Liputan6.com, Jakarta Ketua Fraksi PKB DPR RI Jazilul Fawaid angkat bicara soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk seluruhnya.
"Ini kado tahun baru yang akan menuai berbagai pandangan, polemik dan kontroversi," kata Jazilul kepada wartawan, Kamis (2/12).
Advertisement
Baca Juga
Menurutnya, putusan MK itu adalah open legal policy atau terbuka untuk direvisi oleh pemerintah dan DPR. Nantinya, norma ambang batas pencalonan akan disusun ulang.
Advertisement
"Hemat saya, pasal ini tersebut termasuk dalam open legal policy, yang mestinya DPR dan pemerintah yang akan menyusun kembali norma dalam revisi Undang-Undang Pemilu," kata Wakil Ketua MPR ini.
Jazilul menyebut, PKB akan menyusun langkah sekaligus menunggu perkembangan dinamika dari lembaga pembentuk undang-undang pasca MK mengeluarkan putusan tersebut.
"Pastinya akan berkonsekuensi pada revisi Undang-Undang Pemilu yang ada," tukasnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Sarmuji mengaku kaget dengan keputusan MK tersebut. Pasalnya, itu sudah ditolak beberapa kali.
"Keputusan MK sangat mengejutkan, mengingat putusan MK terhadap 27 sebelumnya selalu menolak," kata Sarmuji kepada wartawan, Kamis (2/1/2024).
Menurut dia, selama ini catatan pandang MK dan pembuat Undang-Undang selalu sama terkait tujuan penerapan treshold. Sehingga, ia heran kini ambang batas menjadi dihapus.
"Dalam 27 kali putusannya cara pandang MK dan pembuat UU selalu sama yaitu maksud diterapkannya presidensial treshold itu untuk mendukung sistem presidensial bisa berjalan secara efektif," ucapnya.
"Sementara itu dulu. Kalau sudah hilang rasa kagetnya nanti saya respon lagi," tutup Sarmuji.
Putusan MK
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk seluruhnya.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
MK berpendapat, jelas Suhartoyo, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut MK, kata dia, Pasal 222 yang mengatur terkait persyaratan ambang batas pencalonan capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol dengan minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tegas Suhartoyo.
Sebagai informasi, putusan tersebut dibacakan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Diketahui, uji materi itu akhirnya dikabulkan MK setelah diuji sebanyak 27 kali dengan lima amar putusan ditolak dan sisanya tidak dapat diterima.
Sebelumnya, Pegiat Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini menyampaikan permohonan terkait pengujian ambang batas pencalonan presiden (Pasal 222 UU 7/2017) Perkara No.101/PUU-XXII/2024 merupakan perjuangan panjang setelah dua permohonan sebelumnya ditolak MK.
Dia berharap semoga putusan atas permohonan kali ini menjadi sejarah baik akan tercipta di awal tahun 2025.
Advertisement
Terbatasnya Hak Konstitusional
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, Mahkamah juga menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon.
Padahal, lanjut Mahkamah, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi mengancam kebhinekaan Indonesia.
Reporter: Genantan Saputra/Merdeka.com