Liputan6.com, Jakarta - Pada Kamis (19/9/2024), sebagian langit Indonesia diprediksi cerah, berawan, cerah berawan, dan berawan tebal, kecuali hujan ringan di Tanjung Pinang, Ternate, Kupang, dan Medan. Demikianlah prakiraan cuaca Indonesia hari ini.
Berdasarkan laporan cuaca yang disampaikan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), wilayah Indonesia sebagiannya diprediksi cerah, berawan, cerah berawan, berawan tebal, dan hujan ringan.
Baca Juga
Wilayah Denpasar dan Mataram diprediksi oleh BMKG akan kabut pada pagi hari.
Advertisement
Cuaca hujan dengan intensitas ringan diprakirakan guyur Tanjung Pinang, Ternate, Kupang, dan Medan siang nanti.
Cuaca Indonesia malam hari nanti diprakirakan sebagiannya bakal cerah, berawan, cerah berawan, berawan tebal, dan hujan ringan.
Beberapa wilayah Indonesia diprediksi malam nanti turun hujan ringan di antaranya Kupang dan Medan.
Â
Berikut informasi prakiraan cuaca Indonesia selengkapnya yang dikutip Liputan6.com dari laman resmi BMKG:
 Kota |  Pagi |  Siang |  Malam |
 Banda Aceh |  Berawan |  Berawan Tebal |  Berawan Tebal |
 Denpasar |  Kabut |  Cerah Berawan |  Cerah Berawan |
 Serang |  Berawan Tebal |  Berawan |  Berawan |
 Bengkulu |  Berawan Tebal |  Cerah Berawan |  Cerah Berawan |
 Yogyakarta |  Cerah Berawan |  Cerah |  Cerah |
 Jakarta Pusat |  Berawan |  Berawan |  Berawan |
 Gorontalo |  Berawan Tebal |  Berawan |  Berawan Tebal |
 Jambi |  Berawan Tebal |  Berawan |  Berawan |
 Bandung |  Cerah |  Cerah Berawan |  Cerah Berawan |
 Semarang |  Cerah Berawan |  Berawan |  Berawan |
 Surabaya |  Cerah Berawan |  Berawan Tebal |  Berawan Tebal |
 Pontianak |  Berawan Tebal |  Berawan Tebal |  Berawan Tebal |
 Banjarmasin |  Cerah Berawan |  Cerah Berawan |  Berawan |
 Palangkaraya |  Cerah Berawan |  Berawan |  Berawan |
 Samarinda |  Berawan |  Berawan Tebal |  Berawan Tebal |
 Tarakan |  Berawan |  Berawan Tebal |  Berawan Tebal |
 Pangkal Pinang |  Berawan Tebal |  Berawan Tebal |  Berawan Tebal |
 Tanjung Pinang |  Berawan Tebal |  Hujan Ringan |  Cerah Berawan |
 Bandar Lampung |  Berawan Tebal |  Berawan Tebal |  Berawan Tebal |
 Ambon |  Berawan Tebal |  Berawan Tebal |  Berawan Tebal |
 Ternate |  Berawan |  Hujan Ringan |  Cerah Berawan |
 Mataram |  Kabut |  Berawan |  Berawan |
 Kupang |  Berawan Tebal |  Hujan Ringan |  Hujan Ringan |
 Kota Jayapura |  Berawan |  Cerah Berawan |  Berawan |
 Manokwari |  Berawan Tebal |  Berawan Tebal |  Berawan Tebal |
 Pekanbaru |  Berawan |  Cerah Berawan |  Berawan |
 Mamuju |  Berawan |  Berawan Tebal |  Cerah Berawan |
 Makassar |  Cerah Berawan |  Cerah Berawan |  Berawan |
 Kendari |  Berawan |  Berawan |  Berawan Tebal |
 Manado  |  Cerah Berawan |  Cerah Berawan |  Cerah Berawan |
 Padang |  Berawan Tebal |  Berawan Tebal |  Berawan Tebal |
 Palembang |  Cerah Berawan |  Berawan |  Cerah Berawan |
 Medan |  Berawan |  Hujan Ringan |  Hujan Ringan |
BMKG Sebut 7 Provinsi Alami Kekeringan Ekstrem, Berikut Daftar Daerahnya
Sebanyak 7 dari 38 provinsi di Indonesia mengalami kekeringan ekstrem. Hal itu dilaporkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Rabu (18/9/2024). Kekeringan ekstrem terjadi lantaran tidak ada hujan lebih dari dua bulan di kawasan yang mengalami kekeringan.
 Menurut BMKG, daerah yang mengalami kekeringan ekstrem antara lain berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur meliputi Kota Kupang (144 hari), Sumba Timur (141 hari), Sabu Raijua (128 hari), Kupang (116 hari), Lembata (97 hari), Timor Tengah Selatan (97 hari), Sikka (72 hari), Rote Ndao (70 hari), Sumba Barat Daya (69 hari), dan Ende (69 hari).
Kondisi yang sama juga melanda Provinsi Jawa Timur, yakni Jember (139 hari), Kota Probolinggo (139 hari), Pasuruan (138 hari), Situbondo (138 hari), Banyuwangi (137 hari), Blitar (137 hari), Mojokerto (137 hari), Tulungagung (137 hari), Bangkalan (135 hari), dan Malang (108 hari).
Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang juga terdampak yakni Bima (137 hari) dan Lombok Timur (94 hari).
Di Provinsi Sulawesi Selatan situasi yang sama melanda Barru (68 hari), Pangkep (68 hari), Takalar (68 hari), dan Makassar (68 hari).
Kondisi serupa juga dialami Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi Bantul (68 hari) dan Gunungkidul (67 hari).
Provinsi Jawa Barat meliputi Ciamis (66 hari), Cirebon (65 hari), Indramayu (65 hari), Karawang (65 hari), Majalengka (65 hari), Purwakarta (65 hari), Subang (65 hari), Sumedang (65 hari), dan Bekasi (65 hari).
Terakhir adalah Provinsi Banten, tepatnya di Pandeglang (66 hari).
Advertisement
Berpotensi Masif Akibat Perubahan Iklim, Waspada DBD di Musim Kemarau Mendatang
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi perubahan iklim berupa puncak musim kemarau akan terjadi pada bulan Juli dan Agustus 2024.
Pada Juli 2024, kemarau diprediksikan terjadi di sebagian pulau Sumatera, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Kalimantan Barat, dan sebagian Kalimantan Utara.
Sedangkan pada Agustus 2024, kemarau diprediksi terjadi di sebagian Sumatera Selatan, Jawa Timur, sebagian besar pulau Kalimantan, Bali, NTB, NTT, sebagian besar pulau Sulawesi, Maluku, dan sebagian Pulau Papua.
Adanya perubahan iklim tersebut dapat meningkatkan resiko penyakit menular lebih besar. Faktor iklim yang berperan pada penularan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suhu, curah hujan, dan kelembaban.
Menurut keterangan dari General Practitioner Klinik Laboratorium Pramita, dr Carla Pramudita Susanto di laman Hello Sehat, salah satu penyakit yang penularannya lebih pesat karena perubahan iklim adalah DBD.
"Hal ini ditemukan dalam sebuah penelitian di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa perubahan iklim yang terjadi mendukung nyamuk berkembangbiak semakin banyak dan ganas. Penyebabnya adalah kelembapan udara yang tinggi, curah hujan yang tinggi, maupun suhu udara meningkat," ujar Carla dicuplik Jumat, 21 Juni 2024.
Carla mengatakan selain perubahan iklim, saat musim hujan akan ada banyak genangan air sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk pembawa virus dengue. Akibatnya, musim hujan cenderung membuat kasus DBD semakin meningkat.
Namun, Carla menegaskan musim kemarau juga tidak luput dari intaian penyakit demam berdarah. Seperti saat suhu cuaca yang tinggi karena terjadinya fenomena El-Nino, frekuensi nyamuk yang muncul bisa menggigit hingga 3 sampai 5 kali lipat dibandingkan pada kondisi lainnya.
"Dari perubahan iklim yang menyebabkan suhu dan curah hujan berubah secara signifikan, perpindahan habitat nyamuk mulai terjadi, sehingga Anda wajib waspada terhadap penyakit DBD," ungkap Carla.
Carla menjelaskan DBD juga merupakan penyakit umum yang menyerang masyarakat luas. Masalah komunitas ini terjadi setiap tahunnya dan menjangkit banyak orang tanpa kenal usia.
Anak-anak termasuk dalam golongan yang rentan terkena DBD, karena masih minim kesadaran akan kebersihan sekitar dan cara memproteksi diri dari gigitan nyamuk secara mandiri.
Penyakit ini tentu terjadi bukan tanpa sebab, penyebaran DBD sangat bergantung pada bagaimana kebersihan tempat tinggal dan sekitarnya, gaya hidup, hingga kurangnya kesadaran tentang cara pencegahan demam berdarah.
Demam berdarah biasanya terjadi antara empat hingga sepuluh hari setelah seseorang digigit oleh nyamuk yang membawa virus dengue. Demam berdarah bisa berakibat fatal jika tidak ditangani dengan tepat.
"Anda perlu waspada terhadap gejala DBD pertama yang bisa terjadi, seperti demam tinggi disertai sakit kepala, mual, muntah, serta nyeri sendi dan tulang," tutur Carla.
Proses dari infeksi ini juga dapat berubah menjadi kasus demam berdarah yang parah ketika demam mulai turun.
Siklus demam penderita DBD juga dikenal dengan nama siklus pelana kuda. Di mana pada 1-3 hari pertama pasien mengalami fase demam tinggi dengan suhu tubuh mencapai 40 derajat Celcius.
Kemudian di hari ke 4 dan 5 pasien memasuki fase kritis, saat demam turun dan suhu tubuh berada di angka 37 derajat Celcius.
Fase kritis ini membutuhkan perawatan khusus di rumah sakit karena kemungkinan pasien dapat mengalami pendarahan dan syok yang membahayakan nyawa. Terakhir di hari ke 6 dan 7, baru biasanya akan masuk ke fase penyembuhan atau pemulihan.
"Kualitas hidup seseorang yang terkena DBD akan menurun karena dampaknya bisa mengganggu produktivitas dan menambah beban ekonomi. Butuh waktu lebih dari satu minggu untuk pemulihan DBD, serta biaya rawat inap sekitar Rp 10-60 juta," tutur Carla.