Liputan6.com, Jakarta - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan hakim konstitusi Saldi Isra tidak terbukti melanggar etik terkait dengan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan batas usia capres-cawapres. Meski begitu, dia tetap dikenakan sanski teguran perihal kebocoran informasi Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
“Hakim Terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sepanjang terkait pendapat berbeda (dissenting opinion),” tutur Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/12/2023).
Baca Juga
Dijaga Ketat, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan Gelar Persidangan Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol
Infografis Paslon RK-Suswono dan Dharma-Kun Tak Ajukan Gugatan Hasil Pilkada Jakarta 2024 ke MK dan Hasil Rekapitulasi Suara
Ridwan Kamil Batal Gugat Pilkada Jakarta ke MK, Golkar: Kita Kedepankan Budaya Jawa
Menurut Jimly, sanksi terhadap Saldi Isra dikenakan lantaran terbukti secara bersama-sama dengan para hakim konstitusi lainnya melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan sepanjang menyangkut kebocoran informasi rahasia RPH dan pembiaran praktik benturan kepentingan para hakim konstitusi dalam penanganan perkara.
Advertisement
“Menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif terhadap Hakim Terlapor dan Hakim Konstitusi lainnya,” kata Jimly.
Teguran Lisan 6 Hakim Konstitusi
Sebelumnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) membacakan putusan nomor 5/MKMK/L/10/2023 dengan sanski teguran lisan atas enam hakim konstitusi lantaran terbukti melanggar prinsip kepantasan dan kesopanan. Hal itu terkait bocornya informasi dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) ke media Majalah Tempo terkait hasil putusan gugatan batas usia capres-cawapres.
“Para Hakim Terlapor secara bersama-sama terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan,” tutur Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/12/2023).
“Menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif kepada para Hakim Terlapor,” sambungnya.
Jimly menyampaikan, isi dalam RPH merupakan informasi yang bersifat rahasia. Dalam upaya penelusuran, pihaknya tidak dapat menemukan siapa yang menjadi oknum hakim konstitusi yang membocorkan informasi RPH ke Majalah Tempo.
Adapun enam hakim konstitusi yang menerima sanski adalah Manahan M. P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan M Guntur Hamzah.
“Para Hakim Terlapor secara bersama-sama terbukti tidak dapat menjaga keterangan atau informasi rahasia dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang bersifat tertutup, sehingga melanggar Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, Penerapan angka 9,” jelas dia.
Praktik pelanggaran benturan kepentingan menurutnya sudah menjadi kebiasaan yang dianggap hal yang wajar. Sebab, para Hakim Terlapor secara bersama-sama membiarkan terjadinya praktik pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang nyata tanpa kesungguhan untuk saling ingat mengingatkan antar hakim.
“Termasuk terhadap pimpinan, karena budaya kerja yang ewuh pekewuh, sehingga keselaraan antar hakim terabaikan, dan praktik pelanggaran etika biasa terjadi. Dengan demikian, para Hakim Terlapor secara besama-sama terbukti melanggar Sapta Karsa Mutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, Penerapan angka 1,” ungkapnya.
Atas dasar itu, MKMK memberikan rekomendasi dalam sidang etik tersebut, yaitu Hakim Konstitusi tidak boleh membiarkan kebiasaan praktik saling pengaruh memengaruhi antar hakim dalam penentuan sikap dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang menyebabkan independensi fungsional tiap-tiap hakim sebagai sembilan pilar tegaknya konstitusi menjadi tidak kokoh, dan pada gilirannya membuka peluang untuk terjadinya pelemahan terhadap independensi struktural kekuasaan kehakiman Mahkamah Konstitusi secara kelembagaan.
Advertisement
Harus Jaga Iklim Intelektual
“Hakim Konstitusi tidak boleh membiarkan terjadinya praktik pelanggaran Kode Etik dan Perlaku Hakim Konstitusi yang nyata tanpa kesungguhan untuk saling ingat mengingatkan antar hakim, termasuk terhadap pimpinan, karena budaya kerja yang ewuh pekewuh, sehingga prinsip kesetaraan antar hakim terabaikan, dan praktik pelanggaran etika biasa terjadi,” katanya.
“Hakim Konstitusi harus menjaga iklim intelektual yang sarat dengan ide-ide dan prinsip-prinsip pencarian kebenaran dan keadilan konstitusional yang hidup berdasarkan nurani yang bersih dan akal sehat yang tulus untuk kepentingan bangsa dan negara, tercermin dalam penulisan pendapat-pendapat hukum, dan dalam permusyawaratan dan perdebatan substantif di antara para hakim untuk menemukan kebenaran dan keadilan konstitusional yang hidup itu sebagaimana mestinya,” Jimly menandaskan.