Liputan6.com, Jakarta - Awal November 2021, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menetapkan sejumlah daerah di Indonesia dalam status siaga bencana hidrometeorologi. Benar saja, baru sampai 7 November 2021, sudah terjadi banjir di 32 lokasi.
Banjir bandang yang melanda Kota Batu, Malang, Jawa Timur, 4 November 2021, merupakan salah satu yang paling menyita perhatian masyarakat. Setidaknya tujuh warga tewas, 35 rumah rusak, dan 33 rumah lainnya terendam lumpur. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut penyebab banjir bandang karena adanya bendung alam yang jebol di kawasan hulu.
Baca Juga
Daerah Garut, Jawa Barat, juga diterpa bencana banjir bandang pada 6 November 2021, yang menyebabkan sebuah jembatan putus sehingga 1.200 warga kampung terisolasi, karena tidak punya pilihan akses jalan yang lain. Menurut perangkat desa setempat, banjir terjadi karena hutan beralih fungsi menjadi lahan yang ditanami kopi dan sayuran.
Advertisement
Sejumlah wilayah di Jakarta juga terendam banjir setelah hujan deras yang turun pada Minggu 7 November 2021. Ketapang, Kalimantan Barat juga diterjang banjir, sedangkan di Mamasa, Sulawesi Barat, bukan hanya banjir, tapi juga terjadi bencana tanah longsor setelah hujan lebat yang mengguyur.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB mencatat, dalam kurun waktu lima tahun terakhir pada periode 2016 hingga 2020, ada sebanyak 17.032 kali bencana yang terjadi di Indonesia. Nyaris 99 persen bencana yang dilaporkan tersebut merupakan jenis bencana hidrometeorologi.
Bencana hidrometeorologi di antaranya banjir, banjir bandang, longsor, cuaca ekstrem, kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan. Biasanya, bencana hidrometeorologi diakibatkan oleh parameter-parameter meteorologi, seperti curah hujan, kelembapan, temperatur, dan angin.
Sebelumnya, BMKGÂ juga telah memperingatkan tentang potensi terjadinya La Nina di Indonesia dalam kurun waktu Oktober 2021 sampai Februari 2022. Berdasarkan peristiwa La Nina pada 2020, curah hujan bakal meningkat pada November 2021-Januari 2022.
Daerah yang mengalami peningkatan curah hujan terutama di wilayah Sumatra bagian selatan, Jawa, Bali hingga Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Curah hujan bulanan di daerah itu naik 20-70 persen lebih besar dibanding saat normal. Umumnya, intensitas La Nina baru akan lemah-sedang sampai akhir Februari 2021.
BMKG sendiri sebelumnya telah memperkirakan bahwa musim hujan tahun ini datang lebih cepat. Sepanjang musim kemarau tahun ini, laut di Indonesia cenderung lebih hangat dibanding normal, sehingga curah hujan punya kecenderungan di atas normal. Apabila curah hujan di atas normal, maka efeknya pada sebagian besar wilayah itu musim hujannya maju dibandingkan normalnya.
Mengenal dan Mewaspadai La Nina
Fenomena La Nina yakni menurunnya Suhu Muka Laut (SML) di Samudera Pasifik bagian tengah hingga kurang dari kondisi normalnya. Pendinginan SML itu mengurangi potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah. Lalu, embusan angin pasat (trade winds) yang lebih kuat dari biasanya di sepanjang Samudera Pasifik dari Amerika Selatan ke Indonesia, membuat massa air hangat terbawa ke arah Pasifik Barat.
Ketika massa air hangat berpindah tempat, maka air menjadi lebih dingin di bawah laut Pasifik dan akan naik ke permukaan untuk mengganti massa air hangat yang berpindah tadi. Proses itu disebut upwelling dan menyebabkan SML turun.
Peristiwa itu membuat curah hujan di Indonesia meningkat dan musim hujan terjadi lebih lama. Risiko bencana banjir identik dengan potensi kenaikan curah hujan. Ini kebalikan dari fenomena El Nino, di mana identik dengan peningkatan suhu, kemarau panjang, yang berujung pada kekeringan dan kesulitan air.
Sebenarnya, peringatan kewaspadaan terhadap La Nina diterbitkan BMKG hampir setiap tahun. La Nina, yang berarti anak perempuan ini, dampaknya bakal terasa di wilayah selatan, tengah, dan timur pada bulan September, Oktober, dan November. Sedangkan di wilayah tengah-utara, efek La Nina dapat dirasakan pada bulan Desember, Januari, dan Februari.
Terdapat empat faktor besar yang memengaruhi iklim di Indonesia di antaranya, kejadian El Nino atau La Nina, Angin Monsun, gangguan atmosfer, dan suhu permukaan air laut. Fenomena La Nina tahun ini diketahui datang lebih akhir, bila dibandingkan dengan tahun lalu.
Menurut Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Supari Klimat, tahun ini baru bulan Oktober dinyatakan sedang terjadi La Nina, sedangkan tahun lalu dimulai pada Agustus.
Terdapat indeks yang merepresentasikan kejadian La Nina itu, di mana perubahannya dari level weak atau lemah menunju level moderat atau sedang. Tahun lalu, La Nina mencapai level moderat pada Oktober setelah dimulai Agustus.
"Tahun ini, Oktober dinyatakan sedang terjadi La Nina dan di November itu sudah mencapai level moderat," kata Supari kepada Liputan6.com.
La Nina menyebabkan atmosfer Indonesia menjadi lebih basah, dan hal itu memudahkan terbentuknya awan yang membuat curah hujan lebih tinggi. Namun, dampak La Nina baru bisa diketahui setelah hujan yang turun selama sebulan dianalisa dan diukur.
"Misalnya curah hujan di bulan November itu di atas normal, curah hujan Desember nanti di atas normal. Beberapa bulan berikut baru kita bisa mengatakan, 'Oh ini dampak La Nina'," jelasnya.
Yang perlu dipahami, banjir besar yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia tidak terkait langsung dengan La Nina. Kondisi cuaca ekstrim harian, termasuk hujan, juga tidak dapat selalu dihubungkan dengan fenomena La Nina. Tapi, La Nina lebih ke kondisi total, bukan kondisi cuaca saat banjir terjadi.
"La Nina itu bekerja di background-nya, karena dia kan fenomena berskala besar. Banjir yang sesaat itu pasti disebabkan oleh kondisi cuaca saat itu. Bukan La Nina-nya," beber Supari.
Advertisement
Antisipasi Bencana yang Kian Ekstrem
Peneliti Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari, mengatakan bencana hidrometeorologi seperti kebakaran hutan dan kekeringan sebenarnya sudah terjadi sejak dulu. Tapi dengan adanya krisis iklim, maka bencana-bencana tersebut akan semakin sering intensitasnya dan semakin parah ke depannya.
Ia menjelaskan, ketika ada gangguan di atmosfer, misalkan gas rumah kaca yang jumlahnya ekstrem, maka akan mengganggu semua sistem di atmosfer termasuk cuaca dan keadaan hidrometeorologi.
"Kondisi bumi yang makin panas memicu banyak perubahan di atmosfer. Salah satunya adalah air laut semakin cepat menguap dan awan semakin banyak. Awan kemudian turun menjadi hujan dan itu yang menyebabkan curah hujan ekstrem," kata Adila kepada Liputan6.com.
"Kayak misalkan hujan tahun baru 2020 di Jakarta, kan terekstrem selama 150 tahun atau yang di Kalimantan, hujannya berhari-hari dan terjadi banjir terbesar dalam 50 tahun. Yang seperti itu akan semakin sering ke depannya."
Adila mengatakan, pemerintah bisa melakukan dua tindakan antisipasi untuk menolong masyarakat dari bencana hidrometeorologi. Yang pertama adalah early warning system. Jadi, ketika ada curah hujan tinggi atau air pasang, pemerintah harus bisa memberi peringatan cepat kepada masyarakat.
Kedua, kata Adila, pemerintah harus membangun awareness masyarakat soal krisis iklim. "Di Indonesia untuk krisis iklim, kita belum ada sense of crisis yang benar-benar tinggi. Padahal kita sudah berada di situasi krisis."
Sementara itu, menurut Supari Klimat, peningkatan curah hujan karena La Nina menambah risiko terjadinya tanah longsor. Hujan membuat tanah menjadi lebih basah sehingga kondisi kejenuhan tanah lebih cepat tercapai. Ketika sudah jenuh, tanah tak lagi bisa menyerap air.
Potensi bencana banjir yang sifatnya bukan incidental juga semakin besar terjadi. Dalam ini, kata Supari, antisipasinya adalah pemerintah menyiapkan tata kelola air yang antisipasif dengan asumsi bahwa La Nina akan meningkatkan jumlah curah hujan dalam beberapa bulan ke depan.
Maka, semua tampungan air yang berskala besar seperti waduk dan bendung, mesti disiapkan untuk skenario curah hujan berlimpah. Di sisi lain, masyarakat diminta melakukan antisipasi terhadap limpasan air yang berlimpah pada saat hujan. Masyarakat juga bisa menebang dahan pohon yang rapuh, membersihkan saluran air selokan dari sampah.
Akibat Ulah Manusia
Kepala BNPB, Letjen TNI, Ganip Warsito, mengungkapkan, selama periode 2021, setidaknya terdapat 2.172 kejadian bencana alam sampai 3 November 2021, yang juga didominasi jenis bencana hidrometeorologi. Apabila dirata-rata, setidaknya Indonesia mengalami peristiwa bencana sebanyak 10 kali dalam sehari.
Angka itu tentu saja bukan jumlah yang kecil. Belum lagi kerugian yang dialami ketika terjadi bencana, baik kehilangan nyawa anggota keluarga maupun harta benda berharga yang raib.
Analisa InaRISK menyebut wilayah Indonesia rawan terhadap potensi bahaya banjir dengan kategori sedang hingga tinggi. Populasi yang berpotensi terpapar bahaya tersebut mencapai 100,81 juta jiwa yang tersebar di seluruh Indonesia. Demikian pula bahaya tanah longsor, yang teridentifikasi di 33 provinsi dengan potensi populasi terpapar mencapai 14 juta jiwa.
InaRISK merupakan portal kajian risiko yang menggambarkan wilayah ancaman bencana, disertai populasi terdampak dan potensi kerugian yang bisa dialami. Dengan penelitian ini, semestinya masyarakat Indonesia patut khawatir.
Selain itu, berdasarkan survei YouGov-Cambridge Globalism Project pada 2019 lalu, Indonesia juga menjadi negara dengan masyarakat yang paling banyak tidak percaya bahwa krisis iklim yang berdampak pada bencana alam terjadi akibat ulah manusia.
Indonesia berada di peringkat pertama dari 23 negara dengan persentase 18 persen. Sementara, posisi kedua dan ketiga ditempati Arab Saudi (16 persen) dan Amerika Serikat (13 persen).
Anggapan ini jelas berlawanan dengan apa yang dipercayai para peneliti. Pakar menyebutkan bahwa penyebab utama perubahan iklim dan pemanasan global terbesar adalah manusia.
"Dari survei Cambridge itu kita bisa lihat bahwa masyarakat Indonesia bukan denied, tapi tidak tahu kalau krisis iklim disebabkan manusia dan tidak tahu dampaknya seperti apa. Di sini kelihatan bahwa awareness masyarakat kurang dan pemerintah tidak membangun sense of crisis," ucap Adila.
Demi mengatasi ancaman bencana hidrometeorologi ke depannya, pemerintah diharapkan bisa benar-benar berkomitmen dengan krisis iklim. Salah satunya adalah dengan meninggalkan bahan bakar fosil.
"Bahan bakar fosil adalah penyumbang gas rumah kaca yang paling besar. Tapi sejauh ini komitmen pemerintah masih setengah hati. Harus ada aksi iklim yang nyata dan sesegera mungkin," ucap wanita lulusan University of Leeds tersebut.
Advertisement