Liputan6.com, Jakarta Publik dihebohkan dengan kabar, adanya korban begal jadi tersangka di Lombok Tengah, NTB. Korban membela diri saat dipaksa menyerahkan sepeda motornya, hingga dua begal yang memepetnya tewas.
Keesokan harinya, warga menemukan mayat dua begal itu dengan kondisi berlumuran darah akibat luka tusuk di Jalan Raya Dusun Babila Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah.
Satreskrim Polres Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) kemudian menetapkan korban begal berinisial M atau AS (34) menjadi tersangka dalam dugaan kasus pembunuhan itu.
Advertisement
"Korban begal dikenakan pasal 338 KUHP menghilangkan nyawa seseorang melanggar hukum maupun pasal 351 KUHP ayat (3) melakukan penganiayaan mengakibatkan hilang nyawa seseorang," kata Wakil Kepala Polres Lombok Tengah Kompol I Ketut Tamiana dalam konferensi pers di Lombok Tengah, Selasa, dikutip Antara.
Kritik pun menghujani kepolisian yang menjadikan korban begal sebagai tersangka saat membela diri. AS sendiri mengalami memar-memar akibat melawan kawanan begal tersebut.
Akibatnya, Polda NTB mengambil alih kasusnya. Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) Irjen Djoko Purwanto menerangkan, polisi akan mengumpulkan bukti-bukti guna mengungkap kasus ini secara terang benderang. Sedangkan yang menilai atau memutuskan apakah dikategorikan pembelaan terpaksa adalah majelis hakim.
"Oleh karena itu pembuktiannya haruslah dilakukan di muka persidangan," ujar Djoko dalam keterangan tertulisnya, Kamis 14 April 2022.
Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto pun akhirnya ikut berkomentar. Dia meminta agar proses hukum atas kasus korban begal jadi tersangka tersebut segera dihentikan.
Berikut sejumlah fakta terkait kasus korban begal jadi tersangka pembunuhan di Lombok Tengah, NTB yang dirangkum Liputan6.com:
Kronologi
Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) Irjen Djoko Purwanto menerangkan, kasus pembunuhan ini berawal dari adanya laporan masyarakat terkait temuan dua orang dengan kondisi bersimbah darah di Jalan Raya Dusun Babila Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah pada Minggu, 10 April 2022.
Korban atas Oki Wira Pratama (21) dan Pendi (30) ditemukan dalam kondisi meninggal dunia.
Djoko menerangkan, kepolisan kemudian melakukan penyelidikan. Kedua jasad pun diautopsi.Â
"Hasil visum Oki Wira Pratama terdapat luka tusuk pada bagian dada sebelah kanan tembus ke paru-paru. Sementara Pendi mengalami luka tusuk di bagian punggung sebelah kanan yang menembus ke paru-paru," papar Djoko.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, keduanya diduga hendak membegal sepeda motor milik M alias AS (34) pada Minggu 10 April 2022 sekira pukul 01.30 Wita.
Djoko mengatakan, M alias AS saat itu berkendara menggunakan sepeda motor scoopy warna merah tiba-tiba dihadang oleh kedua pelaku yakni Oki Wira Pratama dan Pendi.
"M alias AS diminta menyerahkan sepeda motornya," ujar dia.
Djoko mengatakan, ada dua kawanan lain yakni H dan W berada di belakang melihat situasi.
Djoko mengatakan, M alias AS mencoba melawan. Akibat kejadian itu, OWP dan P meninggal dunia di TKP akibat luka tusuk senjata tajam.
Djoko mengatakan, rekan pelaku melihat adanya perlawanan kemudian lari tunggang-langgang.
"H dan W melarikan diri," ujar dia.
Sementara itu, M alias AS mengalami luka memar pada bagian tangan sebelah kanan. "Itu akibatkan karena adanya peristiwa pencurian dan kekerasan yang dilakukan kedua pelaku," terang dia.
Dalam kasus ini, sangkaan pasal ialah Pasal 338 KUHP, Pasal 351 KUHP, Pasal 49 KUHP, Pasal 365 KUHP, Pasal 53 KUHP.
Advertisement
Penahanan Ditangguhkan
Polres Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, menyatakan korban begal S (34) yang sempat ditahan setelah ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus tewasnya dua pelaku begal di jalan raya Desa Ganti, akhirnya dibebaskan setelah surat penangguhan penahanan direspons Polres setempat.
"Iya dibebaskan setelah ada surat penangguhan dari keluarga dengan mengetahui pemerintah desa," kata Kapolsek Praya Timur Iptu Sayum di Praya, Rabu, dikutip Antara.
Disinggung terkait dengan proses hukum selanjutnya, ia mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa memberikan penjelasan lebih jauh, karena yang menangani kasus tersebut penyidik dari Polres Lombok Tengah langsung. "Silakan konfirmasi kepada pak Kapolres saja," katanya Â
Kepala Desa Ganti, H Acih mengatakan hal yang sama bahwa warganya yang telah diamankan dan ditetapkan menjadi tersangka, karena membunuh begal tersebut telah diberikan penangguhan.
"Allhamdulillah dinda telah dikasih penangguhan," ucapnya.
Sebelumnya, Jajaran Satreskrim Polres Lombok Tengah menetapkan korban begal inisial S (34) menjadi tersangka dalam dugaan kasus dua begal yang tewas bersimbah darah di jalan raya Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Minggu dini hari, 10 April 2022.Â
"Penyelidikan kasus ini ditingkatkan menjadi sidik, setelah melakukan pemeriksaan saksi," kata Waka Polres Lombok Tengah, Kompol Ketut Tamiana saat acara konferensi pers di halaman Polres setempat, Selasa, 12 April 2022.4 dari 5 halaman
Kasus Diambil Alih Polda NTB
Polda NTB mengambil alih kasus dugaan pembunuhan itu. Polisi akan mendalami perbuatan tersangka yang berinisial M alias AS (34).
"Polri melaksanakan penyidikan tindak pidana, untuk penanganan perkara selanjutnya akan dilimpahkan ke Polda NTB," kata Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) Irjen Djoko Purwanto dalam keterangan tertulis, Kamis (14/4/2022).
Dia menerangkan, polisi akan mengumpulkan bukti-bukti guna mengungkap kasus ini secara terang benderang. Sedangkan yang menilai atau memutuskan apakah dikategorikan pembelaan terpaksa adalah majelis hakim.
"Oleh karena itu pembuktiannya haruslah dilakukan di muka persidangan," ujar Djoko.
Menurut dia, kasus pembunuhan ini berawal dari adanya laporan masyarakat terkait temuan dua orang dengan kondisi bersimbah darah di Jalan Raya Dusun Babila Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah pada Minggu, 10 April 2022.
Advertisement
Polisi Dihujani Kritik
Sejumlah akademisi dan pakar hukum mengkritik langkah jajaran Polda NTB yang menetapkan korban begal jadi tersangka.Â
Salah satunya akademisi hukum pidana dari Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Taufan Abadi, Rabu, mengatakan korban begal yang membunuh pelaku begal tidak dapat dikenai hukuman pidana karena tindakannya masuk dalam kategori pembunuhan terpaksa.
Hal itu dikatakan Taufan menanggapi peristiwa pembunuhan dua pelaku begal di Lombok Tengah pada Minggu (10/4) dini hari oleh korban begal berinisial S (34), yang ditetapkan polisi sebagai tersangka.
"Secara singkat, kasus pembunuhan terhadap dua pelaku begal oleh korban S mengarah pada alasan pemaaf, sehingga tidak dapat dikenakan pidana," kata Taufan dalam keterangan tertulis yang diterima di Mataram, Rabu, dikutip Antara.
Dengan alasan tersebut, lanjutnya, perbuatan S dapat dinyatakan bersalah, namun perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh S. Hal itu merujuk pada ketentuan hukum pidana Pasal 48 tentang Daya Paksa (overmacht) dan Pasal 49 KUHP tentang Pembelaan Terpaksa (noodweer).
Dalam Pasal 48 KUHP disebutkan barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana; kemudian Pasal 49 KUHP terdapat dua ayat yang mengatur tentang Pembelaan Terpaksa (noodweer).
Pada ayat 1 disebutkan barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.
Selanjutnya, pada ayat 2 disebutkan pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
"Pertanyaannya, dalam kasus S, mana yang dapat dikenakan? Daya paksa pada Pasal 48 atau pembelaan terpaksa pada Pasal 49? Untuk menjawab itu, maka tentu perlu merunut unsur daya paksa atau pembelaan terpaksa," jelasnya.
Juga dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menilai Murtede atau Amaq Sinta yang menewaskan dua begal di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, tidak bisa dilabeli tersangka dan dikenakan pasal pidana.
"Terkait tindakan korban begal yang menewaskan dua pelaku begal demi pembelaan dirinya atas penggeroyokan komplotan begal yang dilakukan seketika oleh para begal maka tidak patut dilabelin Tersangka," katanya seperti dilansir Antara.
Hal itu, kata dia, mengingat perbuatan atau keadaannya bukanlah sebagai pelaku tindak pidana.
Penyidik dalam kasus ini dinilai kurang teliti dalam memetakan dan mencari termasuk mengumpulkan bukti. Kalau penyidik teliti dan cermat semestinya akan membuat terang dan jelas atas peristiwa pidana ini, sehingga tidak menimbulkan dialektika publik seperti saat ini.
Karenanya mengacu Pasal 49 KUHP menyebutkan orang yang melakukan pembelaan darurat, sekaligus sebagai upaya dari dirinya yang tidak dapat dihindarinya atas sebuah keadaan yang terpaksa.
Sehingga berdasarkan perintah pasal ini dan fakta yang ada, maka perbuatan ini semestinya oleh penyidik sejak awal menjadi pengecualian dan harus dihentikan demi hukum karena tindakannya ini tidak dapat dihukum bukan pula melabeli status tersangka.
Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Profesor Hibnu Nugroho pun mengatakan kasus ini harus dikaji dari segi ilmu pengungkapan perkara, yaitu ilmu forensik.
Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed itu menyebutkan ilmu forensik terdiri atas tiga indikator, yakni barang bukti, tempat kejadian perkara (TKP), dan menentukan pelakunya.
"Nah, dalam barang bukti dan TKP ini harus dilihat apakah ini dalam keadaan suatu kejahatan dengan tidak ada keseimbangan, apakah ada sebab-sebab terjadinya kejahatan. Dalam hal ini akan dilihat kalau perbuatan itu ada keadaan terpaksa, sesuai dengan Pasal 49 Ayat (2) KUHP, orang yang bersangkutan harus dibebaskan," katanya.
Ditegaskan pula bahwa keadaan terpaksa itu harus dikaji dari segi ilmu kedokteran forensik.
"Lukanya seperti apa, sayatannya seperti apa," katanya menjelaskan.
Oleh karena itu, kata dia, dalam konsep tersebut polisi harus hati-hati untuk menetapkan seseorang patut sebagai tersangka ataukah tidak patut sebagai tersangka.
Menurut dia, keadaan objektif itulah yang menentukan bahwa dalam kasus tersebut ada suatu pembelaan terpaksa, ada penyebabnya, dan sebagainya.
"Jadi, bukan kejahatan biasa, tetapi kejahatan yang timbul karena keadaan pembelaan terpaksa. Orang yang melakukan pembelaan terpaksa itu bisa karena untuk perlindungan hak asasi manusia, untuk perlindungan keamanan serta keselamatannya, dan sebagainya," kata Wakil Rektor Unsoed Bidang Umum dan Keuangan itu.
Kabareskrim Minta Kasus Dihentikan
Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto meminta agar proses hukum atas kasus korban begal jadi tersangka di Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk segera dihentikan.
Menurut dia, hal ini bisa membuat masyarakat apatis dan takut melawan bentuk kriminalitas.
"Hentikan lah menurut saya. Nanti masyarakat jadi apatis, takut melawan kejahatan," tutur Agus saat dikonfirmasi, Sabtu (16/4/2022).
Menurut Agus, kesadaran masyarakat agar berani melawan kejahatan tentu perlu dibangun dan dijaga. Untuk itu, Polda NTB perlu mengundang tokoh masyarakat, tokoh agama, kejaksaan, hingga pihak terkait lainnya untuk hadir dalam gelar perkara kasus tersebut agar melahirkan keadilan.
"Bisa ditanyakan ke mereka, layakkah korban yang membela diri justru menjadi tersangka. Agar nantinya keputusan polisi mendapatkan legitimasi dari masyarakat melalui tokoh-tokoh yang diundang dalam gelar perkara. Jangan sampai seperti sekarang, jadi tersangka justru menimbulkan reaksi yang cukup keras di masyarakat," jelas Agus.
Advertisement
Kasus Dihentikan
Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) Irjen Djoko Purwanto menyatakan bahwa pihaknya telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3 atas kasus M alias AS, korban begal yang ditetapkan sebagai tersangka.
Hal tersebut berdasarkan hasil dari gelar perkara yang dilakukan penyidik bersama dengan pakar hukum terkait.
"Hasil gelar perkara disimpulkan peristiwa tersebut merupakan perbuatan pembelaan terpaksa sehingga tidak ditemukan adanya unsur perbuatan melawan hukum baik secara formil dan materiil," tutur Djoko kepada wartawan, Sabtu (16/4/2022).
Menurut dia, keputusan dari gelar perkara tersebut berdasarkan peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 Pasal 30 tentang penyidikan tindak pidana, bahwa penghentian penyidikan dapat dilakukan demi kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
"Peristiwa yang dilakukan oleh Amaq Sinta merupakan untuk membela diri sebagaimana Pasal 49 Ayat (1) KUHP soal pembelaan terpaksa," jelas DJoko.
Sementara itu, Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menambahkan, penghentian kasus tersebut dilakukan demi mengedepankan asas keadilan, kepastian, dan terutama kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
"Dalam kasus ini, Polri mengedepankan asas proporsional, legalitas, akuntabilitas, dan nesesitas," kata dia.
Alasan SP3
Kapolda NTB Irjen Djoko Purwanto mengatakan, kasus begal yang terjadi pada 10 April 2022, sekitar pukul 01.30 Wita, di Jalan Raya Dusun Babila, Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah, ini dihentikan karena telah menjadi perhatian masyarakat luas.
"Kasusnya jadi perhatian publik," kata Djoko dalam keterangannya, Sabtu (16/4/2022).
Jenderal bintang dua ini menegaskan, dihentikannya kasus tersebut bukan karena adanya desakan publik. Melainkan memang menjadi perhatian masyarakat.
"Bukan karena desakan publik, tapi kasusnya jadi perhatian publik ya," tegasnya.
Sebelumnya, Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terkait perkara yang menimpa S (34). Diketahui, S yang merupakan korban begal ini sempat ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan pembunuhan terhadap dua orang pembegal.
Dia mengatakan, penyetopan proses hukum S tersebut setelah dilakukannya proses gelar perkara yang dihadiri oleh jajaran Polda dan pakar hukum.
"Hasil gelar perkara disimpulkan, peristiwa tersebut merupakan perbuatan pembelaan terpaksa. Sehingga tidak ditemukan adanya unsur perbuatan melawan hukum, baik secara formil dan materiil," kata Djoko kepada wartawan, Sabtu (16/4/2022).
Ia menjelaskan, keputusan dari gelar perkara tersebut berdasarkan peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, Pasal 30 tentang penyidikan tindak pidana bahwa penghentian penyidikan dapat dilakukan demi kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
"Peristiwa yang dilakukan oleh Amaq Sinta merupakan untuk membela diri sebagaimana Pasal 49 Ayat (1) KUHP soal pembelaan terpaksa," jelasnya.
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menambahkan, penghentian perkara tersebut dilakukan demi mengedepankan asas keadilan, kepastian dan terutama kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
"Dalam kasus ini, Polri mengedepankan asas proporsional, legalitas, akuntabilitas dan nesesitas," tutup Dedi.
Advertisement