan, Indonesia dan Inggris memiliki forum dialog pertahanan sejak 2019 dan setiap tahun dilaksanakan. Kerjasama pertahanan yang menonjol adalah di bidang pendidikan militer dan juga pengadaan serta pemeliharaan alutsista.

Berikutnya, Prabowo pada 24-26 Maret 2021 mengunjungi Moskow demi bertemu Wakil Menteri Pertahanan Rusia, Andrei Kartapolov, untuk menyatakan kerjasama militer antar kedua negara. Prabowo dan Kartapolov juga membahas pembelian pesawat tempur SU-35 dengan mekanisme khusus yang tidak menggunakan sistem keuangan internasional. Ini karena rencana pembelian 11 pesawat tempur Sukhoi SU-35 buatan Rusia belum juga terealisasi sejak 2018.

Maksimalkan Anggaran

Juru bicara Kemenhan, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengungkapkan bagaimana selama ini pihaknya berusaha memaksimalkan anggaran yang diperoleh setiap tahun. Anggaran untuk keperluan alutsista seperti belanja perawatan dan pemeliharaan, serta pembelian baru berupaya dioptimalkan.

"Pak Prabowo bersama Mabes TNI dan 3 angkatan (Darat, Laut, dan Udara) membuat skema-skema belanja alutsista. Misalnya buat perencanaan 25 tahun ke depan. Karena begini, belanja alutsista atau modernisasi alutsista tidak seperti kita beli mobil di dealer, karena membutuhkan waktu," papar Dahnil.

"Ada selain kebutuhan anggaran, kemudian ada aspek geopolitik dan geostrategis yang juga harus diperhatikan. Yang jelas, sampai dengan detik ini concern Pak Prabowo adalah bagaimana menempatkan peremajaan alutsista, pemeliharaan dan perawatannya pada level tertinggi kebutuhan TNI pada saat ini," ujarnya.

Pengamat militer, Connie Rahakundini Bakrie, menyebut tentang pentingnya roadmap alutsista. Fungsi roadmap salah satunya untuk pembelanjaan alutista yang terukur dan sesuai kontrak dengan perusahaan penyedia. "Roadmap akan menentukan mau belanja apa, mau dibawa ke mana itu belanjaan atau alutsista, seberapa jauh," kata Connie dalam diskusi virtual bertajuk 'Mengungkap Sebab Malapetaka KRI Nanggala', Minggu (25/4/2021).

Dia menambahkan, pembatasan pemakaian pada semua alutsista, di samping maintenance, repair, and overhaul (MRO), merupakan hal penting, apalagi untuk alutsista yang berusia tua.

"Pertama kita bicara alutsistanya untuk apa, kemudian penggunaannya seberapa banyak. Contoh begini, alutsista misal pesawat tempur, itu bisa lebih lama jam terbangnya kalau hanya untuk dipakai operasi tertentu. Tapi kalau dipakai untuk operasi iya, pesawat latih iya, ya berarti akan lebih singkat. Contoh juga kapal, untuk latih kayak (KRI) Dewaruci enggak mungkin dipakai buat operasi, tapi banyak sekali kapal operasi kita dipakai untuk latih," tutur Connie.

Seharusnya, alutsista untuk fungsi latih dan operasi berbeda. Sementara fungsi alutsista Indonesia masih tumpang tindih karena keterbatasan. "Hal-hal begitu berpengaruh untuk usia alutsista. Karena kalau negara maju beli hanya untuk operasi gitu kan, diperkirakan untuk itu. Kita enggak, karena untuk latih juga," ucapnya.

Dosen Universitas Pertahanan Indonesia ini juga menyoroti jumlah kapal selam yang dimiliki Indonesia. Menurut dia, armada yang dimiliki TNI AL saat ini masih jauh dari jumlah ideal untuk menjaga pertahanan laut Indonesia. Apalagi kapal yang dimiliki tidak mungkin digunakan dalam waktu bersamaan secara terus menerus.

Persoalan Anggaran dan Dilema Menhan

Prabowo Subianto
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto memeriksa barisan pasukan kehormatan saat upacara penyambutan di Kementerian Pertahanan, Jakarta, Kamis (24/10/2019). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2021, Kemenhan menggunakan anggaran untuk mendukung pencapaian target prioritas pembangunan nasional di bidang pertahanan. Program-program Kemenhan antara lain program penggunaan kekuatan, program modernisasi alutsista dan non alutsista dan sarana prasarana pertahanan, program pembinaan sumber daya pertahanan, dan program profesionalisme dan kesejahteraan prajurit.

"Selain itu, alokasi rupiah murni juga ditujukan untuk penyelesaian proyek/kegiatan yang ditunda/terhambat akibat adanya pandemi Covid-19 di TA 2020," tulis dokumen tersebut.

Lalu, sejumlah sasaran output strategis Kemenhan pada 2021 juga tertera dalam dokumen ini. Salah satunya, adalah dukungan pengadaan alat utama sistem senjata TNI (alutsista) sebanyak 5 paket. Kemudian, dukungan pengadaan munisi kaliber kecil sebanyak 1 paket, dukungan pengadaan atau penggantian kendaraan tempur sebanyak 12 unit, hingga KRI, KAL, Alpung dan Ranpur/Rantis Matra Laut sebanyak 14 unit. Dukungan pengadaan/penggantian pesawat udara dan lainnya sebanyak 4 unit.

Kementerian Pertahanan merasa anggaran per tahun yang ideal mereka terima setidaknya mencapai Rp 300 triliun. Dengan jumlah itu, diharapkan modernisasi, peremajaan, perawatan, dan pemeliharaan alutsista dapat berjalan lebih efektif dan maksimal.

Persoalan dana juga yang menyebabkan belum ada pesawat tempur yang dibeli Kemenhan sampai sekarang. Pada Juli 2020, Prabowo sempat mengajukan usulan kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas tentang rencana pinjaman luar negeri sebesar RP 299,5 triliun untuk durasi 2020-2024.

Namun, kapasitas anggaran pemerintah dalam mendukung pinjaman luar negeri untuk alutsista untuk durasi 2020-2024 hanya berkisar RP 129,6 triliun - Rp 158,4 triliun. Pengadaan alutsista ini mayoritas mengandalkan pinjaman luar negeri dengan dana pendamping rupiah murni yang ditanggung oleh APBN.

Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan, menyebut bahwa pihaknya selalu mendukung Kemenhan memperoleh setidaknya 1-1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara sebagai anggaran mereka per tahun. Tapi, jumlah tersebut memang tidak pernah tercapai.

"Tetapi kan tidak pernah tercapai ke sana, paling tinggi 0,9 persen, rata-rata 0,7-0,8 persen dari PDB. Jadi, wajar saja apabila memang ada keyakinan bahwa alutsista kita tertinggal karena masalah besaran anggaran. Mungkin ada benarnya juga," kata Farhan ketika dihubungi Liputan6.com.

Namun, Farhan menekankan, walaupun DPR akan selalu mendorong dan menyetujui kebutuhan anggaran senilai Rp 300 triliun sekalipun untuk Kemenhan, tetapi yang akan melakukan assesment keuangan tersebut adalah lembaga-lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan keuangan lembaga negara yaitu BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan Kementerian Keuangan sebagai bendahara negara.

Fakta lain yang tertulis dalam dokumen yang diterbitkan Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI 2020 yakni dengan anggaran yang terbatas, mayoritas anggaran pertahanan di Indonesia dipakai untuk belanja pegawai. Pada APBN 2020, Kemenhan menerima total anggaran Rp 127,35 triliun dan 41,6 persen dari dana itu digunakan untuk belanja pegawai, 32,9 persen untuk belanja barang, dan 25,4 persen untuk belanja modal. Khusus untuk program modernisasi alutsista, alokasi anggarannya sebesar Rp 10,86 triliun.

Untuk anggaran Kemenhan tahun ini pun, juru bicara Menhan, Dahnil Anzar Simanjuntak, menyatakan, mayoritas dialokasikan untuk kebutuhan pegawai. Anggaran untuk Kemenhan tahun ini setelah dipangkas Menkeu Sri Mulyani menjadi Rp 131 triliun.

"Jadi, kalau kita lihat komposisi anggaran Kemenhan, yang harus diperhatikan, disebut itu oleh publik Kemenhan anggarannya salah satu yang terbesar, tapi harus dipahami bahwa anggaran Kemenhan itu terbagi jadi 5 bagian atau unit organisasi. Pertama untuk Kemenhan, kedua untuk Mabes TNI, ketiga TNI AD, keempat TNI Al, kelima TNI AU," beber Dahnil Anzar ketika dihubungi Liputan6.com.

"Jadi, misalnya tahun 2021 anggarannya Rp 131 triliun itu dibagi empat. Paling besar memang belanja masih dialokasikan untuk kebutuhan pegawai, jadi masih di situ. Untuk alutsista itu kurang lebih hanya sekitar 18-20 persen dari total anggaran, itu pun dibagi 3 matra. Jadi, yang jelas memang kita masih membutuhkan anggaran, tapi di sisi lain upaya untuk menyiasati dengan skema-skema tertentu sedang dan sudah dilakukan oleh Pak Prabowo," terangnya.

Sebelumnya, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, mengungkapkan bahwa alutsista bidang pertahanan sangat mahal. Ketua Umum Partai Gerindra ini juga mengaku dilema dalam penggunaan anggaran Kemenhan.

"Dilema harus mengutamakan pembangunan kesejahteraan, tapi menjaga kemampuan pertahanan supaya kedaulatan kita tidak diganggu," ujar Prabowo kepada wartawan di Bali, Kamis (22/4/2021).

Dahnil Anzar pun mengakui Prabowo ada di antara pilihan memaksimalkan pertahanan kita dengan pilihan kesejahteraan. Dahnil menyatakan, di satu sisi ada prioritas pembangunan untuk menghadirkan kesejahteraan, tapi di sisi lain pertahanan juga harus diperkuat, sedangkan anggaran yang dimiliki terbatas.

"Oleh sebab itu, Pak Prabowo mendorong skema misalnya, adalah bagaimana belanja pertahanan itu juga bisa mendorong pembangunan ekonomi dan kesejahteraan. Makanya, Pak prabowo banyak melakukan diplomasi pertahanan itu juga dalam rangka ingin memastikan bagaimana caranya agar belanja alutsista kita itu juga diikuti dengan model-model atau skema-skema kerjasama, transfer teknologi dengan industri pertahanan di dalam negeri," jelas Dahnil.

"Jadi, tidak sekadar belanja alutsista ke luar negeri, tapi juga ada skema transfer teknologi sesuai undang-undang yang berlaku, kemudian juga dimaksimalkan belanja alutsista tentu yang bisa dibeli di dalam negeri ya dibeli di dalam negeri. Terus terang kalau ditanya apakah dana pertahanan kurang? Tentu kalau terkait dengan belanja pertahanan pasti banyak kurangnya. Namun, saat ini Pak Prabowo berusaha memaksimalkan mungkin keberadaan anggaran yang sudah ada."

Upaya Lobi Kemenkeu serta Pembuktian Kemenhan

Kunjungan Jokowi di Pameran Alutsista TNI
Presiden Jokowi meraba bodi sebuah helikopter di Pameran Alutsista TNI AD, Jakarta, Rabu (17/12/2014). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Tidak dipungkiri, agar anggaran untuk Kementerian Pertahanan bisa mencapai 1-1,5 persen dari PDB atau sekitar Rp 300 triliun, semua tergantung persetujuan Kementerian Keuangan. Bagaimana akuntabilitas dari pengelolaan keuangan atau anggaran dari sebuah lembaga negara ditentukan oleh assesment (penilaian) Kemenkeu dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

Anggota Komisi I DPR RI Muhammad Farhan, menjelaskan, sebelum Kemenkeu memberikan atau menyetujui kenaikan anggaran untuk sebuah lembaga negara, penilaian akuntabilitasnya mesti ideal. Farhan mengatakan, bagaimanapun DPR RI mendorong dan mendukung peningkatan anggaran Kemenhan, tapi kalau Kemenkeu tidak setuju, tidak ada yang dapat dilakukan.

"Di ujungnya tetap saja adalah menjadi pekerjaan rumah dari Kementerian Pertahanan untuk membuktikan kepada BPK dan Kementerian Keuangan bahwa mereka mampu mengelola anggaran senilai Rp 300 triliun," kata Farhan.

Farhan menerangkan, pembahasan anggaran sangat tergantung dari pagu indikatif yang diberikan oleh Kemenkeu. Dan pagu indikatif ini adalah sejumlah anggaran yang dialokasikan untuk sebuah kementerian berdasarkan sebuah assesment, yang dilakukan BPK dan Kemenkeu.

Dia mengatakan, DPR tidak memiliki kewenangan dan keahlian dalam melakukan assesment pengelolaan keuangan. Menurut politikus Partai Nasional Demokrat ini, dalam kerangka pengelolaan keuangan negara yang baik dan benar, maka Kementerian Pertahanan harus memenuhi assesment yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan.

"Itu urusan menteri sama menteri. Pak Prabowo harus bisa meyakinkan Ibu Sri Mulyani. Kita (DPR) sering panggil Dirjen Anggaran untuk tanya, kenapa sih buat mereka (Kemenhan) kecil banget. Dijelasin sama mereka begini-begini, indikatornya ini. Semua indikatornya kuantitatif," ungkap Farhan.

"Banyak lah kasus-kasus kenapa banyak lembaga yang masuk dalam pertahanan dan keamanan itu kemudian anggarannya tidak sebesar yang diharapkan. Tetapi, ketika Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) memaparkan dasar pertimbangan alokasi, dan semuanya kuantitatif, ya kita bungkam semua," imbuhnya.

DPR sendiri berharap semua lembaga negara mampu mengelola keuangan dengan baik dan harus mengikuti standar akuntansi negara. Dalam hal ini, Kemenhan perlu membuktikan bahwa mereka mampu mengelola anggaran Rp 300 triliun.

Terkait belum dipenuhinya angka 1,5 persen dari PDB untuk anggaran Kemenhan oleh Kemenkeu, juga menjadi perhatian Nono Sampono. Selama ini, Kemenhan perlu untuk memenuhi assesment pengelolaan keuangan lembaga negara yang ditentukan Kemenkeu. Kaidah-kaidah penggunaan uang negara, kata dia, harus betul-betul dipertanggungjawabkan.

"Semuanya harus berbenah diri. Kemenhan mungkin harus membenahi sistem pengadaan seperti apa sehingga kebocoran-kebocoran bisa dihindari dan seterusnya sampai ke tingkat bawah. Ada jaminan itu. Kementerian keuangan juga harus mengerti bahwa itu (alutsista) memang kebutuhan," ujar Nono.

"Saya pernah dengar komentar dari pejabat keuangan itu mengatakan, 'Kan enggak ada perang'. Ya bagaimana, kalau perbatasan kita dimasuki oleh orang lain, dilecehkan pada pencurian kekayaan laut, dan kita tidak sanggup untuk menjaga aset kita, kekayaan kita. Nah, itu persoalan kedaulatan kita dan wilayah dan martabat bangsa kita. Kan dipertaruhkan di situ."

INFOGRAFIS

INFOGRAFIS Alutsista
Infografis alokasi anggaran Kementerian Pertahanan pada tahun 2020 (ilustrasi: Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya