Pimpinan MPR Dorong Persiapan Terbaik Hadapi Dampak Terburuk Krisis Rusia-Ukraina

Indonesia harus memanfaatkan setiap potensi yang dimiliki untuk menjawab tantangan tersebut.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Mar 2022, 21:46 WIB
Diterbitkan 16 Mar 2022, 18:54 WIB
MPR
Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat. (Ist)

Liputan6.com, Jakarta Konflik Ukraina-Rusia menuntut setiap negara mempersiapkan strategi terbaik untuk menghadapi risiko terburuk agar mampu menghadapi dampak krisis tersebut. Indonesia harus memanfaatkan setiap potensi yang dimiliki untuk menjawab tantangan tersebut.

"Semua pendekatan untuk menghadapi dampak krisis akibat konflik kedua negara itu harus dilakukan untuk mengantisipasi risiko dari krisis di Ukraina-Rusia," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Mengantisipasi Ancaman Terhadap Ekonomi Nasional Di Balik Krisis Ukraina-Rusia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (16/3/2022).

Diskusi yang dimoderatori Ekonom yang juga Direktur Sparklabs Incubation Universitas Pelita Harapan, Radityo Fajar Arianto itu menghadirkan Duta Besar RI untuk Polandia Periode 2014 – 2019, Peter F Gontha, CEO S. ASEAN International Advocacy & Consultancy (SAIAC) untuk Asia Pasifik, Eropa, Timur Tengah dan Amerika, Shaanti Shamdasani, Peneliti INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini dan DirekturEksekutif Energy for Policy, Sekretaris Umum PP ISNU M Kholid Syeirazi, sebagai narasumber.

Selain itu, hadir pula Ketua Koord. Bidang Kebijakan Publik & Isu Strategis DPP Partai NasDem, Suyoto, dan Direktur Pemberitaan Harian Sindo, Pung Purwanto sebagai penanggap.

Di fase awal invasi Rusia ke Ukraina, menurut Lestari, tidak bisa dihindari lagi sejumlah gangguan pada keseimbangan pasokan energi, gangguan rantai pasokan komoditas dan perlambatan ekonomi.

Rerie, sapaan akrab Lestari mengajak anak bangsa untuk memanfaatkan semua potensi yang dimiliki agar mampu menjawab tantangan tersebut.

"Penguatan identitas satu dalam keragaman yang kita miliki, bisa menjadi potensi yang bisa dimanfaatkan untuk menghadirkan solusi dalam menghadapi dampak krisis tersebut," kata Rerie dalam keterangan tertulisnya.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap konflik Rusia-Ukraina segera berakhir dan seluruh energi positif anak bangsa bisa dimanfaatkan sebagai modal negeri ini untuk bangkit.

Sementara Duta Besar RI untuk Polandia Periode 2014 – 2019, Peter F. Gontha berpendapat, secara geografis Rusia memiliki perbatasan darat dengan banyak negara.

Jadi, ujar Peter, apa pun yang terjadi terhadap Rusia akan mengakibatkan dampak ekonomi terhadap banyak negara.

Peter sangat berharap pemerintah dapat menyikapi dampak krisis Rusia-Ukraina dengan kebijakan yang tepat, sehingga perdagangan sektor energi dan komoditas nasional dapat sepenuhnya bermanfaat bagi negara dan masyarakat luas.

"Sanksi ekonomi yang dijatuhkan Amerika Serikat terhadap Rusia akan menjadi preseden bagi negara-negara yang berniat berinvestasi ke negara lain," kata dia.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Dampak Rencana Serangan Cyber

Di sisi lain, ungkapnya, rencana Rusia untuk melakukan serangan cyber ke pasar modal, perbankan dan perdagangan di Amerika Serikat juga akan menciptakan dampak negatif bagi negara-negara di dunia termasuk Indonesia.

"Saya harap rencana Rusia ini tidak akan terjadi, tetapi Indonesia harus mewaspadai ancaman serangan cyber tersebut," ujar Peter.

Adapun CEO SAIAC untuk Asia Pasifik, Eropa, Timur Tengah & Amerika, Shaanti Shamdasani berpendapat dampak krisis Rusia-Ukraina di sejumlah sektor harus mampu dimanfaatkan negara-negara ASEAN untuk mengisi gap komoditas yang terjadi.

Shaanti menyatakan Indonesia harus segera melakukan penyesuaian dalam perjanjian perdagangan dengan sejumlah negara untuk merespons berbagai perubahan akibat konflik Rusia-Ukraina.

Shaanti optimistis, inflasi di Indonesia masih terkendali dalam 2-3 bulan mendatang, karena kondisi fundamental ekonomi nasional cukup kuat.

Sedangkan Direktur Eksekutif Energy for Policy / Sekretaris Umum PP ISNU, Kholid Syeirazi berpendapat, Rusia merupakan negara yang kerap mendapat sanksi dunia.

Namun, ujar Kholid, Rusia merupakan negara yang kuat dan produsen minyak dunia dengan produksi 6,5 juta barel per hari dan memasok 17% kebutuhan gas dunia. "Peran Rusia sebagai pemasok energi dan komoditas di dunia, cukup signifikan. Gangguan terhadap Rusia pasti akan berdampak pada negara lain, termasuk Indonesia," ujarnya.

Peneliti INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini sependapat jika konflik Rusia-Ukraina berkepanjangan, akan berdampak secara global.

Krisis tersebut, jelas Eisha, akan menambah goncangan dari sisi permintaan dan penawaran energi dan komoditas dunia, sehingga memberi tekanan pada pemulihan ekonomi dunia pasca-pandemi.

"Ketika permintaan Rusia dan Ukraina melemah terhadap sejumlah pasokan komoditas dan produk dari China, maka secara tidak langsung akan berpengaruh bagi negara-negara yang memiliki hubungan perdagangan dengan China, termasuk Indonesia," tambah Eisha.

Ketua Koordinator Bidang Kebijakan Publik dan Isu Strategis DPP Partai NasDem, Suyoto berpendapat tidak ada seorang pun dapat memperkirakan perang Rusia-Ukraina akan berakhir dengan cepat.

Suyoto menyarankan agar Indonesia bisa berperan dalam mengupayakan perdamaian dalam konflik tersebut.

"Indonesia perlu memainkan peran diplomasi yang soft dengan berupaya merangkul semua pihak untuk membantu mendamaikan pihak yang bertikai," ujarnya.

Direktur Pemberitaan Harian Sindo, Pung Purwanto memperkirakan invasi Rusia-Ukraina akan berlangsung dalam waktu yang panjang karena Rusia merupakan negara kuat dari sisi pasokan energi dan komoditas, serta persenjataan.

Sehingga, tegas Pung, berbagai dampak krisis yang muncul harus menjadi perhatian bersama, dengan tidak mengedepankan sejumlah isu yang kontraproduktif seperti usul penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya