7 Respons Sejumlah Pihak Usai Munculnya Wacana Amandemen UUD 1945 Terkait Pemilihan Presiden oleh MPR

Belum lama ini, Ketua MPR 1999 - 2004 Amien Rais mengusulkan amendemen UUD NRI Tahun 1945 dan pemilihan presiden lewat MPR.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 10 Jun 2024, 15:00 WIB
Diterbitkan 10 Jun 2024, 15:00 WIB
Pemandangan Indah Air Mancur Warna-warni Hiasi Gedung DPR
Deretan lampu warna-warni yang diletakan di bawah kolam air mancur tampak menghiasi area lobi utama Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Rabu (18/7). Lampu warna-warni ini dipasang untuk menyambut HUT ke-73 RI. (Lipputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Belum lama ini, Ketua MPR 1999 - 2004 Amien Rais mengusulkan amendemen UUD NRI Tahun 1945 dan pemilihan presiden lewat MPR. Amien Rais mengusulkan hal adanya Amandemen UUD 1945 itu setelah merasa bahwa pelaksanaan demokrasi saat ini merosot jauh.

Usai munculnya wacana tersebut, sejumlah respons pun disampaikan beberapa pihak. Salah satunya Sekjen PAN Eddy Soeparno. Dia berpandangan yang harus dilakukan adalah perbaikan menyeluruh pada sistem pemilu, penegakan hukum yang konsisten dan pengawasan, bukan tiba-tiba mengubah atau melakukan amandemen.

"Yang harus dilakukan meningkatkan kualitas demokrasi dengan memperbaiki secara menyeluruh sistem pemilu, tegakkan aturan secara konsisten dan perkuat pengawasan. Bukan tiba-tiba melakukan amandemen mengubah sistemnya," kata Eddy dalam keterangannya, Sabtu 8 Juni 2024.

Selain itu, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Bambang Soesatyo (Ketua MPR RI Bamsoet) menegaskan bahwa pimpinan MPR belum memutuskan adanya Amandemen UUD 1945. Hal ini disampaikan Bamsoet usai bertemu dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.

"Yang pertama tidak ada ucapan yang disampaikan dari kami pimpinan bahwa kita sudah memutuskan untuk amandemen, tidak ada. Apalagi merubah sistem pemilihan presiden di MPR," kata Bamsoet di Kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, Sabtu 8 Juni 2024.

"Yang ada adalah kami berkunjung menyampaikan berbagai aspirasi yang kami terima," sambungnya.

Berikut sederet respons sederet respons sejumlah pihak usai munculnya wacana Amandemen UUD 1945 terkait pemilihan presiden oleh MPR dihimpun Liputan6.com:

 

1. Sekjen PAN Tolak Wacana Amandemen UUD 1945

Sekjen PAN, Eddy Suparno (Nur Habibie/Merdeka.com)
Sekjen PAN, Eddy Suparno (Nur Habibie/Merdeka.com)

Wacana amandemen UUD 1945 kembali bergulir, khususnya perubahan mekanisme pemilihan presiden kembali dipilih MPR.

Merespons hal itu, Sekjen PAN Eddy Soeparno berpandangan yang harus dilakukan adalah perbaikan menyeluruh pada sistem pemilu, penegakan hukum yang konsisten dan pengawasan, bukan tiba-tiba mengubah atau melakukan amandemen.

"Yang harus dilakukan meningkatkan kualitas demokrasi dengan memperbaiki secara menyeluruh sistem pemilu, tegakkan aturan secara konsisten dan perkuat pengawasan. Bukan tiba-tiba melakukan amandemen mengubah sistemnya," kata Eddy dalam keterangannya, Sabtu 8 Juni 2024.

Menurut Eddy, saat ini demokrasi tengah tarung bebas melahirkan pragmatisme terutama berkaitan dengan politik uang.

"Untuk memenangkan kursi legislatif dan eksekutif, bahkan pemilihan kepala desa, para kontestan harus merogoh kocek yang semakin dalam, agar memastikan mereka terpilih," ucap dia.

"Politik uang membuat beberapa pemilih tidak peduli gagasan visi, misi atau gagasan calonnya. Yang mereka pedulikan adalah calon yang memberikan uang dengan jumlah terbesar maka dialah yang paling layak mendapatkan suara," lanjut Eddy.

Melihat fenomena demokrasi biaya mahal ini, Eddy mengajak semua pihak untuk melakukan perbaikan pada sistem demokrasi yang lebih substansial dan tidak terjebak pada prosedural semata.

"Yang perlu dilakukan adalah memperbaiki, bukan menggantinya dengan sistem yang lain,” lanjutnya.

Eddy juga mengajak semua pihak melakukan edukasi politik kepada masyarakat bahwa suara mereka lebih berharga dari sekedar amplop atau sembako yang dibagikan seorang calon.

"Pendidikan politik ini agar masyarakat memilih karena gagasan dan konsep, bukan iming-iming hadiah. Bagaimanapun pendidikan politik adalah tanggung jawab kita bersama sebagai insan politik atau kontestan di dalam pemilihan jabatan publik," terangnya.

Eddy juga tak lupa mengajak partai politik untuk bersama-sama merawat demokrasi agar perjuangan Reformasi 1998 tetap terjaga dan tidak sia-sia.

"Kita sebagai bangsa telah sepakat bahwa demokrasi adalah sistem bernegara yang kita jalankan, karena memberikan kedaulatan bagi setiap warga negara untuk memilih pemimpin atau wakilnya secara langsung. Mari kita perbaiki terus menerus agar demokrasi kita semakin berkualitas," pungkas Eddy.

 

2. Partai Demokrat Masih Mengkaji

Syarief Hasan Sebut Demokrat Belum Tentukan Pilihan di Pilgub DKI-Jakarta- Faizal Fanani-20170306
Syarief Hasan menjelaskan pleno tertutup di DPP Partai Demokrat yang digelar selama tiga jam tersebut belum membahas dukungan partai di Pilgub DKI, Jakarta, Senin (6/3). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Partai Demokrat tengah mengkaji rencana sistem pemilihan presiden dipilih kembali oleh MPR, melalui amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

Hal itu disampaikan Sekjen Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya, menanggapi pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo yang mengkliam seluruh fraksi sepakat amandemen UUD 1945.

"Sampai saat ini kami masih terus mengkaji dan untuk mempelajari positif dan dampak yang musti kita waspadai ini. Tentu sedang dibicarakan di internal Partai Demokrat tentu melibatkan petinggi Partai Demokrat," kata Riefky, kepada wartawan, di kawasan Jakarta, Minggu 9 Juni 2024.

Dia menegaskan, hingga saat ini belum ada arahan dari petinggi Partai Demokrat terkait rencana amandemen UUD 1945. Sebab, partai berlambang mercy itu terus mengkaji setiap perubahan konstitusi.

"Belum (ada arahan), tentu kita akan kaji setiap perubahan-perubahan dari konstitusi kita," jelas Riefky.

Senada, Penasihat Fraksi Partai Demokrat DPR RI Sjarifuddin Hasan turut mengomentari perihal sistem pemilihan presiden dikembalikan oleh MPR lewat amendemen UUD 1945.

Hal itu disampaikan mantan Ketua Ketua MPR 1999-2004, Amien Rais usai bertemu dengan pimpinan MPR di kompleks parlemen pada Rabu 5 Juni 2024. Menurut Syarifuddin Hasan, Pemilihan Presiden (Pilpres) dipilih langsung oleh rakyat merupakan hak demokrasi dan kedaulatan rakyat.

"Presiden dipilih langsung oleh rakyat merupakan hak demokrasi dan kedaulatan rakyat untuk memilih langsung pemimpinnya," kata Syarifuddin Hasan saat dihubungi, Jumat 7 Juni 2024.

Sehingga, yang perlu dilakukan evaluasi itu disebutnya yakni soal batasan President Threshold serta Pemilihan Legislatif (Pileg) hingga Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

"Yang perlu dievaluasi adalah batasan President threshold dan evaluasi sistem Pileg terbuka atau tertutup dan juga Pilkada," pungkasnya.

 

3. PKB Singgung Pemilihan Presiden Lewat MPR

Pimpinan MPR RI Sambangi Markas PKB
Selain bersilaturahmi, pimpinan MPR RI juga ingin mendengar masukan dari Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin terkait sejumlah isu kebangsaan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, menyatakan mendukung wacana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang belakangan ramai disampaikan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR).

Cak Imin juga menyinggung perlunya mengembalikan kewenangan pemilihan presiden kepada MPR RI. Awalnya, ia menyinggung pemilihan presiden di Amerika Serikat yang tidak dilakukan langsung seperti di Indonesia, melainkan pemilihan di tingkat distrik.

"Oleh karena itu terhadap usulan adanya pemilihan presiden dikembalikan kepada MPR adalah bagian dari masukan penting agar proses pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak mudah dimanipulasi," kata Cak Imin pada wartawan, Sabtu 8 Juni 2024.

Meski demikian, Cak Imin mengingatkan pemilihan tetap mengutamakan suara rakyat. Sebab, rakyat harus memiliki hak untuk menentukan pilihan tanpa adanya politik uang.

"Bagaimana posisi pemilihan bisa kita belajar dari negara-negara demokrasi yang tua seperti USA, sehingga mekanismenya akan tidak seliberal ini dan tidak se-money politics ini, itu perlu kita lakukan penyempurnaan di tingkat konstitusi maupun di tingkat UU," ucapnya.

Selain terkait pemilihan langsung, Cak Imin juga menyebut hal dalam amandemen UUD 1945 yang patut dipertimbangkan juga adalah pembatasan kewenangan presiden.

"Misalnya, pembatasan kewenangan presiden. Tidak mungkin akan lahir undang-undang lembaga kepresidenan karena undang-undang lembaga kepresidenan itu adalah yang membuat presiden," kata dia.

"Sehingga dibutuhkan pengaturan pembatasan kewenangan presiden yang tidak terbatas itu dengan menyempurnakan pasal-pasal tentang presiden, misalnya itu, contoh saja," pungkas Cak Imin.

 

4. Pesan NasDem soal Amandemen UUD 1945

nasdem
Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai NasDem Willy Aditya. (Liputan6.com/Ady Anugrahadi).

Ketua DPP Partai NasDem, Willy Aditya mengungkap sikap sang Ketua Umum Surya Paloh soal wacana pemilihan presiden kembali melalui MPR lewat Amendemen UUD 1945 yang diungkap oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet).

Willy mengatakan Paloh dan NasDem mengingatkan agar tidak bermain-main dengan hal yang fundamental dalam sistem kenegaraan.

"Kami sudah riset kemarin, fraksi MPR kemarin baru dipresentasikan ke Pak Surya. Pak Surya bilang 'lanjutkan ini saja, jangan berhenti di sini'. Jadi, NasDem benar-benar hati-hati, bahkan mempelopori, jangan main-main untuk hal ini. Pak Surya pesannya itu," kata Willy kepada wartawan di DPP NasDem, Jakarta Pusat, Kamis 6 Juni 2024.

Dia menyebut wacana amendemen konstitusi haruslah disikapi secara objektif. Dia kemudian menyoroti empat kali amendemen pada 1999-2002 silam.

"Ya jangan muka buruk lalu kaca atau cermin dibelah, inikan kritik empirical process ini, ini jebakan batman. Kita harus belajar secara objektif, bagaimana amendemen empat kali itu karena ekstrimitas berpikir yang empirik," kata Willy.

Dia menuturkan, kini NasDem tengah melakukan riset perihal isu yang tengah ramai tersebut. Dia menekankan pentingnya dialog dalam merespons dan mendiskusikan mengenai hal itu.

Menurut Willy, demokrasi memang bukanlah sistem yang sempurna. Namun bukan berarti harus mengganti sistem jika pada praktiknya demokrasi mengandung brutalitas dan banalitas.

"Ini kan dulu yang kita tolak ini kan rame-rame dengan spiritnya demokratik. Demokrasinya yang seperti apa? Ternyata yang sekarang brutalitasnya yo semua orang ternyata gamang gitu, sopir-sopirnya pada gamang. Tapi kegamangan ini kemudian tidak harus set back gitu, enggak," ucap dia.

"Itu aja jadi catatan, apa beda antara progresif dengan fundamentalis. Fundamentalis lalu meromantisir hal yang lama gitu. Padahal di masanya itu juga ditolak," pungkas Willy.

 

5. Kata Ketua DPD RI

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. (Istimewa)
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. (Istimewa)

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai, pernyataan mantan Ketua MPR periode 1999-2004, Amien Rais yang menyesalkan dan meminta maaf atas amandemen konstitusi 1999-2002, jadi momentum untuk mempercepat terwujudnya visi Presiden terpilih Prabowo Subianto, untuk kembali ke Pancasila.

Senator asal Jawa Timur itu bersyukur telah timbul kesadaran atas gagasan yang selama ini digaungkan, bahkan menjadi keputusan lembaga di DPD RI agar bangsa ini kembali menjalankan sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa, yang kemudian disempurnakan dan diperkuat, agar tidak mengulang penyimpangan yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru.

"Saya bersyukur gagasan agar bangsa ini membangun konsensus nasional kembali kepada UUD 1945 naskah asli telah menjadi kesadaran bersama. Pernyataan Pak Amien Rais yang menyesalkan terjadinya amandemen konstitusi yang kebablasan itu, harus dijadikan momentum untuk mempercepat terwujudnya visi presiden terpilih, Pak Prabowo untuk kembali ke Pancasila," kata LaNyalla, dalam keterangan resminya, Kamis 6 Juni 2024.

Sebagai salah satu tokoh yang terus menyuarakan hal tersebut, LaNyalla menilai mendukung penuh visi Prabowo untuk kembali kepada Pancasila. Sebab, selain sebagai norma hukum tertinggi, Pancasila juga harus menjadi identitas konstitusi dan bernegara. Di dalam visinya, Prabowo menuliskan bahwa ‘Pancasila adalah pemersatu bangsa, ideologi dan falsafah bangsa yang harus kita jaga ke depan’.

LaNyalla juga mengapresiasi Amien Rais yang memberikan penilaian jujur tentang imbas negatif amandemen konstitusi.

"Saya apresiasi Pak Amien Rais yang dengan jujur mengakui bahwa amandemen Konstitusi pada tahun 1999-2002 telah kebablasan, sehingga Indonesia seperti tercerabut dari akar budayanya sendiri. Menjadi bangsa lain. Karena meninggalkan rumusan para pendiri bangsa," tutur LaNyalla.

Dijelaskan LaNyalla, Amerika melakukan Amandemen 27 kali dengan addendum. Begitu juga India, 104 kali dengan addendum. Sehingga tidak mengganti sistem bernegaranya. Sedangkan Indonesia, amandemen di tahun 1999-2002 dilakukan dengan mengganti 95 persen lebih isi pasal-pasal, dan menghapus bab penjelasan. Sehingga sistem bernegara berganti. Dan tidak lagi derivatif (nyambung) dengan naskah pembukaan konstitusi.

Lebih runyam lagi amandemen saat itu tanpa disertai naskah akademik. Bukti ini bisa dilihat dari kesimpulan yang disampaikan komisi konstitusi bentukan MPR sendiri, maupun pernyataan beberapa anggota MPR saat itu, termasuk yang belakangan viral videonya ibu Khofifah yang saat itu menjadi anggota MPR dan mengakui bahwa amandemen saat itu tergesa-gesa dan tanpa kajian akademik.

"Jadi intinya tetap perlu dilakukan amandemen, tapi dengan addendum, setelah kita kembali ke UUD 1945 naskah asli, karena memang konstitusi asli tersebut masih harus disempurnakan. Tentu selain dengan mengadopsi semangat reformasi, juga harus dilakukan penguatan peran kedaulatan rakyat yang hakiki. Itulah yang diusulkan dalam Lima Proposal Kenegaraan yang dibuat DPD RI, menyusul keputusan Sidang Paripurna DPD RI 14 Juli 2023," tambahnya.

Dengan kembali ke sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa, maka sistem perekonomian juga akan lebih berkeadilan. Sehingga kemakmuran bisa lebih cepat diwujudkan. Karena hambatan kemakmuran adalah ketidakadilan.

"Teorinya sudah jelas, tanpa keadilan, kemakmuran rakyat adalah angan-angan. Jadi keadilan sosial adalah inti dari tujuan negara," pungkasnya.

 

6. Penegasan Wakil Ketua MPR RI

Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah (Ahda Bayhaqi/Merdeka.com)
Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah (Ahda Bayhaqi/Merdeka.com)

Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah memastikan, MPR dilarang untuk melakukan aktivitas konstitusional kelembagaan termasuk untuk merubah UUD 1945 sebelum enam bulan masa jabatan atau masa bakti berakhir.

"Sekarang menuju 1 Oktober, kita sudah tinggal kurang empat bulan, jadi sudah kurang dari 6 bulan. Maka sudah pasti MPR tidak dapat merubah konstitusi dalam periode sekarang ini," ujar Basarah.

Kemudian, terkait dengan adanya aspirasi masyarakat itu datang dari tiga kelompok. Salah satunya mengatakan perubahan UUD 1945 di periode 1999 sampai 2002 itu kebablasan.

"Maka mereka mengatakan tidak layak lagi Undang-Undang Dasar 1945 ini disebut sebagai Undang-Undang Dasar 1945, karena perubahan yang sangat fundamental. Maka mereka mengatakan ini undang-undang tahun 2002 bukan undang-undang 1945, lalu reaksinya mereka mengusulkan agar kembali kepada undang-undang dasar yang asli," kata Basarah.

Lalu, kelompok masyarakat berikutnya yang mengatakan bahwa UUD 1945 ini sudah cukup baik. Tetapi, mengingat dinamika masyarakat diperlukan beberapa perubahan-perubahan, dalam hal ini mereka menyebut amandemen ke-5.

"Satu di antaranya teman-teman DPD RI yang mengusulkan tentang positioning DPD RI dalam kelembagaan legislatif di kamar Parlemen Indonesia. Terakhir, berkembang usulan yang mengatakan bahwa bangsa ini perlu kembali memiliki apa yang dulu di zaman Bung Karno disebut pembangunan konsep," katanya.

"Pembangunan nasional semesta berencana di zaman Pak Harto disebut garis-garis besar daripada haluan negara dan di era Pak Bamsoet memimpin MPR sekarang melalui badan pengkajian diusulkan adanya pokok-pokok haluan negara. Kembali wewenang itu dimiliki MPR," sambungnya.

Selanjutnya, untuk UUD ini disebutnya sudah cukup baik. Sehingga, hanya tinggal butuh pelaksanaannya saja.

"Nah MPR fungsinya, karena undang-undang dasar kami sadari dia merupakan visi berbangsa dan bernegara kita. Sehingga merubahnya tentu berbeda dengan kamar DPR untuk merevisi undang-undang. Karena undang-undang dasar ini menyangkut tentang bangsa bernegara," kata Basarah memungkasi.

 

7. Bamsoet Tegaskan MPR Belum Putuskan Amandemen

Pimpinan MPR RI Sambangi Markas PKB
Berkunjung ke markas PKB, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo ditemani Ahmad Basarah dan Fadel Muhammad. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan bahwa pimpinan MPR belum memutuskan adanya amandemen UUD 1945. Hal ini disampaikan Bamsoet usai bertemu dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.

"Yang pertama tidak ada ucapan yang disampaikan dari kami pimpinan bahwa kita sudah memutuskan untuk amandemen, tidak ada. Apalagi merubah sistem pemilihan presiden di MPR," kata Bamsoet di Kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, Sabtu 8 Juni 2024.

"Yang ada adalah kami berkunjung menyampaikan berbagai aspirasi yang kami terima," sambungnya.

Aspirasi itu seperti adanya permintaan usulan amandemen terbatas untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dengan menambah dua ayat di dua pasal Undang-Undang Dasar.

"Yang kedua amandemen atau kajian amandemen secara menyeluruh untuk melakukan penyempurnaan, yang ketiga kembali ke Undang-Undang Dasar sesuai dengan dekret Presiden 5 Juli 59 beserta penjelasan dan terakhir lagi kemudian aspirasi kembali undang-undang dasar yang asli dan perubahannya melalui adendum," ujarnya.

"Nah yang terakhir tidak perlu amandemen, karena Undang-Undang Dasar kita hari ini sudah sesuai dan masih cocok," sambungnya.

Ia menjelaskan, perubahan atau amandemen itu harus melalui aturan yang sudah ditentukan oleh undang-undang dasar sesuai dengan Pasal 37, yang diusulkan oleh sepertiga, kuorumnya 2/3 dan seterusnya.

"Jadi yang saya sampaikan atau kami sampaikan pimpina adalah menyerap aspirasi apa yang berkembang di masyarakat, itu yang bisa saya sampaikan jangan sampai ada lagi miss komunikasi enggak pernah kita menyampaikan kita akan kembali memilih Presiden di MPR, belum karena kita belum bersidang," tegasnya.

Selain itu, dirinya mengaku telah mendapatkan masukan dari Cak Imin yakni untuk mengatasi berbagai persoalan hukum, tidak cukup hanya dengan mengubah undang-undang. Akan tetapi, melalui pokok pangkalnya tersebut untuk menyempurnakan atau melakukan perubahan di konstitusinya.

"Karena masih banyak lubang-lubang yang kadang dimanfaatkan untuk tujuan tertentu, oleh kelompok tertentu dan seterusnya. Beliau juga menyampaikan kepada kita, menerima dengan baik, beliau akan menyiapkan berbagai masukan secara tertulis. Karena kami sudah bertekad bahwa kami akan membuat suatu legacy dokumen kearifan yang kita sampaikan ke MPR yang akan datang maupun kepada presiden terpilih yang akan datang," jelas Bamsoet.

infografis Mobil Kepresidenan
Mobil Kepresidenan di Indonesia
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya