UMP 2023 Disebut Belum Menjawab Tuntutan Kebutuhan Rakyat Kecil

Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2023 sudah diketok. Meski belum semua provinsi, namun sejumlah provinsi besar di Indonesia sudah terlihat angka kenaikan terbarunya.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 29 Nov 2022, 12:35 WIB
Diterbitkan 29 Nov 2022, 12:35 WIB
FOTO: Ratusan Buruh Geruduk Balai Kota DKI Jakarta
Ratusan buruh dari FSMPI dan Perwakilan Daerah KSPI terlibat saling dorong dengan polisi di depan Balai Kota DKI Jakarta, Senin (29/11/2021). Buruh menuntut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membatalkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta 2022. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2023 sudah diketok. Meski belum semua provinsi, namun sejumlah provinsi besar di Indonesia sudah terlihat angka kenaikan terbarunya.

Menanggapi hal itu, Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menilai, kenaikan yang diketok belum cukup untuk menjangkau harga-harga kebutuhan rumah tangga yang semakin tinggi.

Sebab kenaikan UMP 2023 masih berada di dibawah nilai inflasi Januari-Desember 2022 yaitu sebesar 6,5% plus pertumbuhan ekonomi Januari -Desember yang diperkirakan sebesar 5%.

"Kenaikan UMP dan UMK di seluruh Indonesia seharusnya adalah sebesar inflasi dan pertumbuhan ekonomi di masing-masing provinsi atau kab/kota di tahun berjalan, bukan menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahunan atau Year on Year," tulis Said dalam keterangan diterima, Selasa (29/11/2022).

Said menambahkan, jika menggunakan data September 2021 ke September 2022, maka hal itu tidak memotret dampak kenaikan BBM yang mengakibatkan harga barang melambung tinggi, Sebab, kenaikan BBM terjadi pada Oktober 2022.

Said mengambil contoh kenaikan UMP DKI tahun 2023 yang diketok sebesar 5,6%. Menurut dia, angka itu tidak relevan karena ada di dibawah angka inflasi sebesar 6,5%.

"Kenaikan UMP DKI 5,6% tidak akan bisa memenuhi kebutuhan buruh dan rakyat kecil di DKI," tegas Said.

Said meyakini, seharusnya kenaikan UMP DKI tahun 2023 bisa mencapai 10,55%. Hal itu sesuai dengan yang diusulkan Dewan Pengupahan Provinsi DKI unsur serikat buruh.

 


Hitungan Buruh

Said berhitung praktis, biaya sewa rumah sebesar Rp 900 ribu, transportasi dari rumah ke pabrik (PP) dan pada hari libur dibutuhkan anggaran Rp 900 ribu.

Kemudian makan di Warteg 3 kali sehari dengan anggaran sehari Rp 40 ribu, biaya listrik Rp 400 ribu, biaya pulsa Rp 300 ribu, maka untuk kebutuhan primer satu orang akan menghabiskan Rp 3,7 juta per bulan.

"Jika upah buruh DKI Rp 4,9 juta dikurangi 3,7 juta hanya tersisa Rp 1,2 juta. Apakah cukup membeli pakaian, air minum, iuran warga, dan berbagai kebutuhan yang lain? Jadi dengan kenaikan 5,6%, maka buruh DKI akan tetap miskin," ungkap Said.

 


UMP DKI Berdampak ke Wilayah Lain

Said melanjutkan, UMP DKI yang hanya naik 5,6% mengakibatkan penyesuaian UMK (upah minimum kota/kabupaten) di seluruh Indonesia menjadi sulit untuk bisa lebih besar dari Jakarta.

Oleh karena itu, Said bersama kelompok buruh mendesak agar UMP DKI direvisi menjadi sebesar 10,55% sebagai jalan kompromi dari serikat buruh yang sebelumnya mengusulkan 13%.

"Bilamana tuntutan di atas tidak didengar, mulai minggu depan akan ada aksi besar di berbagai daerah di seluruh Indonesia untuk menyuarakan kenaikan upah sebesar 10 hingga 13%," Said memungkasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya