Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat menilai, perempuan bukan sekadar pelengkap dan disubordinasi, serta tidak untuk dikooptasi. Peringatan Hari Ibu Nasional adalah hari kebangkitan perempuan Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya.
Hal itu disampaikan Lestari Moerdijat dalam diskusi virtual bertema Perempuan Indonesia: Kepemimpinan, Kesetaraan dan Kiprah Membangun Bangsa yang merupakan bagian dari acara peluncuran buku 21 Wanita Perkasa yang Ditempa oleh Budaya Aceh, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 bersama Yayasan Sukma dan Universitas Syiah Kuala Aceh, Rabu (22/12/2021).
"Setiap perempuan memiliki hak yang sama sebagai manusia. Bahkan, gerakan perempuan Indonesia merupakan bagian dari upaya mewujudkan Kemerdekaan Indonesia," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Rabu.
Advertisement
Diskusi yang dipandu News Anchor Metro TV Aviani Malik itu, menghadirkan Penulis Buku 21 Wanita Perkasa yang Ditempa oleh Budaya Aceh, Qismullah Yusuf, Pengamat Bidang Militer dan Pertahanan Keamanan Berkebangsaan Indonesia, Connie Rahakundini Bakrie, Peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti, Akademisi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, Asna Husin, dan Akademisi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Ahmad Humam Hamid sebagai narasumber.
Baca Juga
Menurut Lestari, peringatan Hari Ibu Nasional setiap 22 Desember itu berbeda dengan Mothers Day yang dirayakan di dunia Barat.
"Peringatan Hari Ibu di Indonesia, lahir dari digelarnya Kongres Perempuan Indonesia II pada 1930 yang di dalam kongres tersebut membahas hak-hak perempuan di berbagai bidang," ujar Rerie, sapaan akrab Lestari.
Padahal, ujar Rerie, sejak zaman kerajaan- kerajaan di Nusantara masa lalu, sudah banyak perempuan mengambil peran sebagai garda terdepan dalam perjuangan.Tokoh-tokoh perempuan di masa itu, ujar Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, juga terlibat dalam pengelolaan negara, pertahanan, perdagangan dan sejumlah bidang sosial kemasyarakatan.
Diakui Rerie, masa reformasi merupakan masa yang kondusif bagi gerakan perempuan Indonesia karena cukup banyak ruang yang dibuka untuk mengangkat berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan saat ini.
"Meski begitu, masih banyak pekerjaan rumah terkait perempuan yang harus segera dituntaskan agar hak-hak perempuan bisa terpenuhi," ujar Rerie.
Pekerjaan rumah itu, tambahnya, antara lain pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU-TPKS) yang hingga kini masih menghadapi banyak tantangan.
"Padahal, RUU-TPKS sangat diharapkan untuk segera menjadi undang-undang agar perlindungan dan pencegahan dari tindak kekerasan seksual yang kerap mengancam perempuan, bisa segera direalisasikan," ujar Rerie.
Semenatar itu Pengamat Bidang Militer dan Pertahanan Keamanan, Connie Rahakundini Bakrie berpendapat jika kembali kepada nasionalisme perempuan di masa lalu, sudah terbukti banyak perempuan berperan aktif dalam skala yang lebih luas di berbagai bidang.
Menurut Connie, sejak abad ke-7 perempuan Aceh sudah sangat menonjol perannya di Nusantara, karena masyarakat Aceh menganut budaya matriarki. Sejarah Aceh juga melahirkan sejumlah negarawan perempuan.
"Sikap digdayanya perempuan Aceh itu juga karena ajaran Islam yang kuat," ujar Connie.
Mulai terpinggirkannya peran perempuan di Aceh, menurut Connie, terjadi setelah perang kemerdekaan Indonesia karena pengaruh budaya Arab yang cenderung mengenyampingkan peran perempuan dalam keseharian.
Adapun Penulis Buku 21 Wanita Perkasa yang Ditempa oleh Budaya Aceh, Qismullah Yusuf mengungkapkan, perempuan Aceh berperan di sejumlah bidang antara lain di bidang diplomasi, perdagangan, pendidikan, dan membangun jaringan di Nusantara.
Langkah membangun jaringan itu, ujar Qismullah, dibuktikan dengan adanya sembilan sultan di Aceh yang bukan orang asli Aceh, tetapi orang Bugis.
Penyebab Perempuan Bangkit
Peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti berpendapat, di Nusantara pada masa lalu bukan hanya perempuan Aceh yang banyak berkiprah, namun juga perempuan di sejumlah daerah lainnya.
"Sangat disayangkan, di masa kini masih banyak pihak yang mensubordinasikan perempuan terhadap laki-laki," ujar Titi.
Meski begitu, diakui Titi, sejak dulu sampai sekarang di Nusantara ini selalu saja ada tempat bagi perempuan. Sangat disayangkan, ketika ada sejumlah kesempatan dibuka justru dari pihak perempuannya sendiri belum memiliki kemampuan yang memadai.
Sedangkan Akademisi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, Asna Husin berpendapat ada sejumlah faktor yang menyebabkan perempuan bangkit. Dalam konteks ilmu pengetahun, kebangkitan itu dimulai dengan takjub terhadap sesuatu sehingga berupaya keras untuk mewujudkannya.
Menurut Asna, dibutuhkan arah perjuangan yang jelas dalam upaya mewujudkan kesamaan hak-hak perempuan di tanah air.
"Indonesia hari ini, dalam membangun demokrasi hanya sebatas fisik semata, namun belum memiliki infrastruktur demokrasi. Akibatnya, hasil praktik demokrasi kita tidak sesuai harapan," kata Asna.
Akademisi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Ahmad Humam Hamid menilai Buku 21 Wanita Perkasa yang Ditempa oleh Budaya Aceh tidak semata tentang kepahlawanan perempuan Aceh, tetapi juga tentang keterlibatan perempuan dengan pengelolaan pemerintahan dan pemikir.
Dengan kondisi itu, menurut Ahmad Humam, Aceh hebat akan memproduksi pemimpin perempuan, Aceh dalam keadaan perang menghasilkan pahlawan perempuan.
Konektivitas antar suku bangsa, jelas Ahmad Umam, adalah kunci dari lahirnya tokoh-tokoh perempuan dari Aceh. Karena kerajaan Aceh di masa itu adalah kerajaan maritim yang mengedepankan sektor perdagangan.
Advertisement