Memperingati Hari Pahlawan setiap tanggal 10 November, sejumlah pejuang kemerdekaan mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional. Termasuk, salah satunya mendiang Letnan Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, mertua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gelar pahlawan itu telah ditandatangani SBY dan akan diberikan kepada perwakilan keluarga pada 2014 mendatang.
"Tadi sore Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan telah menyetujui usulan agar Pak Sarwo Edhie sebagai pahlawan nasional," kata Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo di Purworejo, Jawa Tengah, Sabtu (9/11/2013).
Pramono yang merupakan anak kelima dari Sarwo Edhie menjelaskan pemerintah telah menyetujui usulan tersebut sesuai dengan ketentuan. Setelah disetujui Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan 2013 ini maka pemberian gelar pahlawan nasional akan ditetapkan pada tahun berikutnya yakni 2014.
Bupati Purworejo Mahsun Zain mengatakan usulan penetapan Sarwo Edhie sebagai pahlawan nasional telah mempertimbangkan aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat. Terlebih, Sarwo Edhie merupakan putra daerah Purworejo. Usulan itu kemudian diteruskan ke Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan akhirnya masuk ke pertimbangan pemerintah pusat dan akhirnya disetujui.
"Usulan tersebut merupakan cerminan bahwa masyarakat Purworejo tidak akan melupakan jasa-jasa pahlawannya, sekaligus upaya untuk menghargai sejarah," kata Mahsun.
Ia menuturkan Kabupaten Purworejo telah lama dikenal sebagai wilayah yang telah melahirkan banyak jenderal dan pahlawan nasional seperti tokoh militer Jenderal (Purn) Urip Sumihardjo, dan Jenderal (Purn) Achmad Yani.
Namun, baik Pramono dan Mahsun, tidak menjelaskan mengenai peran khusus Sarwo Edhie sehingga diusulkan untuk ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Tumpas PKI
Warga yang menghadiri haul, Achmad Sahlan (64), mengatakan sosok prajurit mendiang Sarwo Edhie cukup dikenang di kalangan masyarakat Purworejo.
"Kepahlawanannya terlihat saat dia ditugaskan negara untuk menumpas Gerakan 30 S PKI," ujar Achmad.
Ia merasa bangga karena Kota Purworejo dapat melahirkan sosok jenderal yang dapat memimpin operasi penumpasan Gerakan 30 S PKI pada dekade 60-an itu.
"Banyak jenderal-jenderal dari Purworejo, Sarwo Edhie termasuk yang sangat membanggakan kami," jelas Achmad.
Sarwo Edhie kelahiran 25 Juli 1925 pernah menjabat Panglima Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) asal muasal Kopassandha TNI AD/Kopassus TNI AD. Ia juga tokoh militer yang memimpin penumpasan pemberontak komunis G30S/PKI. Partai Komunis Indonesia hingga kini dinyatakan sebagai pihak paling bertanggung jawab atas pembunuhan 7 jenderal dan satu perwira pertama TNI AD.
Setelah itu, Sarwo Edhie yang juga ayah dari Ibu Negara Ani Yudhoyono juga pernah menjadi Kepala BP-7 Pusat, Duta Besar Republik Indonesia untuk Korea Selatan, serta menjadi Gubernur AKABRI. Sarwo Edhie wafat 9 November 1989 lalu dalam usia 64 tahun.
Hidup Prihatin
Namun, menyandang gelar pahlawan nasional tak serta merta membuat anak dan keluarganya hidup sejahtera. Seperti yang dialami Rachmi Aziah, putri tunggal almarhum Ismail Marzuki. Keluarga pahlawan nasional sekaligus komponis besar zaman penjajahan hingga kemerdekaan yang karyanya sudah menjadi milik umum ini sekarang hidupnya penuh keterbatasan.
Tinggal di rumah kontrakan dan menggantungkan harapan dari warung kecil jelas tidak sebanding dengan gelar pahlawan dan karya besar ayahnya. Itu pun tanpa royalti dan perhatian dari pemerintah.
"Tadi sore Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan telah menyetujui usulan agar Pak Sarwo Edhie sebagai pahlawan nasional," kata Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo di Purworejo, Jawa Tengah, Sabtu (9/11/2013).
Pramono yang merupakan anak kelima dari Sarwo Edhie menjelaskan pemerintah telah menyetujui usulan tersebut sesuai dengan ketentuan. Setelah disetujui Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan 2013 ini maka pemberian gelar pahlawan nasional akan ditetapkan pada tahun berikutnya yakni 2014.
Bupati Purworejo Mahsun Zain mengatakan usulan penetapan Sarwo Edhie sebagai pahlawan nasional telah mempertimbangkan aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat. Terlebih, Sarwo Edhie merupakan putra daerah Purworejo. Usulan itu kemudian diteruskan ke Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan akhirnya masuk ke pertimbangan pemerintah pusat dan akhirnya disetujui.
"Usulan tersebut merupakan cerminan bahwa masyarakat Purworejo tidak akan melupakan jasa-jasa pahlawannya, sekaligus upaya untuk menghargai sejarah," kata Mahsun.
Ia menuturkan Kabupaten Purworejo telah lama dikenal sebagai wilayah yang telah melahirkan banyak jenderal dan pahlawan nasional seperti tokoh militer Jenderal (Purn) Urip Sumihardjo, dan Jenderal (Purn) Achmad Yani.
Namun, baik Pramono dan Mahsun, tidak menjelaskan mengenai peran khusus Sarwo Edhie sehingga diusulkan untuk ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Tumpas PKI
Warga yang menghadiri haul, Achmad Sahlan (64), mengatakan sosok prajurit mendiang Sarwo Edhie cukup dikenang di kalangan masyarakat Purworejo.
"Kepahlawanannya terlihat saat dia ditugaskan negara untuk menumpas Gerakan 30 S PKI," ujar Achmad.
Ia merasa bangga karena Kota Purworejo dapat melahirkan sosok jenderal yang dapat memimpin operasi penumpasan Gerakan 30 S PKI pada dekade 60-an itu.
"Banyak jenderal-jenderal dari Purworejo, Sarwo Edhie termasuk yang sangat membanggakan kami," jelas Achmad.
Sarwo Edhie kelahiran 25 Juli 1925 pernah menjabat Panglima Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) asal muasal Kopassandha TNI AD/Kopassus TNI AD. Ia juga tokoh militer yang memimpin penumpasan pemberontak komunis G30S/PKI. Partai Komunis Indonesia hingga kini dinyatakan sebagai pihak paling bertanggung jawab atas pembunuhan 7 jenderal dan satu perwira pertama TNI AD.
Setelah itu, Sarwo Edhie yang juga ayah dari Ibu Negara Ani Yudhoyono juga pernah menjadi Kepala BP-7 Pusat, Duta Besar Republik Indonesia untuk Korea Selatan, serta menjadi Gubernur AKABRI. Sarwo Edhie wafat 9 November 1989 lalu dalam usia 64 tahun.
Hidup Prihatin
Namun, menyandang gelar pahlawan nasional tak serta merta membuat anak dan keluarganya hidup sejahtera. Seperti yang dialami Rachmi Aziah, putri tunggal almarhum Ismail Marzuki. Keluarga pahlawan nasional sekaligus komponis besar zaman penjajahan hingga kemerdekaan yang karyanya sudah menjadi milik umum ini sekarang hidupnya penuh keterbatasan.
Tinggal di rumah kontrakan dan menggantungkan harapan dari warung kecil jelas tidak sebanding dengan gelar pahlawan dan karya besar ayahnya. Itu pun tanpa royalti dan perhatian dari pemerintah.
"Kita berharap biar ada nambah lagi kesejahteraan keluarga pahlawan," harap Rachmi. (Adi)