Liputan6.com, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkap temuan baru terkait kasus Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat. Brigadir J diduga melakukan pelecehan seksual terhadap istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, di Magelang.
Temuan itu berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM yang dipaparkan oleh Komisioner Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Choirul Anam.
Baca Juga
Anam menjelaskan, dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Brigadir J terhadap Putri Candrawathi terjadi di Magelang pada 7 Juli 2022.
Advertisement
Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel, angkat bicara mengenai temuan Komnas HAM ini. Menurutnya Komnas HAM, Komnas Perempuan dan ia punya kesamaan, yakni sama-sama berspekulasi.
"Bedanya, saya berspekulasi bahwa kejadian kekerasan seksual itu tidak ada. Sementara Komnas HAM berspekulasi bahwa peristiwa itu ada. Nah, dari situ saya pertanyakan manfaat Komnas HAM melemparkan ke publik pernyataan atau simpulan bahwa kekerasan terhadap PC itu ada," kata Reza kepada Liputan6.com. Jumat (2/9/2022).
Reza mengatakan, dugaan Komnas HAM itu tidak mungkin ditindaklanjuti sebagai kasus hukum. Sebab, Indonesia tidak mengenal posthumous trial. Mendiang Brigadir J tidak mungkin bisa membela diri atas tuduhan ini.
"Jadi mendiang Brigadir J justru terabadikan dalam stigma belaka, bahwa ia adalah orang yang sudah diduga kuat oleh Komnas HAM sebagai pelaku kekerasan seksual."
Hal yang sama, kata Reza, juga berlaku untuk Putri. Betapa pun Putri mengklaim sebagai korban kekerasan seksual, dan Komnas HAM mengamininya, tetap tidak mungkin dia menerima hak-haknya selaku korban.
"Pasalnya UU mengharuskan adanya vonis bersalah terhadap pelaku agar PC nantinya bisa mendapat restitusi dan kompensasi. Masalahnya, bagaimana mungkin ada vonis kalau persidangannya saja tidak akan ada."
Reza menilai, pernyataan Komnas HAM jelas menguntungkan Putri Candrawathi. Menurutnya, Putri sekarang punya bahan untuk menarik simpati publik.
Putri juga bisa menjadikan pernyataan Komnas HAM sebagai bahan membela diri di persidangan. Termasuk membela diri dengan harapan bebas murni.
"Dari situlah kita bisa takar dalam tragedi Duren Tiga pernyataan atau simpulan Komnas HAM punya implikasi merugikan sekaligus menyedihkan bagi mendiang Brigadir J, namun menguntungkan PC," tambahnya.
Bukan Pro Justitia
Pengacara keluarga Brigadir J, Johnson Panjaitan, mengatakan, laporan dari pihaknya merupakan Pro justitia, sementara Komnas HAM bukan.
Ia juga menegaskan laporan dari Putri Candrawathi terkait pelecehan seksual sudah dihentikan, karena tidak ada tindak pidana.
"Jadi yang jalan sekarang adalah laporan kami 340. Di dalam ini semua yang katanya Scientific Crime Investigation tidak ada pelecehan seksual, bahkan sudah di SP3. Jadi kalau tiba-tiba Komnas HAM yang tidak Pro justitia memunculkan isu, saya ngomongnya isu bukan rekomendasi, pelecehan seksual dasarnya apa?" kata Johnson kepada Liputan6.com, Jumat (2/9/2022).
"Karena yang Pro justitia itu harus jelas dan rinci, dimana TKP nya? Bagaimana caranya? Apakah sudah ada pemeriksaan? Misalnya air liur, keringat, gerakan-gerakan bagaimana? Kok ujuk-ujuk ada pelecehan seksual?"
Menurut Johnson, apa yang dikatakan Komnas HAM itu terlampau menyakiti hati ibu dari almarhum Brigadir J. "Kok Brigadir J yang sudah di kuburan masih saja diadili oleh Komnas HAM yang tanpa ada dasarnya itu."
"PC itu tersangka kasus pembunuhan berencana. Secara hukum dia boleh bohong, dia boleh ingkar dan boleh merubah BAP seperti Bharada E yang dikasih 'Panggung' oleh Komnas HAM, ingatkan? Yang dia bilang jago tembak begini begitu, itu kan ternyata tidak ada."
Johnson meminta Komnas HAM untuk tidak merusak reputasi Brigadir J. Ia menegaskan Komnas HAM hanya bikin rekomendasi, bukan Pro justitia.
"Jangan malah mengadili korban. Komnas HAM didirikan untuk membela korban, bukan polisi. Apalagi membela perempuan yang sudah menjadi tersangka pembunuhan berencana," pungkas Johnson.
Advertisement
DPR: Harus Ada Visum Untuk Pembuktian
Anggota Komisi III, Jazilul Fawaid, angkat bicara terkait temuan Komnas HAM soal dugaan adanya kekerasan seksual di Magelang. Menurut dia, kinerja Komnas HAM diuji dalam penanganan kasus Brigadir J.
“Tentu Komnas HAM memiliki bukti-bukti apakah bukti keterangan atau saksi. Justru di sini Komnas HAM diuji, jangan sampai sudah menyampaikan ke publik, tiba-tiba tidak terus laporannya karena kurang bukti,” kata Jazilul kepada Liputan6.com. Jumat (2/9/2022).
Politikus PKB itu berharap laporan Komnas HAM tidak tidak asal, ataupun berpihak. “Sekarang justru dibuktikan jangan ngomong sembarangan, apalagi Komnas HAM harus ngomong berdasarkan bukti yang ada,” kata dia.
Selain itu, Jazilul menilai Polri perlu menindaklanjuti temuan Komnas HAM yang terbaru, dengan catatan ada bukti yang kuat.
“Komnas HAM melengkapi saja bukti-bukti. Peristiwa di Magelang misalnya dia punya buktinya, sampaikan pada polisi secara lengkap, kalau terjadi tindak pidana misalkan, wajib hukumnya polisi untuk menindaklanjuti untuk menyidik,” sambungnya.
Saat ini, Jazilul menilai kinerja Polri sudah tepat dan di jalan yang benar dengan berusaha mengusut tuntas kasus pembunuhan Brigadir J. Namun, ia mengingatkan jangan ada lagi upaya menutup-nutupi kasus.
“Sudah on the track, tapi jangan ada yang tutup-tutupi lagi,” kata dia.
Wakil Ketua MPR itu menilai, apabila benar laporan Komnas HAM bahwa Brigadir J melakukan kekerasan seksual pada PC, maka harus ada visum untuk membuktikannya.
“Harus ada (visum), karena kekerasan seksual itu apa sih bentuknya, kita kan engggak tahu. Apakah pemerkosaan? Kalau pemerkosaan, kapan diperkosanya? Disaksikan oleh siapa, terjadi apa di situ? Apakah memar? Mestinya ada visum. Istilahnya ada bukti yang menguatkan, kalau tidak ada, otomatis tidak bisa diproses,” pungkasnya.
Investigasi Komnas HAM
Komisioner Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Choirul Anam, menjelaskan, dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Brigadir J terhadap Putri Candrawathi terjadi di Magelang pada 7 Juli 2022.
Saat itu, Irjen Ferdy Sambo bersama dengan Putri Candrawathi berencana merayakan ulang tahun pernikahan mereka berdua sekitar pukul 00.00 WIB.
"Adanya perayaan hari ulang tahun pernikahan saudara FS dan PC pada tanggal yang sama terdapat dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Brigadir J terhadap saudari PC di mana saudara FS pada saat yang sama tidak berada di Magelang," kata Anam di Kantor Komnas HAM, Kamis (1/9/2022).
Lebih lanjut, Anam menerangkan, Kuat Maruf alias KM dan Susi alias S mengancam Brigadir J pascakejadian pelecehan seksual. Mereka berdua juga membantu Putri Candrawathi untuk masuk ke dalam kamar.
"Ancaman ini terkonfirmasi di sini kami mendapatkan informasi yang waktu itu skuat-skuat menjadi si Kuat," ujar dia.
Advertisement
Pelecehan di Magelang, Kenapa Tak Langsung Dilaporkan?
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, meyakini dugaan peristiwa kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi oleh Brigadir J sesungguhnya terjadi di Magelang pada 7 Juli 2022.
"Kami menemukan bahwa ada petunjuk-petunjuk awal yang perlu ditindaklanjuti oleh pihak penyidik baik dan keterangan P dan FS mengenai peristiwa ini," kata Andy saat jumpa pers di Kantor Komnas HAM Jakarta, Kamis (1/9/20220).
Menurut Andy, berdasarkan temuan timnya, terdapat keengganan dari yang bersangkutan untuk melaporkan kasusnya sedari awal.
Terdapat sejumlah faktor yang mendukung hal itu, seperti rasa malu, menyalahkan diri sendiri, dan takut pada ancaman pelaku, serta dampak yang mungkin mempengaruhi seluruh kehidupannya dalam kasus ini.
"Posisi sebagai istri dari seorang petinggi kepolisian pada usia yang jelang 50 tahun, memiliki anak perempuan maupun laki-laki pada ancaman dan menyalahkan diri sendiri, sehingga merasa lebih baik mati. Ini disampaikan (Putri) berkali-kali," jelas Andy.
Andy menegaskan, Komnas Perempuan pun harus berpikir ulang bahwa relasi kuasa antara atasan dan bawahan saja tidak cukup untuk serta-merta menghilangkan kemungkinan terjadinya kekuasaan.
"Hal itu sangat kompleks dan dapat dipengaruhi oleh konstruksi gender, usia, juga kekuasaan lainnya," dia menutup.