Liputan6.com, Jakarta Pemohon Perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 menghadirkan dua Ahli yang berasal dari Korea Selatan dan Thailand, yang menguraikan proses legalisasi ganja untuk medis di negara masing-masing.
Dua Ahli tersebut, yakni CEO Korea Medical Cannabis Organization (Lembaga Sertifikasi Ganja untuk Medis Korea) Sung Seok Kang dan Kepala The Centre of Evidence-based Thai Traditional and Herbal Medicine di Chao Phya Abhaibhubejhr Hospital, Pakakrong Kwankhao.
Baca Juga
Dijaga Ketat, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan Gelar Persidangan Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol
Infografis Paslon RK-Suswono dan Dharma-Kun Tak Ajukan Gugatan Hasil Pilkada Jakarta 2024 ke MK dan Hasil Rekapitulasi Suara
Ridwan Kamil Batal Gugat Pilkada Jakarta ke MK, Golkar: Kita Kedepankan Budaya Jawa
Sung Seok mengatakan, seperti di Indonesia, di Korea juga terdapat pengaturan dan undang-undang mengenai penggunaan narkotika secara medis. Upaya mengubah peraturan dimulai sejak pertengahan tahun 2017 dengan tujuan untuk melindungi pasien terutama dari kalangan anak-anak dan keluarga agar mereka bisa mendapat ketentuan hukum yang sesuai.
Advertisement
"Dan syukurnya pada tahun 2018 undang-undang yang baru tentang penggunaan obat-obatan psikotropika di dunia medis berhasil diresmikan," ujar Sung Seok dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) di Gedung MK, Jakarta, Selasa (12/10/2021).
Menurut Sung Seok, pembahasan mengenai legalisasi penggunaan narkotika sesungguhnya sempat dibahas oleh legislatif, namun kala itu, ganja tidak termasuk dalam pembahasan. Akan tetapi, sambungnya, pihaknya berupaya untuk terus melakukan penelitian penggunaan ganja bagi kepentingan medis dengan beberapa pakar luar negeri.
"Karena ada masalah tersebut tidak adanya tersedia hasil-hasil riset di dalam Korea, akhirnya kami mencoba bekerja sama dengan berbagai pakar dari luar negeri dan kemudian kita melakukan berbagai macam riset yang hasil dari riset tersebut kemudian kita serahkan kepada DPR dan MPR untuk bisa di-review, apakah memang sebetulnya penggunaan ganja ini boleh atau tidak secara medis? Dan akhirnya diputuskan pada tanggal 23 November 2018, hal ini kemudian lolos di dalam pembahasan di MPR," papar Sung Seok dikutip dari laman mkri.id.
Selanjutnya, Sung Seok menyebut Pemerintah menindaklanjuti keputusan legislatif tersebut dengan menyusun aturan atau ketentuan agar penggunaan dari obat-obat yang psikotropika dapat digunakan dengan benar. Salah satunya adalah adanya aturan mengenai hanya orang-orang tertentu atau lembaga tertentu saja yang bisa membuat resep untuk penggunaan obat-obat yang psikotropika tersebut.
"Termasuk salah satunya adalah ganja. Nah, ini ada satu organisasi, KOEDC, yang merupakan organisasi yang mempunyai kekuatan secara hukum untuk bisa memberikan resep bagi penggunaan obat-obat yang mengandung psikotropika. Sebetulnya hal ini tidak jauh berbeda dengan meresepkan obat-obatan seperti biasanya. Tetapi perbedaan yang mengelolanya adalah pemerintah yang menunjuk organisasi tertentu atau farmasi untuk bisa menerima resep-resep tersebut. Jadi tidak sembarangan ditujuk dan dikelola oleh pemerintah," terang Sung Seok.
Kemudian Sung Seok mengatakan, hal ini diperbolehkan karena telah mengacu kepada yang telah ditentukan WHO dengan hasil riset dari para ahli seluruh dunia. Tetapi hasil riset yang terkait dengan ganja masih terbatas sehingga WHO mengalihkan kepada masing-masing negara. Setelah melakukan riset berbagai negara, maka lahirlak tata cara proses penggunaan atau membeli obat-obatan terlarang tersebut untuk medis pada 2020.
Dikatakan Sung Seok, obat-obatan terlarang ini sebetulnya digunakan sebagai obat anti melawan sakit dari orang-orang yang mengalami penyakit parah. Menurutnya, karena ini sulit diakses, maka tidak sembarangan organisasi memberikan arahan terhadap obat-obatan tersebut. Selain itu menurutnya, secara Internasional aturan penggunaan narkotika di tahun 1961 dari PBB.
Di akhir keterangannya, ia mengatakan sebetulnya tidak hanya Korea Selatan, tetapi negara lain pun perlu untuk melihat kembali penggunaan dari obat-obatan terlarang seperti marijuana, ganja, dan yang lain-lainnya agar bisa digunakan untuk kepentingan medis.
Â
Aturan Ganja Medis di Thailand
Sementara itu, Ahli Pemohon lainnya, Pakakrong Kwankhao menyampaikan bahwa Thailand melegalisasi ganja untuk medis sejak Februari 2019. Menurutnya, Thailand melegalkan ganja karena terjadinya peningkatan penelitian dan pengalaman penggunaan dalam perawatan menggunakannya terutama untuk kasus-kasus perawatan standar seperti kanker. Pakakrong juga menyebut terdapat gerakan untuk mendekriminalisasi serta melegalisasi ganja secara global.
"Ada permintaan tinggi ganja di antara warga Thailand. Sebelum kami melegalisasi, sebelumnya orang-orang di Thailand harus ke pasar gelap untuk bisa mendapatkan produk ganja yang tidak memiliki kualifikasi. Kita tahu bahwa produk-produk di pasar gelap tidak memiliki kualifikasi dan itu tentunya tidak baik bagi populasi kami. Dan ganja sebetulnya juga adalah bagian dari pengetahuan tradisional kami," terangnya secara daring yang diterjemahkan oleh Miki Rusindaputra Salman.
Selanjutnya Pakakrong mengatakan, pasien yang membutuhkan ganja dalam pengobatannya diharuskan memenuhi syarat tertentu yang diverifikasi oleh rumah sakit di Thailand. Thailand pun telah memasukkan ganja ke dalam daftar obat-obatan esensial nasional.
"Jika pasien memenuhi syarat atau indikasi medis, mereka akan mendapatkan obat-obatan seperti ini dari rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan. Kami memiliki ekstrak ganja, baik THC, maupun CBD, maupun kombinasi dari THC atau CBD. Kami juga memiliki resep obat-obatan tradisional yang mengandung ganja juga," ujar Pakakrong.
Sementara terkait keamanan pemakaian, Pemerintah Thailand melalui Kementerian Kesehatan Publik menugaskan Departemen Layanan Kesehatan untuk mengembangkan suatu pedoman tentang penggunaan medis ekstrak ganja.
"Departemen Obat-Obatan Tradisional dan Alternatif Thailand untuk juga menggunakan resep obat-obatan tradisional Thailand sesuai dengan pedoman. Ganja memberi manfaat kepada pasien jika dokter meresepkan kanabis medis kepada pasien. Namun di Thailand, tidak menggunakan atau belum menggunakan ini sebagai langkah pertama. Hal tersebut dikarenakan masih belum memiliki cukup bukti untuk mendukung ini sebagai penggunaan lini pertama," tegasnya.
Selain itu, Pakakrong juga menyebut bahwa menurut peraturan di Thailand, ganja masih diregulasi sebagai kategori obat-obatan narkotika. Penggunaannya pun hanya diizinkan untuk penelitian dengan tujuan medis dan diharuskan adanya izin dari Komite Narkotika Nasional.
"Dan kami telah membangun suatu ekosistem untuk menjamin keamanan publik, yang kami maksud sebagai ekosistem adalah kami melatih tenaga kesehatan, profesional kesehatan kami, dan kami juga mewajibkan mereka untuk mendaftar dengan pemerintah, dan mendapatkan produk kanabis medis yang memenuhi syarat kepada pasien, dan juga kami membangun sistem data elektronik untuk memantau keamanan dan keefektivitas produk, dan itu kami selalu laporkan ke basis data kesehatan di Kementerian Kesehatan Publik dan juga produk apa yang digunakan," tandas Pakakrong.
Sebelumnya, Perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Dwi Pertiwi (Pemohon I); Santi Warastuti (Pemohon II); Nafiah Murhayanti (Pemohon III); Perkumpulan Rumah Cemara (Pemohon IV), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Pemohon V); dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) (Pemohon VI).
Para Pemohon menguji secara materiil Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) yang melarang penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan. Hal ini dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon karena menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak Pemohon.
Â
Â
Advertisement