Kisah di Balik Lahirnya Kretek Indonesia, dari Ramuan Obat hingga Industri

Pembakaran dari kulit jagung tersebut menghasilkan bunyi "keretek" atau "kemretek" yang melahirkan istilah kretek.

oleh Ika Defianti diperbarui 15 Nov 2023, 18:45 WIB
Diterbitkan 13 Nov 2023, 01:55 WIB
Kretek
Mengenal Sejarah Kretek di Indonesia (Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Puluhan pekerja gesit melakukan pekerjaannya di sebuah pabrik kretek di Megawong, Kudus, Jawa Tengah. Ada yang menggiling tembakau, melinting dengan kertas papir, merapikan batang rokok, hingga proses merapikan ke kemasan. 

Prosesnya pun masih menggunakan alat tradisional. Rata-rata para pekerja merupakan para ibu rumah tangga. Pabrik milik Kusmanto ini masih baru dan baru mulai produksi pada September 2020 atau saat pandemi Covid-19.

Awalnya, dia merupakan penjual tembakau kurang lebih 10 tahun. Lalu dikembangkan menjadi produksi kretek. Bahkan saat ini jumlahnya karyawan nya mencapai 150 orang.

"Berjalannnya waktu ada peningkatan terus. Satu tahun, dua tahun, kita pemasaran alhamdulillah tahun ketiga kita sudah sekitar 150 karyawan kita. Sambil berjalan, dari bawah kita. Pemasaran alhamdulillah sudah merata," kata Kusmanto kepada Liputan6.com.

Saat ini penjualan dari kretek miliknya sudah sampai ke beberapa provinsi di Sumatera. Bahkan untuk penjualan paling tinggi yakni di Jabodetabek. 

Sementara itu serial Gadis Kretek yang diadaptasi dari novel karya Ratih Kumala jadi bahan perbincangan masyarakat beberapa pekan terakhir. Serial yang dibintangi Dian Sastrowardoyo, Ario Bayu, dan Putri Marino, yang tayang di Netflix itu juga banjir pujian. Serial tersebut mengisahkan perjalanan industri kretek di sebuah kota di Jawa Tengah pada tahun 1960-an. 

Lantas, bagaimana dengan sejarah kretek di Indonesia?

Berdasarkan ringkasan buku Hikayat Kretek karya sejarawan Amen Budiman dan Onghokham, nama Haji Jamhari disebut-sebut sebagai penemu dan produsen rumahan bawal rokok kretek di Kudus, Jawa Tengah, sekitar akhir abad ke-19. Penemuan kretek sendiri dapat dikatakan sebagai kebetulan.

Saat itu, Jamhari merasakan sesak di dada. Berbagai cara ia lakukan untuk meredakan rasa sakitnya. Misalnya, dengan mencoba menggosokkan minyak cengkeh di bagian dada dan pinggang. Lalu ia mencoba mengunyah cengkeh dan sakit yang dirasakannya mulai membaik. 

Jamhari juga mencoba menggunakan rempah-rempah yang ada sebagai obat. Yaitu dengan cara potongan cengkeh dioplos dengan tembakau menggunakan kulit jagung kering (klobot) kemudian diikat, dan dibakar. Asap yang diisapnya pun masuk ke paru-paru. 

Pembakaran dari kulit jagung tersebut menghasilkan bunyi "keretek" atau "kemretek" yang melahirkan istilah kretek. Informasi mengenai hal yang dilakukan Jamhari langsung menyebar di wilayah Kudus. Para tetangga beramai-ramai ingin mencoba kretek buatan Jamhari.

Akhirnya Jamhari mendirikan perusahaan kecil untuk pembuatan kretek tersebut. Awalnya perdagangan kretek milik Jamhari hanya beredar di kawasan Kudus dan sekitarnya saja. Jamhari meninggal sekitar tahun 1880 dan menjadi patokan perkiraan industri kretek di Kudus dimulai.

Setelah itu, ada nama lain yang juga melegenda untuk tradisi kretek di Kudus, yaitu Nitisemito pada awal abad XX. Awalnya ia merintis usaha rokok berbungkus klobot namun bukan kretek. Beberapa nama telah dicoba dan dianggap aneh hingga akhirnya tercetus logo tiga lingkaran. 

Para penikmat kretek milik Nitisemito secara beragam menyebut logo tersebut dengan "tiga lingkaran", ada yang menyebut "tiga bola" atau "Bal Tiga". Dengan merek tersebut, usaha kretek produksi Nitisemito mendapat izin resmi dari Pemerintah Hindia-Belanda.

Museum Kretek Didirikan

Untuk menunjukkan bahwa kretek berkembang sangat pesat di tanah Jawa, khususnya di Kudus, akhirnya Museum Kretek dibangun. Museum Kretek didirikan pada 1986 atas prakarsa Soepardjo Rustam, Gubernur Jawa Tengah saat itu. Kala itu, ia berkunjung ke Kudus dan melihat potensi besar perusahaan kretek yang mampu menggerakkan perekonomian masyarakat.

Museum Kretek Kudus berlokasi di Jalan Getas Pejaten, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus. Museum ini merupakan satu-satunya museum kretek di Indonesia.

"Museum Kretek ini sebenarnya adalah untuk melestarikan sejarah kretek. Jadi kretek itu dimulai pada tahun 1880-an, bagaimana ceritanya, bagaimana peradabannya, sampai saat ini direkam di Museum Kretek," kata pengelola Museum Kretek, Novi Hidayati kepada Liputan6.com.

Mengutip dari visitjawatengah.jatengprov.go.id, museum ini menyimpan beragam koleksi yang mengisahkan tentang perkembangan kretek di tanah Jawa. Selain itu, museum ini juga menjadi lokasi shooting serial Gadis Kretek.

Museum ini menyimpan setidaknya 1.195 koleksi tentang sejarah kretek. Berkunjung ke Museum Kretek Kudus membuat pengunjung dapat mempelajari banyak hal, seperti kiprah Nitisemito yang mendirikan Pabrik Rokok Bal Tiga, melihat dokumen-dokumen perusahaan pada waktu itu, melihat alat-alat pembuatan rokok secara tradisional maupun modern, diorama jenis-jenis tembakau cengkeh, diorama pembuatan rokok di pabrik, dan lainnya.

Selain itu, di sekitar komplek museum juga terdapat beberapa miniatur bangunan cagar budaya, seperti Oemah Kembar Nitisemito. Konon, Oemah Kembar Nitisemito menjadi saksi bisu kejayaan Sang Raja Kretek Nitisemito.

Selain itu, ada juga miniatur Masjid Wali Loram Kulon dengan gapura padureksan yang sungguh ikonik. Ada juga Rumah Adat Kudus Joglo Pencu yang memadukan arsitektur budaya Jawa (Hindu), Persia (Islam), China (Tionghoa) dan Eropa (Belanda).

Budaya Asli Indonesia dari Berbagai Inovasi Masyarakat

Model Kebaya Para Pemain Gadis Kretek.
Serial Gadis Kretek yang diadaptasi dari novel karya Ratih Kumala jadi bahan perbincangan masyarakat beberapa pekan terakhir. [@netflixid]

Dalam buku Kretek Pustaka Nusantara oleh Thomas Sunaryo disebutkan, masyarakat Nusantara sebelumnya memiliki tradisi mengunyah pinang. Sedangkan tradisi mengisap tembakau merupakan adopsi dari masyarakat Barat dan kemudian dilokalkan dengan menambahkan berbagai macam saus dan cengkeh.

Sehingga, kata Sunaryo, menghasilkan produk dan adat kebiasaan yang sama sekali baru dan tidak dijumpai di mana pun, termasuk di masyarakat Eropa dan pada masyarakat asli Kepulauan Karibia dan daratan Amerika sebagai asal kebiasaan tersebut.

"Masyarakat Nusantara pun lambat laun mengadopsi kebiasaan merokok dari para bangsawan dan penjajah. Beberapa sumber sejarah menyatakan bahwa laporan dari para utusan VOC mengisahkan bahwa Sultan Agung pun mengisap rokok menggunakan pipa," kata Sunaryo.

Lanjut dia, berdasarkan sumber lokal Babad Ing Sangkala, disebutkan jika para bangsawan Jawa sudah mengkonsumsi rokok tembakau pada masa pemerintahan Senopati di Kerajaan Mataram Islam. Kemudian oleh masyarakat bawah dan priyayi mengembangkan kebiasaan mengisap rokok dengan mencampurnya dengan beberapa unsur perasa dan aroma lokal yang ada.

Misalnya yaitu uwur, klembak, menyan hingga cengkeh. Sunaryo menilai hal tersebut dapat dimaknai sebagai awal lahirnya sebuah kebiasaan asli dan baru masyarakat. 

"Hal ini tidak aneh dikarenakan masyarakat agraris yang sebelah kakinya telah melangkah ke dalam alam industri ini, seperti kita ketahui bersama, masih berada pada masa kesadaran mistis. Bahwa kebiasaan membakar rokok klembak, dupa, menyan hingga opium sudah menjadi salah satu hal yang wajib bagi masyarakat dalam pelaksanaan ritual spiritual Kejawen, misalnya bagi sebagian masyarakat Jawa," papar dia.

Dia menambahkan, "Sesajen berupa rokok kretek dan minuman favorit seperti kopi atau teh untuk mendoakan ketenangan bagi leluhur atau orang tua yang sudah meninggal biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur."

Infografis Journal Kretek
Infografis Journal Cerita Lahirnya Istilah Kretek. (Liputan6.com/Triyasni)

Tradisi Ratusan Tahun

Sunaryo juga menyebut jika kebiasaan merokok sudah menjadi tradisi selama ratusan tahun yang biasa dilakukan ketika mereka berkumpul hingga beristirahat.

"Dengan demikian, tradisi merokok kretek dapat disebut sebagai adat kebiasaan, atau kebudayaan asli Nusantara atau Indonesia. Dengan asumsi, beberapa di antaranya adalah bahwa rokok kretek mungkin lebih cocok dikonsumsi di daerah kepulauan tropis," ujar dia.

Sunaryo menyebut sebelum tahun 1928, rokok kretek hampir seluruhnya menggunakan pembungkus dari kulit jagung kering. Kata dia kretek yang dibungkus klobot, adalah khas Indonesia. Bahkan, saat ini kretek berbungkus klobot masih tetap diproduksi dan dikonsumsi, khususnya bagi masyarakat pedesaan di Jawa.

Hingga tahun 1970-an, lanjut Sunaryo, kretek masih dianggap sebagai konsumsi kalangan bawah. Sedangkan yang membedakan kretek dengan jenis rokok lain adalah kandungan cengkeh dan unsur rempah alamiah di dalamnya.

"Bila rokok putih yang berasal dari Barat, hanya mengandung tembakau, kretek merupakan produk hasil racikan tembakau dengan potongan cengkeh, serta tambahan saus. Racikan seperti inilah yang menjadikan rokok kretek memiliki rasa dan aroma yang berbeda dari jenis sigaret lain," imbuhnya.

Sunaryo menyebut, terdapat sejumlah tradisi yang khas di masyarakat dalam menikmati kretek. Salah satunya dengan cara mengolesi kopi. Untuk kebiasaan tersebut masih mudah ditemukan di pedesaan, yang dipercaya menambah aroma kopi pada cita rasa kretek. 

"Di Rembang misalnya, banyak warga sangat trampil mengukir batang kretek dengan ampas kopi, sebagai kriya kesenian rakyat. Dalam sebatang kretek bisa terkandung belasan jenis tembakau dari seluruh pelosok Indonesia," Sunaryo menjelaskan.

Komunitas Kretek Ingin Mempertahankan Kretek

Kisah (Nyaris) Terlupakan Raja Kretek Nitisemito
Tak banyak yang tahu kisah raja kretek yang satu ini. Begini ceritanya

Komunitas Kretek Indonesia terbentuk sekitar tahun 2010 dan fokus untuk membela hak-hak konsumen rokok. Sebab, terdapat sejumlah regulasi pemerintah yang dianggap merugikan konsumen. 

Sekjen Komunitas Kretek Indonesia, Aditia Purnomo, menyebut salah satunya yakni ketakutan akan hilangnya kretek akibat regulasi pemerintah. Mengingat kretek merupakan khas dari Indonesia.

"Selain mengadvokasi konsumen kita juga ngomongin banyak hal tentang kretek dan salah satunya perjuangan untuk mempertahankan kretek," kata Aditia kepada Liputan6.com.

Aditia juga menyebut, kretek tidak lepas dari masyarakat dan budaya Indonesia. Setiap wilayah memiliki tradisi masing-masing terkait kretek, misalnya di Temanggung, yang memiliki tradisi tersendiri ketika panen tembakau. 

Atau bahkan beberapa daerah di Indonesia masih menggunakan bungkus rokok sebagai undangan. Hingga penggunaan rokok dalam pernikahan.

"Kalau ngomongin kretek sebagai kebudayaan, ini mungkin bukan kebudayaan yang orang bayangkan, ketika orang pakai batik dan sebagainya. Enggak kayak gitu. Tapi kebudayaan ini dalam arti kretek itu sendiri hidup bersama masyarakat, ada bersama masyarakat, dalam kegiatan-kegiatan sosial yang masyarakat lakukan," ucap dia.

Lalu komunitas tersebut juga sering kali melakukan edukasi kepada para konsumen agar tidak ada permasalahan terkait rokok di kemudian hari.

"Karena saya pikir, masing-masing orang punya hak baik itu perokok maupun yang tidak merokok ya. Kalau persoalannya cuma itu, tinggal kemudian orang-orang yang merokok memang dibuatkan ruang merokok saja dan itu kami pikir masalahnya akan selesai," ujar Aditia.

Awalnya Berkembang di Wilayah Kudus Bagian Barat

Gapri 19 Sept
Ilustrasi kretek

Sejarawan dari Kudus, Edy Supratno mengatakan orang Belanda yang menyebut Haji Jamhari penemu kretek pertama kali. Yakni seorang peneliti bernama Van Derradden. Sejak saat itu Kudus dikenal sebagai tempat lahirnya kretek.

Awalnya penemuan kretek juga tidak sengaja oleh Jamhari untuk mengobati rasa sakit dadanya atau asma. Namun dari kegiatan yang tidak sengaja tersebut akhirnya digeluti oleh para warga Kudus bagian barat dan menjadi bisnis yang besar.

Setelah ada satu nama legenda kretek yang kemudian jadi besar yaitu Nitisemito. Sebelum sebagai pemilik industri kretek, Nitisemito hanyalah pedagang pada umumnya. Namun industri kretek miliknya akhirnya menjadi besar dengan memiliki belasan ribu pegawai atau buruh untuk bekerja di perusahaan milik Nitisemito yang bernama Baltiga.

"Jadi awal mula kretek di Kudus itu digeluti oleh orang-orang Kudus kulon (barat) yang pada umumnya adalah bertitel haji. Karena itu ini digeluti orang-orang Islam yang tadi sebagian besar adalah anggota Sarekat Islam (SI)," kata Edy kepada Liputan6.com.

Namun setelah permintaannya tinggi masyarakat Kudus Wetan atau bagian timur mulai dari Kali Gelis ikut menggeluti bisnis kretek. Warga Kudus wetan didominasi oleh warga Tionghoa yang lebih paham secara pengelolaan dan manajemen jika dibandingkan dengan masyarakat Kudus kulon.

"Sehingga ini membuat saat ini industri kretek, terutama yang di Kudus itu sebagian besar, atau yang eksis itu adalah orang-orang Kudus Wetan. Sumbernya tadi, secara manajemen mereka lebih maju dibandingkan orang Kudus Kulon," ucapnya.

Edy juga menyebut kretek juga menjadi kebudayaan masyarakat Indonesia khususnya Pulau Jawa. Sebab dari rasa sudah berbeda karena terdapat cengkeh didalamnya. Lalu bermuculan pabrik kretek di Kudus yang semula skalanya 5-6 orang, di rumah-rumah sederhana, kemudian berkembang menjadi pabrik-pabrik besar. 

Hal tersebut kata dia, menunjukkan bahwa kretek dapat diterima oleh masyarakat luas tak hanya wilayah Kudus.

"Kebudayaannya apa saja, kebudayaannya adalah produksinya dari meliputi awal pembuatan sampai nanti penjualan dan sampai penikmat dari kretek itu sendiri. Kapan? Ya bagi mereka tidak ada waktu khusus untuk merokok, senantiasa bisa menikmati itu. Itu budaya yang sudah dibangun di Jawa tadi. Sampai saat ini," Edy menjelaskan.

Infografis Journal Kretek
Infografis Journal Sejarah Kretek di Indonesia. (Triyasni/Liputan6.com)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya